Deskripsi masalah
Ketika memasuki usia pensiun, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) berhak mendapat uang pensiun. Pensiun adalah saat di mana seseorang yang sudah tidak bekerja lagi karena usianya sudah lanjut atau atas kemauan sendiri sehingga harus diberhentikan dari pekerjaannya. Sebut saja Pak Huwa, ia adalah seorang PNS yang telah meninggal dunia. Tentunya Bu Hiya sebagai istri sekaligus ahli waris Pak Huwa mendapat uang pensiunan setiap bulannya. Namun, berhubung Bu Hiya masih muda dan hasrat menikahnya masih ada, ia pun memutuskan menikah untuk kedua kalinya. Oleh karena khawatir uang pensiunan diberhentikan, ia merahasiakan pernikahan itu tanpa diketahui KUA.
Pertanyaan:
1) Bagaimana hukum pernikahan yang dirahasiakan tersebut dengan motivasi agar tetap mendapatkan kucuran dana pensiun mantan suami?
Jawaban:
Haram, karena mengandung unsur penipuan. Adapun akad nikahnya tetap sah (secara agama).
Uraian Jawaban:
Kejujuran adalah perhiasan jiwa yang lebih bercahaya daripada berlian. Betapa pentingnya sebuah kejujuran hingga sifat terpuji itu menjadi syarat mutlak yang wajib dimiliki seorang rasul. Sebaliknya, betapa tercelanya kebalikan dari kejujuran, yakni kebohongan, hingga perilaku negatif itu dijadikan salah satu kriteria mutlak seorang hipermoralis (munafik).
Kebohongan atau penipuan adalah perilaku yang sangat dilarang oleh agama [lihat: Muhammad bin Salim bin Sa`id Ba Bashil asy-Syafi`i, Is`adur-Rafiq, vol 2 hal 51]. Karena perbuatan haram tersebut dapat menimbulkan banyak mafsadah. Minimal dapat menyesatkan orang yang dibohongi dari kebenaran yang nyata. Oleh karena dampak negatif yang ditimbulkan inilah, para penipu atau pembohong secara tegas diancam oleh Allah SWT. akan dijebloskan ke neraka dengan berbagai macam siksa yang pedih. Ancaman Allah SWT. ini dijelaskan melalui lisan nabi pembawa risalah-Nya yaitu Muhammad SAW.:
الْمَكْرُ وَالْخَدِيْعَةُ فِى النَّارِ
''(Pelaku) perbuatan makar dan menipu (masuk) ke dalam neraka.'' (HR. Turmudzi)
Memang, pada beberapa kasus tertentu berbohong terkadang dilegalkan oleh agama. Bahkan terkadang hukumnya wajib, seperti ketika kebohongan tersebut tidak dilakukan, maka akan mengakibatkan bahaya hilangnya nyawa orang lain. Namun diperbolehkannya berbuat bohong itu hanya sebuah pengecualian dari hukum asal penipuan yang haram. Di samping itu, kebolehan berbohong masih disertai dengan beberapa syarat ketat lain yang harus terpenuhi. [Lihat: Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Hasyiyah I`anatith-Thalibin, vol 3, hal 288]
Di zaman sekarang semuanya berubah 180 derajat. Kebanyakan orang lebih terbuai dan silau dengan kerlap-kerlip berlian daripada cahaya kejujuran. Keterbalikan ini sangat terkait dengan arus modernisasi yang telah menerjang kehidupan manusia. Karena meskipun modernisasi di satu sisi berdampak positif bagi kehidupan umat manusia, namun di sisi lain ternyata telah melahirkan dampak yang kurang menguntungkan bagi kehidupan mereka sendiri, yaitu dengan menggejalanya berbagai problematika yang semakin kompleks, baik yang bersifat personal maupun sosial. Pola berpikir dan lifestyle (gaya hidup) mereka yang terlalu berorientasi kepada kemajuan dalam bidang material (pemenuhan kebutuhan biologis) telah menelantarkan supra empiris manusia sehingga terjadi pemiskinan spiritual dalam diri mereka.
Kondisi ini ternyata sangat kondusif bagi perkembangan problematika pribadi dan sosial yang terekspresikan dalam suasana psikologis yang kurang nyaman, seperti perasaan cemas dan stres, serta terjadinya penyimpangan moral atau sistem nilai. Kondisi inilah yang menjadi salah satu stimulus sehingga mereka berani meng''anaktiri''kan kejujuran demi memperoleh materi dengan berbagai macam cara meskipun cara itu dilarang agama. [Lihat: Farid Mashudi, Psikologi Konseling, hal 145, penerbit IRCISoD-Jogjakarta]
Kondisi ini ternyata sangat kondusif bagi perkembangan problematika pribadi dan sosial yang terekspresikan dalam suasana psikologis yang kurang nyaman, seperti perasaan cemas dan stres, serta terjadinya penyimpangan moral atau sistem nilai. Kondisi inilah yang menjadi salah satu stimulus sehingga mereka berani meng''anaktiri''kan kejujuran demi memperoleh materi dengan berbagai macam cara meskipun cara itu dilarang agama. [Lihat: Farid Mashudi, Psikologi Konseling, hal 145, penerbit IRCISoD-Jogjakarta]
Perbuatan yang dilakukan si Istri mendiang pegawai negeri seperti yang dijelaskan dalam deskripsi di atas dapat dikategorikan sebagai bentuk penipuan. Di mana supaya si Istri tetap mendapatkan uang pensiunan, ia berani menipu pemerintah dengan berpura-pura belum menikah lagi dengan orang lain, padahal kenyataannya berbeda. Ia telah membina bahtera rumah tangga lagi, namun pernikahannya dilakukan tanpa dicatatkan ke catatan resmi negara dengan tujuan supaya uang pensiun dari suaminya yang telah meninggal dunia bisa tetap mengalir ke sakunya.
Motif jahat semacam ini adalah salah satu dari banyak motif yang mendorong seseorang enggan mencatat pernikahan di KUA. Masih ada beberapa motif lain. Di antaranya:
– Ada yang dilakukan untuk poligami;
– Untuk penjajakan sebelum pernikahan yang tercatat dilakukan sehingga bila terjadi ketidakcocokan tidak menimbulkan konsekuensi hukum lain;
– Ada hal-hal yang disembunyikan sehingga takut diketahui oleh khalayak dan pemerintah. Misalnya dilarang oleh instansinya, tidak mau repot, demi karier, takut merusak citra diri kalau ketahuan sudah menikah, dan pertimbangan lainnya, misalnya belum cukup umur, atau menutupi aib.
Ibarat pisau bermata dua, pernikahan tanpa ''restu negara'' ini bisa menimbulkan kebahagiaan, sekaligus merugikan. Jika pelaku tidak bijak menyikapi, kerap terjadi disharmonisasi sosial akibat pernikahan ilegal menurut negara itu. Sebab perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum yang berlaku.
Selain itu, “perkawinan di bawah tangan negara” ini memiliki dampak yang sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial.
Secara hukum pihak wanita tidak dapat dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia serta tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, sebab secara hukum perkawinannya dianggap tidak pernah terjadi. Sedang secara sosial ia akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan.
Dampak buruk pernikahan ini juga menjalar ke anak. Jika pernikahan dengan cara tersebut tetap dilakukan, maka akan berdampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum positif Indonesia. Di antaranya status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Di dalam akte kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya.
Jadi, dari beberapa pertimbangan di atas dapat ditarik sebuah jawaban bahwa hukum pernikahan rahasia si istri dengan lelaki lain tanpa mencatatkannya ke KUA dengan motivasi supaya tetap bisa mendapatkan jatah uang pensiun suaminya yang telah meninggal dunia adalah haram, karena mengandung unsur penipuan. Adapun hukum pernikahan yang dilakukan tetap sah secara syarak.
Referensi:
سبل السلام شرح بلوغ المرام، ج 3، ص 52
وعن أبي هررة رضي الله عنه "أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة" الصبرة بضم الصاد المهملة وسكون الموحدة الكومة المجموعة "من الطعام " من طعام "فأدخل يده فيها فنالت أصابعه بللا فقال: "ما هذا يا صاحب الطعام؟" قال أصابته السماء يا رسول الله قال: "أفلا جعلته فوق الطعام كي يراه الناس من غش فليس مني" رواه مسلم قال النووي كذا في الأصول مني بياء المتكلم وهو صحيح ومعناه ليس ممن اهتدى بهديي واقتدى بعلمي وعملي وحسن طريقتي وقال سفيان بن عيينة يكره تفسيير مثل هذا ونقول نمسك عن تأويله ليكون أوقع في النفوس وأبلغ في الزجر والحديث دليل على تحريم الغش وهو مجمع شرعا مذموم فاعله عقلا
إسعاد الرفيق، ج 2، ص 51
(و) منها (مكر) والخديعة باحد المسلمين وهما من الكبائر كما فى الزواجر لقوله عليه الصلاة والسلام : المكر والخديعة فى النار كما اخرجه الترمذي . وأخرج ايضا ابو نعيم : من غشنا فليس منا والمكر والخداع فى النار, والرافعي : ليس منّا من غش مسلما او ضرّه او ماكره.
Pertanyaan:
2) Halalkah uang pensiunan setelah si Istri menikah lagi seperti kasus di atas?
Jawaban:
Haram, karena menerima dana tidak pada posnya.
Uraian Jawaban:
Di antara hak Allah sebagai Dzat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan sesuka-Nya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan syiar-syiar ibadah dengan sekehendak-Nya. Ini semua adalah otoritas ketuhanan dan tidak ada hak sedikitpun bagi manusia untuk berpaling dan melanggarnya.
Namun, Allah juga berbelas-kasih kepada hamba-Nya. Sebab itu, dalam menentukan halal dan haram, Allah menetapkannya dengan berlandaskan alasan yang ma'qul (rasional) demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Sehingga kita wajib meyakini bahwa, apapun yang dihalalkan Allah pasti itu baik bagi hamba-Nya dan apapun yang diharamkan-Nya pasti itu jelek.
Lalu halal atau haramkah uang pensiun yang diterima Sang Istri yang telah menikah lagi dengan lelaki lain?
Jika kita menganalisis tindakan pelaku melalui kacamata fikih, maka tindakan tersebut sangat erat korelasinya dengan satu bab yakni ghashab.
Di kalangan intelektual fikih, ghashab didefinisikan sebagai bentuk penguasaan terhadap hak (harta atau manfaat) orang lain dengan sewenang-wenang tanpa adanya hak (zalim). Perbuatan ini benar-benar dilarang oleh syarak, dan termasuk kategori dosa besar.
Allah SWT. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. Al-Nisa`: 29)
Ayat ini menjelaskan bahwasanya, di antara perbuatan yang telah ditetapkan Allah SWT. sebagai perkara yang haram adalah memakan segala sesuatu yang diperoleh dengan cara yang batil. Adapun maksud dari kata batil yang termaktub dalam kalam-Nya, para ulama ahli tafsir mengartikannya sebagai cara-cara penguasaan sesuatu hak yang tidak diperbolehkan agama, seperti riba, judi, ghashab, pencurian, pengkhianatan, dll. [Lihat: Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf an-Nahwi al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhith, vol 4 hal 117, al-Maktabah al-Syamilah Ishdar Tsani]
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa status uang pensiun adalah rizq (pemberian) dari pemerintah. Yakni sebuah pemberian yang mencukupi bagi seseorang bersama keluarganya dengan syarat namanya telah tercatat dalam buku para penerima gaji yang sudah ditetapkan pemerintah.
Dalam mengalokasikan dana tunjangan ini pemerintah menyertakannya dengan beberapa ketentuan yang ketat. Pos uang pensiun tersebut telah ditentukan oleh pemerintah sehingga yang berhak mendapatkannya hanya orang-orang tertentu saja, disertai terpenuhinya kriteria-kriteria yang diatur dalam Undang-Undang Tentang Pensiun Pegawai Dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Di antara yang berhak mendapatkannya adalah istri atau duda dari pegawai negeri yang meninggal dunia dengan syarat belum menikah dengan orang lain.
Penentuan pos uang negara ini sangat perlu dilakukan supaya uang tersebut tidak mengalir ke saku rakyat dengan semena-mena. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih bahwa semua tasharruf (tindakan atau perbuatan) seorang imam (pemimpin negara) harus berdasarkan pertimbangan maslahat yang ada. Tidak boleh baginya menetapkan peraturan atau mengalokasikan dana baitulmal (kas negara) ke sembarang tempat jika tidak ada kemaslahatan yang kembali kepada negara atau rakyat.
Persoalan yang ada dalam deskripsi di atas mirip dengan satu kasus yang dipaparkan oleh para intelektual fikih, yaitu jika ada seseorang memberikan hibah (pemberian) berupa uang kepada orang lain yang disangka telah memenuhi syarat yang ditetapkannya. Ternyata dalam realitasnya, si penerima tidak memenuhi kriteria yang ada, maka si penerima tidak boleh mengambil uang tersebut, bahkan ia harus mengembalikan hibah tersebut kepada pemiliknya. Karena uang itu haram baginya.
Dari keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbuatan si Istri termasuk kategori ghashab (pencurian) sehingga berkonsekuensi uang pensiunan yang diterima si istri hukumnya adalah haram, karena ia tidak berhak untuk menerimanya. Dikatakan tidak berhak lantaran pemerintah telah menetapkan bahwa orang yang berhak menerima uang pensiunan adalah istri yang bersangkutan selama belum menikah dengan pria lain. Padahal dalam kenyataannya ia telah menikah lagi.
Sebenarnya, di balik semua ketetapan ini ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa jikalau pihak pemerintah tidak mengalokasikan harta baitulmal (kas negara) ke seluruh orang yang berhak mendapatkannya secara merata, maka boleh bagi seseorang untuk mengambil sendiri sebagian harta dari kas negara tersebut tanpa sepengahuan pemerintah. Dengan catatan, ia memang termasuk dari orang yang berhak menerima harta kas negara, misalnya ia termasuk dari fuqara` (orang-orang fakir), atau ia tidak mampu bekerja serta tidak ada seorang pun yang berkewajiban untuk menafkahinya demi terpenuhinya kebutuhan hidup.
Jika kita memandang pendapat sebagian ulama tadi, maka boleh bagi si istri (janda mendiang pegawai negeri) menerima uang pensiunan dari pemerintah terkait dengan syarat ia termasuk dari orang-orang yang berhak mendapatkannya, seperti ketika si istri tersebut berada dalam kondisi tidak mampu bekerja, di samping itu tidak ada orang yang menanggung kebutuhan hidupnya.
Diperbolehkan tindakan tersebut karena memandang uang pensiun janda pegawai negeri itu berasal dari kas negara RI (APBN/D) yang termasuk kategori harta syubhat, yaitu harta yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Dikatakan syubhat karena bila ditelusuri secara mendetail, ternyata pendapatan negara ini berasal dari berbagai sumber, di antaranya dari pajak, baik dari harta yang halal seperti pajak yang ditarik dari berbagai perusahaan, pemilik bangunan atau tanah, maupun dari harta yang haram, seperti ditarik dari kompleks-kompleks pelacuran (lokalisasi), perjudian, diskotik, dll.
Seperti diketahui, para fukaha telah menjustifikasikan bahwa mengambil harta seseorang yang memiliki campuran antara harta halal dan haram, seperti harta pemerintah yang zalim, hukumnya hanya makruh, tidak sampai haram, baik pengambilannya melalui transaksi jual-beli, hutang-piutang, hadiah, hibah, maupun selainnya. Hukum makruh tersebut itu ditetapkan karena tidak adanya keyakinan bahwa harta yang diperoleh itu benar-benar murni berasal dari harta haram milik orang tersebut. Lain halnya jika harta tersebut nyata-nyata murni dihasilkan dari keharaman, maka hukum mengambilnya tidak boleh atau haram.
Namun yang perlu diingat, problematika ini belum selesai. Karena secara obyektif masalah diperbolehkannya mengambil harta syubhat ini hanya salah satu dari beberapa pendapat yang ada di kalangan ulama. Sebagaimana penjelasan al-Imam al-Ghazali, permasalahan mengambil harta baitulmal ini terpecah menjadi empat pendapat. Pendapat pertama haram, sebab kas negara itu adalah harta musytarak (milik bersama) antara para orang-orang yang berhak mendapatkannya serta tidak diketahui mana bagian tertentu yang menjadi haknya. Dengan demikian, tidak diperbolehkan mengambil sepeserpun uang dari kas negara tersebut tanpa adanya penentuan alokasi dari pemerintah. Kedua boleh mengambil perhari sekadar kebutuhannya dalam satu hari. Ketiga boleh mengambil sekadar kebutuhannya dalam setahun. Keempat mengambil sesuai dengan kadar yang ditentukan pemerintah. Jika lebih dari itu, maka kelebihan tersebut haram hukumnya.
Jadi, terhadap persoalan harta syubhat ini, tidak diperbolehkan si Istri semena-mena mengikuti pendapat yang memperbolehkan mengambilnya. Karena tindakan tersebut berada di tengah polemik para ulama. Ditambah lagi tindakan tadi memiliki risiko besar yang membahayakan dirinya, yaitu dapat dipenjara atau mendapatkan sanksi-sanksi berat lain dari pemerintah. Dikarenakan dalam hukum positif Indonesia, tindakan itu termasuk perbuatan kriminal menyelewengkan harta negara.
Sikap yang paling aman bagi seorang muslim dalam perkara yang syubhat ini adalah bersikap Wara` (suatu sikap berhati-hati karena takut terjerumus dalam keharaman). Ini merupakan identitas seorang muslim sejati yang telah digariskan Allah melalui agama-Nya yakni Islam. Di mana dengan sifat itu seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat, sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang haram.
Cara semacam ini termasuk menutup jalan berbuat maksiat (saddudz-dzara'i). Di samping itu, cara tersebut merupakan salah satu macam pendidikan untuk memandang lebih jauh serta penyelidikan terhadap hidup dan manusia itu sendiri.
Selanjutnya, jika seseorang terlanjur menerima uang pensiun yang bukan haknya, seperti tindakan wanita yang ada dalam deskripsi masalah di atas, maka wajib baginya untuk bertobat dari dosa itu. Hal ini sesuai dengan penjelasan para ulama bahwa bertobat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib.
Dalam kitab Is`adur-Rafiq dijelaskan, rukun-rukun taubat adalah menyesali dosa yang telah dilakukan, meninggalkan dosa yang telah diperbuat, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan beristigfar. Keempat hal itu adalah elemen-elemen dari tobat yang sah secara syarak. Jika semua hal itu telah terpenuhi berarti tobatnya telah sempurna.[Lihat: Muhammad bin Salim bin Sa`id Ba Bashil asy-Syafi`i, Is`adur-Rafiq, vol 2, hal 141 s/d 142.]
Secara global spesifikasi cara tobat yang sah adalah sebagai berikut:
1) Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia, maka syaratnya ada tiga, yaitu:
Pertama, hendaknya ia meninggalkan maksiat tersebut;
Kedua, ia harus menyesali perbuatan maksiatnya;
Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi.
Jika salah satunya hilang, maka tobatnya tidak sah.
2) Jika tobat itu berkaitan dengan manusia maka syaratnya ada empat. Yaitu:
Pertama, memenuhi ketiga syarat sebelumnya (dalam poin 1);
Kedua, hendaknya ia melepaskan hak orang lain tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya, ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya, ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf.
Walhasil, dalam pemasalahan ini si istri wajib mengembalikan uang pensiun tadi ke pihak pemerintah.
Akan tetapi, ketika ia mengembalikan uang tadi ke negara, terkadang hal itu berpotensi menimbulkan hal-hal yang membahayakan baginya, semisal dijebloskan ke penjara ataupun sanksi-sanksi lainnya—ini adalah risiko yang harus ditanggung oleh orang yang melakukan tindak pidana kriminal berupa penipuan— maka para fukaha memberikan solusi yaitu uang tersebut langsung dialokasikan sendiri ke mashalihul-muslimin (maslahat-maslahat kaum muslimin), seperti dialokasikan ke pembangunan jalan, rumah sakit, panti asuhan, kepada para fakir miskin atau kepentingan umum lainnya. Intinya, ia harus berusaha sekuat tenaga untuk bebas dari uang haram tersebut.
Dengan demikian, tobat yang dilakukannya tidaklah cukup hanya dengan lisan semata. Lebih-lebih jika kalimat tobat itu tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istigfar dan tobat jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta.
Referensi:
نهاية المحتاج، ج 6 ص 134
ومن أعطى لوصف يظن به كفقر أو صلاح أو نسب أو علم وهو في الباطن بخلافه أو كان به وصف باطنا بحيث لو علم لم يعطه حرم عليه الأخذ مطلقا ، ويجري ذلك في الهدية أيضا فيما يظهر ، بل الأوجه إلحاق سائر عقود التبرع بها كوصية وهبة ونذر ووقف
حاشيتا قليوبى وعميرة، ج 3، ص 204
فصل صدقة التطوع سنة لما ورد فيها من الكتاب والسنة ، ( وتحل لغني وكافر ) قال في الروضة يستحب للغني التنزه عنها ويكره له التعرض لأخذها وفي البيان لا يحل له أخذها مظهر الفاقة ، وهو حسن وفي الْحاوي الغني بمال ، أو بصنعة سؤاله حرام ، وما يأخذه حرام عليه انتهى.
قوله : ( وما يأخذه حرام عليه ) أي عند شيء مما تقدم ، أو عند فقد صفة أعطى لأجلها قال شيخنا : وحيث حرم لا يملك ما أخذه ، ويجب رده إلا إذا علم المعطي بحاله فيملكه ، ولا حرمة إلا إن أخذه بسؤال أو إظهار فاقة فيملكه مع الحرمة ، وفي شرح شيخنا وحيث أعطاه على ظن صفة وهو في الباطن بخلافها ولو علم به لم يعطه لم يملك ما أخذه ، ثم قال : ويجري ذلك في سائر عقود التبرع كهبة وهدية ووقف ونذر ووصية فراجعه .
إعانة الطالبين للسيد أبي بكر بن السيد محمد شطا الدمياطي، ج2، ص241
(فائدة) قال في المجموع: يكره الأخذ ممن بيده حلال وحرام كالسلطان الجائر وتختلف الكراهـة بقلة الشبهة وكثرتها، ولا يحرم إلا إن تيقن أن هذا من الحرام، وقول الغزالي: يحرم الأخذ ممن أكثر ماله حرام، وكذا معاملته شاذ اهـ
الفتاوي الفقهية الكبرى للإمام شهاب الدين أحمد بن محمد بن علي بن حجر الهيتمي، ج 2، ص 153
)وسئل) رضى الله عنه ما حكم عطايا أرباب ولايات زماننا ؟ )فأجاب) بقوله عطايا الولاة قبلها قوم من السلف، وتورع عنها آخرون فيجوز قبولها مالم يتحقق في شيئ منها أنه محرم كمكس أو نحوه فلا يجوز قبوله، وأما مع عدم ذلك التحقق فالقبول جائز، وأما قول الغزالي: لا يجوز معاملة من أكثر ماله حرام فضعيف كما قاله النووي في شرح المهذب، بل المعتمد جواز معاملته والأكل مما لم يتحقق حرمته من ماله.
المجموع، ج 10، ص 510
(فرع) قال الشيخ أبو حامد فى تعليقه وصاحب البيان عن الأموال المأخوذة من السلطان الجائر بجياية الحرام كالمكس والمصادرة ونحو ذلك: لها حكم معاملة من فى ماله حرام وحلال فيفرق بين قلتها وكثرتها وتختلف الكراهة فى التخفيف والتشديد بحسب ذلك، ولا يكون ذلك حراما إلا إذا تيقن أن هذا من الحرام الذى يمكن معرفة صاحبه، سواء دفع السلطان ذلك جائزة أو فى معاملة. فرع: هذا الذي ذكرناه هو كلام الشفعى وجميع الاصحاب، وشذ الغزالي فقال في الإحياء في كتاب الحلال والحرام: إنه يحرم مبايعة من أكثر ماله حرام، وأخذ المال من السلطان إذا كان أكثر مال السلطان حراما كما هو الغالب. وهذ الذى قاله شاذ مردود، وليس من مذهبنا، وإنما حكاه أصحابنا عن الأبهري المالكي اهـ
المجموع شرح المهذب، ج9، ص 350
(فرع) قال الغزالي لو لم يدفع السلطان إلى كل المستحقين حقوقهم من بيت المال فهل يجوز لآحادهم أخذ شئ من بيت المال قال فيه أربعة مذاهب (احدها) لا يجوز أخذ شئ اصلا ولا حبة لانه مشترك ولا يدرى حصته منه حبة أو دانق أو غيرهما فهذا غلو (والثانى) ياخذ كل يوم قوت يومه فقط (والثالث) ياخذ كفايته سنة (والرابع) ياخذ ما يعطى وهو حصته والباقون يظلمون قال الغزالي وهذا هو القياس لان المال ليس مشتركا بين المسلمين كالغنيمة بين الغانمين والميراث بين الورثة لان ذلك ملك لهم حتى لو ماتوا قسم بين ورثتهم وهنا لو مات لم يستحق وارثه إرث شئ وهذا إذا صرف إليه ما يليق صرفه إليه.
المجموع شرح المهذب، ج 9، ص 352-351
(فرع) قال الغزالي إذا وقع في يده مال حرام من يد السلطان قال قوم يرده إلى السلطان فهو أعلم بما يملك ولا يتصدق به واختار الحارث المحاسبى هذا وقال آخرون يتصدق به إذا علم أن السلطان لا يرده إلى المالك لان رده إلى السلطان تكثير للظلم قال الغزالي والمختار أنه ان علم أنه لا يرده على مالكه فيتصدق به عن مالكه (قلت) المختار أنه إن علم أن السلطان يصرفه في مصرف باطل أو ظن ذلك ظنا ظاهرا لزمه هو أن يصرفه في مصالح المسلمين مثل القناطر وغيرها فان عجز عن ذلك أو شق عليه لخوف أو غيره تصدق به على الاحوج فالاحوج واهم المحتاجين ضعاف اجناد المسلمين وان لم يظن صرف السلطان اياه في باطل فليعطه إليه أو إلى نائبه ان أمكنه ذلك من غير ضرر لان السلطان اعرف بالمصالح العامة وأقدر عليها فان خاف من الصرف إليه ضررا صرفه هو في المصارف التى ذكرناها فيما إذا ظن انه يصرفه في باطل.
بدائع الصنائع -الحنفية، ج4، ص 113-114
( فصل ) : وأما ما يوضع في بيت المال من الأموال فأربعة أنواع : أحدها زكاة السوائم ، والعشور وما أخذه العشار من تجار المسلمين إذا مروا عليهم ، والثاني خمس الغنائم ، والمعادن ، والركاز ، والثالث خراج الأراضي وجزية الرءوس وما صولح عليه بنو نجران من الحلل وبنو تغلب من الصدقة المضاعفة وما أخذه العشار من تجار أهل الذمة والمستأمنين من أهل الحرب ، والرابع ما أخذ من تركة الميت الذي مات ولم يترك وارثا أصلا ، أو ترك زوجا ، أو زوجة وأما مصارف هذه الأنواع ، فأما مصرف النوع الأول فقد ذكرناه . وأما النوع الثاني وهو خمس الغنائم والمعادن والركاز فنذكر مصرفه في كتاب السير ، وأما مصرف النوع الثالث من الخراج وأخواته فعمارة الدين ، وإصلاح مصالح المسلمين وهو رزق الولاة ، والقضاة وأهل الفتوى من العلماء ، والمقاتلة ، ورصد الطرق ، وعمارة المساجد ، والرباطات ، والقناطر ، والجسور ، وسد الثغور ، وإصلاح الأنهار التي لا ملك لأحد فيها . وأما النوع الرابع فيصرف إلى دواء الفقراء ، والمرضى وعلاجهم ، وإلى أكفان الموتى الذين لا مال لهم ، وإلى نفقة اللقيط وعقل جنايته ، وإلى نفقة من هو عاجز عن الكسب وليس له من تجب عليه نفقته ونحو ذلك وعلى الإمام صرف هذه الحقوق إلى مستحقيها والله أعلم .
حاشية البجيرمي على المنهاج، ج9، ص 404 المكتبة الشاملة
( كتاب الغصب ) الأصل في تحريمه قبل الإجماع آيات كقوله تعالى : { لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل } أي لا يأكل بعضكم مال بعض بالباطل وأخبار كخبر { إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام } رواه الشيخان ( هو ) لغة : أخذ الشيء ظلما وقيل أخذه ظلما جهارا وشرعا : ( استيلاء على حق غير ) ولو منفعة كإقامة من قعد بمسجد أو سوق أو غير مال ككلب نافع وزبل ( بلا حق ) كما عبر به في الروضة بدل قوله كالرافعي عدوانا فدخل فيه ما لو أخذ مال غيره يظنه ماله فإنه غصب وإن لم يكن فيه إثم