Media Informasi Dan Dakwah Pondok Pesantren Al-Ihsan Gembong

SYEKH ‘ALI ATH-THANTHAWI; SEDEKAH PERASAAN

SYEKH ‘ALI ATH-THANTHAWI; SEDEKAH PERASAAN



Tidak hanya melapangkan hati orang lain, sedekah perasaan juga bisa melapangkan hati kita



Bagi para pegiat sastra Arab modern, pasti tidak asing dengan nama Syekh 'Ali ath-Thanthawi rahimahullah, seorang ulama dari Syria yang terkenal dengan julukan "Adibul-Fuqaha, Faqihul-Udaba’", sastrawannya para ahli fikih dan Ahli fikihnya para sastrawan.

Syekh 'Ali ath-Thanthawi (w. 1999 M.) memang seorang ulama yang masyhur nan unik. Beliau adalah ahli fikih kaliber dunia, tetapi juga masyhur sebagai ahli sastra dan balaghah yang dikenal dengan keindahan kata-katanya juga manis ungkapannya. Dunia Islam modern mengenalnya sebagai salah satu ulama terbesar pada abad 20 dalam dakwah Islam dan sastra Arab.

Beliau terkenal dengan tulisan-tulisannya yang bernas, bermutu tinggi, mengalir dengan indah, dengan bahasa yang memukau, dan cakupan pembahasan yang luas dan dalam.

Selama hidup Syekh ath-Thanthawi telah menulis lebih dari 15.000 artikel. Sebagian telah dicetak hingga berulang kali. Aspek keindahan karya beliau terletak pada bahasanya yang mudah dengan tetap mempertahankan konsep filologi sastra Arab tingkat tinggi. Hal itulah yang membuat buku-bukunya banyak disukai oleh pegiat literasi Arab. Ketika banyak orang menduga, ruh sastra tak mungkin bisa dimasukkan ke dalam dunia fikih, justru beliau mampu melakukannya dengan sempurna sebagaimana Ibnu Qutaibah yang mampu menyatukan ruh sastra ke dalam dunia hadis. Begitu penilaian para sastrawan tentang Syekh ath-Thanthawi.

Syekh 'Ali ath-Thanthawi; seorang cendikiawan fikih sekaligus sastrawan


Karya-karya beliau cukup bermacam-macam. Dalam fan fikih ada "Fatawa 'Ali ath-Thanthawi". Mengenai biografi tokoh ada buku "Abu Bakar ash-Shiddiq", "Akhbaru 'Umar", tentang tarikh/sejarah ada "al-Jami' al-Umawi fi Dimasyqa", "Hikayat minat-Tarikh". Ada pula tentang sastra yang memuat pemikiran-pemikiran beliau dengan ungkapan yang begitu indah dan menyejukkan jiwa seperti "Dzikrayat 'Ali ath-Thanthawi", "Min Haditsin-Nafsi", "Shuwar wa Khawathir", "Maqalat fi Kalimat", "Hutaful-Majdi", dan "Fushul fits-Tsaqafah wal-Adab". Bahkan Syekh ath-Thanthawi juga menulis buku yang membahas tentang negara kita, Indonesia, dengan judul "Fi Indunisiya".

KISAH SEDEKAH PERASAAN
Terkait dengan istilah “sedekah perasaan”, ada satu cerita menarik yang bisa menguak apa maksud dari istilah tersebut. Cerita itu adalah kisah nyata dari Syekh 'Ali ath-Thanthawi yang inspiratif dan penuh pelajaran. Berikut kisahnya.

Syekh 'Ali ath-Thanthawi berkata:

"Semalam, aku melihat anak perempuanku mengambil sedikit sisa makanan, yakni nasi dan sejenis kacang. Lantas dia meletakkannya di nampan tembaga, ia tambahkan juga terong, mentimun dan beberapa butir misymisy (aprikot). Lalu dia hendak beranjak keluar.

Aku pun menanyainya. "Untuk siapa ini?"

"Itu untuk penjaga rumah kita. Nenek yang memerintahkanku melakukan ini," jawabnya.

Aku pun berkata, "Ambil sebagian piring, pindahkan semuanya ke piring (yang lebih bagus), rapikan (posisi) nampannya (agar lebih enak dipandang), tambahkan pula segelas air, serta sendok dan pisau."

Dia pun melakukan perintahku, lalu beranjak pergi (menuju ke penjaga tersebut).

Setelah pulang, dia bertanya kepadaku, kenapa aku menyuruhnya melakukan hal itu?  

Aku jawab, "Sesungguhnya makanan yang kita berikan itu adalah sedekah harta (shadaqah bil-mal). Adapun kerapian  (yang kita atur sedemikian rupa agar enak dipandang) itu adalah sedekah perasaan (shadaqah bil-'athifah). Yang pertama, mengenyangkan perut. Yang kedua, memuaskan hati. Yang pertama (memberi makanan dengan perabot ala kadarnya dan tidak rapi), akan membuat penjaga merasa dirinya sebagai pengemis/peminta-minta, sebab kita berikan kepada sisa-sisa makanan. Yang kedua (memberi makanan dengan perabot lengkap, lebih bagus, dan penataan yang rapi), membuatnya merasa sebagai teman akrab (dari pemilik rumah) atau tamu mulia. Jadi, ada perbedaan besar antara pemberian harta dan pemberian jiwa (hati/perasaan). Dan ini (yakni pemberian jiwa) lebih agung di sisi Allah dan di mata orang fakir. (Oleh Karena itu,) jadikanlah kebaikanmu (kepada orang lain) senantiasa diselimuti pemuliaan dan cinta. Bukan dengan disertai perendahan dan penghinaan.""

Kisah Syekh ath-Thanthawi di atas mengingatkan kepada kita tentang sebuah hal yang jarang disadari dan diperhatikan umumnya orang, yaitu sedekah perasaan (ash-shadaqah bil-'athifah).

Kebanyakan orang ketika mendengar kata sedekah, makna yang segera terbersit dalam hati adalah sedekah materi, tentang harta benda. Padahal dalam khazanah Islam, cakupan sedekah sangat luas dan universal, mencakup baik berupa materi maupun nonmateri. Kalau Anda gemar berzikir, bertasbih dan sejenisnya, maka kata Nabi SAW., semua itu juga bernilai sedekah. Sebagaimana sabda Nabi berikut ini:

عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صلى اللّٰه عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللّٰهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

"Dari Abu Dzar (radhiyallahu ‘anhu), ia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan salat sebagaimana kami salat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bersedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah sedekah, tiap-tiap tahmid adalah sedekah, tiap-tiap tahlil adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah." Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala." (HR. Muslim no. 2376)

Demikian penjelasan Nabi SAW. tentang universalitas sedekah.




Setiap aktivitas seseorang bisa bernilai sedekah, walau tanpa mengeluarkan materi sama sekali. Tidak hanya berupa zikir, tahlil, nasehat, dan perkataan baik semata, perlakuan baik kita kepada orang lain sehingga ia menjadi senang dan bahagia ini juga bernilai sedekah. Dalam istilah syariat perlakuan seperti ini disebut idkhalus-surur fi qalbil-muslim, artinya upaya memasukkan kebahagiaan ke dalam hati sesama muslim, atau dalam bahasa mudahnya: menyenangkan hati orang lain. Adapun Syekh 'Ali ath-Thanthawi menamainya dengan istilah "sedekah perasaan". 

HAKIKAT SEDEKAH PERASAAN
Rasulullah adalah role model ideal bagi setiap muslim. Sirah kehidupannya sudah lebih dari cukup untuk dibuat buku pedoman bagaimana caranya menjadi makhluk yang beradab dan berakhlak. Karena Rasulullah adalah cerminan akhlak mulia itu sendiri. Beliau dikirim ke muka bumi untuk memperbaiki akhlak umat manusia dan mengentaskan mereka dari perilaku-perilaku “loss of adab” (hilangnya adab/moral).

Sejak awal Rasulullah SAW. telah menjelaskan misinya ini dalam sabda beliau:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi).

Dalam pada itu, salah satu akhlak yang paling menonjol dari Rasulullah adalah  idkhalus-surur, menyenangkan hati orang lain. Sehingga ada ungkapan:


إدخال السرور من أخلاق الرسول


"Menyenangkan hati seseorang adalah bagian dari akhlak mulia Rasulullah." Begitu kira-kira arti ungkapan di atas.

Ya, benar. Menyenangkan hati orang lain adalah salah satu akhlak Rasulullah. Rasulullah telah mempraktikkan akhlak ini sepanjang hidupnya. Mengenai hal tersebut, ada satu cerita penting yang menunjukkan betapa tulusnya Rasulullah dalam upaya menyenangkan hati orang lain.

Alkisah, pada suatu saat datanglah seorang miskin kepada Rasulullah SAW. dengan membawa hadiah semangkuk buah anggur. Rasulullah pun menerima hadiah itu dan mulai memakannya. Biasanya, Rasulullah selalu memberi makanan kepada para sahabat jika ada yang memberi sedekah, dan beliau sendiri tidak ikut makan. Sementara itu, jika ada yang memberi hadiah, Rasul juga memberi kepada para sahabat dan beliau pun ikut makan. Namun kali ini berbeda, beliau memakan buah pertama lalu tersenyum kepada orang tersebut. Beliau mengambil buah kedua lalu tersenyum kembali. Orang yang memberi anggur itu serasa terbang melayang-layang karena bahagia melihat Rasulullah menyukai hadiahnya itu. Sementara para sahabat melihat beliau dengan penuh keheranan. Tak biasanya Rasulullah makan sendirian. Satu per satu anggur itu diambil oleh Rasulullah dengan selalu tersenyum, hingga semangkuk anggur itu habis tanpa sisa. Para sahabat semakin heran dan orang miskin itu pulang dengan hati penuh bahagia.

Lantas ada seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW., "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mengajak kami ikut makan bersamamu?"

Rasulullah tersenyum, lalu menjawab, "Kalian telah melihat bagaimana wajah bahagia orang itu dengan memberiku semangkuk anggur. Dan ketika aku memakan anggur itu, kutemukan rasanya masam. Dan aku takut jika mengajak kalian ikut makan denganku, akan ada yang menunjukkan sesuatu yang tidak enak hingga merusak kebahagiaan orang itu.”

Luar biasa bukan? Begitu besar kepedulian Rasulullah SAW. dalam menjaga perasaan orang lain hingga rela memakan semua anggur masam agar tidak mengecewakan si Pemberi.

Kembali pada pokok bahasan. Jika kita ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, sedekah perasaan adalah salah satu jalannya. Inti dari sedekah perasaan adalah idkhalus-surur, yakni menyenangkan hati orang lain. Atau dalam versi lengkapnya, sedekah perasaan adalah sebuah upaya menciptakan kondisi yang dapat menyenangkan orang lain, dan membuatnya merasa nyaman dan bahagia saat berinteraksi dengan kita. Hal inilah yang ingin diajarkan Nabi SAW. melalui kisah di atas.

Ketika kita melakukan idkhalus-surur dengan tulus dan ikhlas, niscaya perbuatan ini akan mendatangkan pahala selayaknya sedekah. 

Rasulullah bersabda:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا  قَالَ : إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ إِنَّ اَحَبَّ الْأعْمَالِ إلَى اللهِ بَعْدَ الْفَرَائِضِ إِدْخَالُ السُّرُوْرِ عَلَى الْمُسْلِمِ. 

"Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang paling disukai Allah setelah (melaksanakan) berbagai hal yang wajib adalah menggembirakan orang muslim lain.""

Membuat gembira sesama muslim bisa dilakukan dengan berbagai cara dan bermacam-macam tindakan. Pernah dengar nama Nu’aiman bin 'Amr? Dia adalah sahabat Nabi asal Madinah yang kocak, dan suka melempar candaan hingga membuat Nabi dan para sahabat lain tersenyum. Cara idkhalus-surur seperti Nu’aman juga sering dilakukan oleh Abu ‘Ali Al-Hasan bin Hani al-Hakami alias Abu Nuwas (umumnya orang menyebutnya Abu Nawas), seorang penyair dari jazirah Arab yang sangat terkenal di era Dinasti Bani Abbasiyah dengan tingkah lakunya yang kocak, ceritanya yang lucu, menghibur nan inspiratif itu. Mereka berdua berusaha menyenangkan orang lain dengan karakter humorisnya.

Cara menggembirakan orang lain dengan bercanda itu sah-sah saja dilakukan dan tentunya akan bernilai pahala, selama tidak ada pelanggaran aturan syarak di sana seperti seperti berbohong untuk membuat tertawa orang lain. Aturan ini penting diketahui.

Adalah maklum adanya ketika seseorang bersenda gurau, bercanda, guyon. Nabi saja melakukannya. Pastinya kita tahu, bahwa Nabi Muhammad itu mempunyai wibawa yang sangat agung, dan tidak ada wibawa makhluk yang setara dengan wibawanya. Maka, agar para sahabat mampu menerima semua ajaran yang disampaikan oleh Baginda Rasulullah SAW., tanpa ada unsur takut dan sungkan yang diakibatkan dari kewibawaan beliau yang begitu agung, beliau menyelinginya dengan gurauan yang hak (benar), hingga para sahabat mampu menerima apa yang disampaikan oleh Rasulullah dengan maksimal.

Hal ini selaras dengan penjelasan para ulama tentang karakteristik candaan ala Rasulullah, mereka berkata:


كان له مهابة، فلذا كان ينبسط مع الناس بالمداعبة والطلاقة والبشاشة.

“Rasulullah mempunyai wibawa yang agung. Maka dari itu, beliau bergaul bersama orang-orang (para sahabat) dengan senda gurau, kegembiraan dan keceriaan.”

Namun, dalam candaan Rasulullah, kita harus memahami bahwa di dalamnya tidak ada unsur kebohongan. Semua perkataan dan candaan yang beliau ucapkan adalah sebuah perkataan dan candaan yang haq (benar, sesuai fakta) tanpa ada sedikit pun kebohongan di dalamnya.

Terekam dalam sebuah riwayat dari Sayyidah 'Aisyah RA. yang menjelaskan bahwasanya Rasulullah pernah bercanda, dan Rasulullah bersabda:
إن الله لا يؤاخذ المزاح الصادق في مزاحه

“Sesungguhnya Allah tidak menghukum orang humoris yang benar dalam humornya”.

Aturan seperti ini perlu ditekankan lagi, menimbang pada zaman sekarang banyak orang berprofesi sebagai pelawak atau komika dalam stand up comedy yang mengarang cerita-cerita bohong/fiktif demi membuat tertawa para penonton dan pendengar. Ironisnya lagi lawakan-lawakan yang mereka buat banyak yang 'unfaedah', tidak mengandung manfaat atau pelajaran yang bisa dipetik.

Kembali ke awal. Sedekah perasaan bisa pula diwujudkan dengan perkataan yang menyenangkan, bisa dengan sikap rendah hati, menghormati orang lain, memperlakukan orang lain dengan baik, tidak menghina atau merendahkannya, tidak merasa yang paling mulia sendiri, tidak menghormati hak-hak orang lain dan sebagainya. 

Anda menjadi pendengar yang baik, ramah terhadap orang lain, memberi semangat ketika seseorang sedih, senang memuji, memberi dukungan emosional, meminta maaf ketika anda berbuat salah, menunjukkan rasa empati pada orang lain, bersikap sopan, menjadi sosok humoris, gemar menyapa teman, itu semua juga termasuk implementasi dari sedekah perasaan.

Pun dalam sebagian hukum fikih, kita akan menemukan praktik 'sedekah perasaan'. Kita bisa membacanya dalam "Fathul-Mu'in". Di dalam magnum opusnya Imam Zainuddin al-Malibari ini, ada satu keterangan, yaitu sunah membatalkan puasa sunah apabila dikhawatirkan dapat menyinggung perasaan tuan rumah (bila tetap berpuasa), dan si Pelaku akan tetap mendapatkan pahala puasa yang sudah lewat. Masih dalam kitab yang sama, Imam Zainuddin al-Malibari menukil pendapat Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa, saat membatalkan puasa tersebut, disunahkan berniat untuk menyenangkan perasaan tuan rumah. Kalimat 'menyenangkan perasaan tuan rumah' itu adalah salah satu praktik dari sedekah perasaan [lihat: Syeikh Zainuddin Ahmad bin Qadhi Muhammad al-Ghazali bin Syeikh Zainuddin al-Makhdum Kabir asy-Syafi'i al-Asy’ari al-Funnani al-Malibari, Fathul-Mu'in, hlm. 176].

FAEDAH SEDEKAH PERASAAN
Dalam kitab Qami'uth-Thughyan 'ala Manzhumati Su'abil-Iman, Syekh Nawawi al-Bantani menceritakan sebuah kisah, ada orang yang berlumurkan dosa, akan tetapi kemudian Allah melebur dosa-dosanya tersebut. Baginda Nabi bertanya kepada malaikat Jibril, “Sebab apa Allah mengampuni dosa-dosa orang itu?” Malaikat Jibril menjawab,

لَهُ صَبِيٌّ صَغِيْرٌ، فَاِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ يَسْتَقْبِلُهُ، فَيَدْفَعُ اِلَيْهِ شَيْئًا مِنَ الْمَأْكُوْلاَتِ اَوْ مَا يَفْرَحُ بِهِ، فَاِذَا فَرِحَ الصَّبِيُّ يَكُوْنُ كَفَّارَةً لِذُنُوْبِهِ.

"(Karena) ia memiliki anak kecil, ketika ia masuk ke rumahnya (setelah dari bepergian), ia disambut putranya yang masih kecil itu. Lalu ia memberikan sedikit makanan atau sesuatu (oleh-oleh) yang membuat sang buah hati bahagia. Manakala anak kecil itu telah bahagia, hal itulah yang menjadi kaffarah (pelebur) atas dosa-dosanya."

Jadi, sedekah perasaan dengan berusaha menyenangkan hati yang lain itu bisa menjadi perantara dileburnya dosa-dosa pelaku (diampuni). 


Di samping itu, ada faedah-faedah lain ketika seseorang tulus bersedekah perasaan. Di antaranya:

1. Memperoleh rezeki berupa didatangkan orang yang akan memberi kebahagiaan;
Ada sebuah idiom mengatakan, al-jaza'u min jinsil-'amal, balasan dari Allah itu menyesuaikan amal hamba-Nya. Jika kita tulus membahagiakan orang lain, maka Allah akan mengirimkan kepada kita seseorang yang akan membahagiakan kita kelak.  Al-Habib 'Umar bin Hafidz, ulama tersohor asal Yaman, menegaskan hal ini dalam perkataannya, "Di saat kita hidup untuk membahagiakan orang lain, maka Allah SWT akan memberi kita rezeki, berupa orang yang akan membahagiakan kita."

2. Dicintai oleh Allah;
Sedekah perasaan juga bisa menjadi sebab kita akan dicintai Allah karena telah melakukan amal yang disukai-Nya, sebagaimana dituturkan dalam hadis riwayat Ibnu 'Abbas RA. di atas.

3. Mendapatkan ketenangan hati;
Menyenangkan hati orang lain dapat memberikan efek positif pada diri kita sendiri, salah satunya adalah munculnya ketenangan dan kelegaan hati. 

4. Mendapat pahala;
Orang yang membuat orang lain bahagia tentunya akan mendapat pahala dari Allah SWT. karena telah melakukan perbuatan terpuji kepada sesama. 

5. Diringankan beban pikirannya;
Memberikan kebahagiaan kepada orang lain bisa meringankan beban yang ada di pikiran kita. Hal itu dikarenakan oleh energi positif yang lahir dari hati saat menyenangkan orang lan akan ikut mempengaruhi pikiran kita sehingga beban yang ada di dalam pikiran kita akan menjadi lebih ringan dari sebelumnya.

PENUTUP
Meski cara dan intensitasnya berbeda-beda, sebagai manusia yang memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai, pasti pernah merasa ingin menyenangkan orang lain, baik dalam skala kecil maupun besar.

Dalam dunia psikologi, orang dengan karakter seperti ini dinamakan people-pleaser. Yakni orang-orang yang punya karakter selalu berusaha menyenangkan orang lain.


Pada pembahasan sebelumnya telah diterangkan bahwa sedekah perasaan atau upaya menyenangkan hati orang lain termasuk dari sebagian akhlak Rasulullah SAW. sehingga secara tidak langsung setiap muslim diperintahkan untuk meneladani akhlak atau karakter ini.


Yang menjadi pertanyaan, pernahkah kita merasa kewalahan karena selalu berusaha menyenangkan orang lain? Atau, pernahkah kita merasa kesulitan mengatakan tidak, karena khawatir akan mengecewakan mereka sehingga hal itu menyulitkan kita sendiri?


Meski pada dasarnya baik, terlalu banyak/berlebihan dalam usaha menyenangkan orang lain bisa membawa beberapa efek negatif dalam kehidupan kita. Hingga mendorong kita untuk menyenangkan orang lain di luar kadar kemampuan sebenarnya. Misalnya, ada tamu datang ke rumah, lalu tuan rumahnya berkeinginan memuliakan tamu dan menyenangkan hatinya dengan menyuguhkan jamuan bermacam-macam nan mewah. Padahal biaya hidupnya 'pas-pasan'. Lalu demi menyediakan berbagai suguhan yang mewah, dia memaksa diri untuk berhutang kepada tetangganya (misalkan). Efek negatif dari kondisi tersebut, tindakan menyenangkan hati tamu yang semestinya bisa dilakukan dengan tulus dan ikhlas, karena dilakukan di luar kadar kemampuan harta, justru membuatnya merasa terpaksa, tidak tulus dan pura-pura mampu.


Perbuatan yang dilakukan tuan rumah dalam contoh di atas itu dinamakan takalluf. Yaitu tindakan menyusahkan diri dan perbuatan yang dibuat-buat di luar kemampuan yang dimiliki demi mendapatkan pengakuan dari orang lain. Islam sangat mencela dan melarang perbuatan semacam ini karena bisa membuat seseorang merasa berat dalam memuliakan tamu hingga kadang kala membuatnya tidak jadi memuliakannya.

Diriwayatkan dari Salman al-Farisi RA. bahwa Rasulullah pernah bersabda:



لا يتكلَّفَنَّ أحد لضيفه ما لا يقدر عليه

"Sungguh janganlah seseorang menyusahkan diri/melakukan perbuatan yang dibuat-buat demi (memuliakan) tamunya di luar perkara yang dimampuinya." (HR. Al-Baihaqi, dalam "Syu'abul-Iman", no 2440)


Berkenaan dengan hadis di atas, Imam an-Nawawi berkomentar, "Sungguh kelompok ulama salaf membenci perbuatan takalluf demi (memuliakan) tamu. Takalluf diarahkan ke makna perbuatan yang memberatkan tuan rumah dengan keberatan yang tampak jelas (zhahir). Karena perbuatan itu bisa menghalanginya dari keikhlasan dan kegembiraan sempurna sebab (kedatangan) tamu. Terkadang satu dari perbuatan takalluf tersebut tampak di hadapan si Tamu sehingga dia bisa tersakiti/tidak enak hati."


Walhasil, menyenangkan orang lain yang didasari ketulusan hati adalah perbuatan baik dan tentunya bisa mendatangkan perasaan bahagia yang tak terlukiskan di dunia ini. Menceriakan hari seseorang, entah keluarga kita, sahabat, tetangga, kenalan, ataupun siapapun yang kita temui dapat mendatangkan balasan yang baik dan keberkahan hari kita. Inilah yang dinamakan sedekah perasaan.

Namun demikian, kita juga harus tahu kadar kemampuan kita yang sebenarnya. Agar keinginan membahagiakan orang lain tidak sampai menjerumuskan kita ke dalam perbuatan takalluf yang dilarang agama. 


Sekian.