Media Informasi Dan Dakwah Pondok Pesantren Al-Ihsan Gembong

HARTA PENSIUNAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

HARTA PENSIUNAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM




Deskripsi masalah

Seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) meninggal dunia, ia berwasiat agar sepertiga hartanya dialokasikan untuk fakir miskin. Tentunya istri dan anak-anaknya mendapat pensiunan tiap bulannya selama si Istri tidak menikah lagi.

Pertanyaan:
Apakah uang pensiunan termasuk tirkah (harta warisan)? Jika termasuk, bagaimana cara menghitung untuk wasiat?

(Pertanyaan dari : PWLBMNU JATENG)


Jawaban:
Dana pensiunan PNS bukan termasuk tirkah (harta peninggalan mayit), berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Negara Indonesia yang menjelaskan bahwa sumber dana pensiun tersebut itu berasal dari APBN/D yang diberikan kepada istri, yang berarti irzaq (pemberian), bukan ujrah (upah, gaji) dari hasil kerja suami.

Oleh karena dana pensiunan bukan termasuk tirkah, maka tidak dimasukkan dalam penghitungan harta yang diwasiatkan.

Uraian Jawaban:
Uang pensiunan PNS adalah sejumlah uang yang diberikan oleh pemerintah kepada pegawai negeri/bekas pegawai negeri yang terakhir sebelum berhenti sebagai pegawai negeri atau sebab ia telah meninggal dunia.

Pembentukan dan penyelenggaraan suatu dana pensiun ini telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 1969 Tentang Pensiun Pegawai Dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Uang pemberian tersebut telah dianggarkan Negara dan diambilkan dari  APBN/D (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah) sebagai jaminan hari tua sekaligus penghargaan atas jasa-jasa mereka dalam dinas pemerintahan.

Uang pensiun ini berasal dari tabungan yang diambil dari sebagian gaji pegawai penerima pensiun sewaktu masih aktif dan jumlah pensiun yang diterima oleh pegawai tersebut setelah pensiun. Jika pegawai penerima uang pensiun tersebut meninggal dunia, maka uang itu akan diberikan kepada istrinya.

Adapun besar kecilnya uang pensiun yang diberikan itu diperhitungkan dengan jumlah gaji yang diterima oleh pegawai tersebut sewaktu masih aktif.

Tidak semua orang berhak untuk mendapatkan uang pensiunan. Karena pemerintah telah menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Di antaranya:

A) Yang berhak memberi pensiun adalah:
 Pejabat yang berhak memberhentikan pegawai yang bersangkutan, di bawah pengawasan dan koordinasi Kepala Kantor Urusan Pegawai.

B) Yang berhak mendapatkan uang pensiun adalah:

- Pegawai yang diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri jikalau ia pada saat pemberhentiannya masih berstatus sebagai pegawai negeri. Atau telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun dan mempunyai masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 20 tahun.  Atau ia dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga karena keadaan jasmani atau rohani. Atau pegawai tersebut mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 4 tahun dan oleh badan/pejabat yang ditunjuk oleh Departemen Kesehatan dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga karena keadaan jasmani atau rohani, yang tidak disebabkan oleh dan karena ia menjalankan kewajiban jabatannya.

- Pegawai negeri yang diberhentikan atau dibebaskan dari pekerjaannya dengan hormat sebagai pegawai negeri karena penghapusan jabatan, perubahan dalam susunan pegawai, penertiban aparatur negara atau karena alasan-alasan dinas lainnya dan kemudian tidak dipekerjakan kembali sebagai pegawai negeri dan pada saat pemberhentiannya sebagai pegawai negeri itu telah berusia sekurang-kurangnya 50 tahun serta memiliki masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun.

- Pegawai Negeri yang setelah menjalankan suatu tugas negara tidak dipekerjakan kembali sebagai pegawai negeri. Ia juga berhak menerima pensiun pegawai apabila ia diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri dan pada saat pemberhentiannya sebagai pegawai negeri ia telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun dan memiliki masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun.

 - Apabila pegawai negeri pada saat ia diberhentikan sebagai pegawai negeri telah memiliki masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun akan tetapi pada saat itu belum mencapai usia 50 tahun, maka pemberian pensiun kepadanya ditetapkan pada saat ia mencapai usia 50 tahun. Namun Pemberian uang pensiun pegawai akan dihentikan apabila penerima pensiun pegawai diangkat kembali menjadi pegawai negeri atau diangkat kembali dalam suatu jabatan negeri.

 - Selanjutnya apabila pegawai negeri atau penerima pensiun pegawai meninggal dunia, maka yang berhak menerima uang pensiun tersebut adalah istri (istri-istri)nya untuk pegawai negeri pria atau suaminya untuk pegawai negeri wanita, yang sebelumnya telah terdaftar pada Kantor Urusan Pegawai. Jika pegawai negeri atau penerima pensiun pegawai pria termaksud di atas beristri lebih dari seorang, maka pensiun janda diberikan kepada istri yang paling lama ada pada waktu itu dan tidak terputus-putus dinikahnya.

  - Hak istri untuk mendapatkan pensiunan dapat dihapuskan oleh pemerintah jika hubungan perkawinan dengan suami yang telah terdaftar terputus atau janda/duda yang bersangkutan menikah lagi dengan lelaki lain.

   - Lalu jika pegawai negeri penerima dana pensiun tidak mempunyai istri/suami lagi yang berhak untuk menerima pensiun janda/duda atau bagian pensiun janda maka pensiun itu diberikan kepada anak/anak-anaknya yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan pemerintah.

 - Hak untuk menerima pensiun-pegawai atau pensiun-janda/duda akan dihapus jika penerima pensiun-pegawai tidak seizin pemerintah menjadi anggota tentara atau pegawai negeri suatu negara asing atau  menurut keputusan pejabat/badan negara yang berwenang ia dinyatakan salah karena melakukan tindakan atau terlibat dalam suatu gerakan yang bertentangan dengan kesetiaan terhadap Negara.

 - Penghapusan itu juga berlaku jika ternyata keterangan-keterangan yang diajukan sebagai bahan untuk penetapan pemberian pensiun-pegawai/pensiun janda/duda/bagian pensiun-janda, tidak benar dan bekas pegawai negeri atau janda/duda/anak yang bersangkutan sebenarnya tidak berhak diberikan pensiun.

Ketatnya ketentuan pemerintah dalam permasalahan uang pensiun ini mengindikasikan bahwa mereka sangat berhati-hati dalam mengalokasikan dana tunjangan tersebut. Pemerintah menetapkan untuk memperoleh pensiun pegawai menurut Undang-undang, pegawai negeri yang bersangkutan diharuskan untuk  mengajukan surat permintaan uang pensiun terlebih dahulu kepada Kepala Kantor Urusan Pegawai, disertai salinan sah dari surat keputusan tentang pemberhentian ia sebagai pegawai negeri, daftar riwayat pekerjaan, daftar susunan keluarga serta beberapa surat keterangan lainnya.

Dari penjelasan di atas timbul sebuah pertanyaan,  berstatus apakah uang pensiun tersebut?

Permasalahan uang pensiun ini sangat erat kaitannya dengan dua istilah yang sudah familiar di kalangan para intelektual fikih, yakni Ujrah (upah, gaji) dan Rizq (pemberian). Alasannya, jika dipandang dari satu sisi, sekilas karakteristik uang pensiun mirip dengan Ujrah (upah). Hal ini terindikasikan dari status uang tersebut itu berasal dari tabungan yang diambil dari sebagian gaji pegawai penerima pensiun sewaktu masih aktif bekerja dan mengabdi pada pemerintah. Namun di sisi lain, bila melihat realitas yang ada, sebenarnya uang pensiun yang diberikan kepada penerima pensiun tersebut tidak sepenuhnya berasal dari jumlah uang tabungan dari penerima pensiun. Karena, apabila ada seseorang pegawai negeri tetap yang baru bekerja enam bulan misalnya, kemudian dia meninggal dunia, maka istrinya berhak menerima pensiun selama hidupnya, dengan catatan tidak kawin lagi dengan orang lain. Sebaliknya, jika ada seseorang pegawai negeri yang sudah 40 tahun bekerja, kemudian meninggal dunia dan setelah 5 bulan istrinya kawin lagi dengan orang lain, maka istri tersebut sudah tidak berhak menerima uang pensiun, padahal menurut perhitungan akal, tabungan mantan suaminya masih banyak jumlahnya.

Rizq (pemberian) dan Ujrah (upah) bukanlah dua kata yang sama artinya. Keduanya berbeda satu sama lain sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Dzakhair. Dalam kitab tersebut, Rizq itu didefinisikan sebagai sebuah pemberian yang mencukupi bagi seseorang bersama keluarganya. Sedangkan Ujrah adalah sebutan untuk sesuatu yang diberikan atas dasar saling rela (suka). [Lihat: Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu` Syarhul-Muhaddzab, vol 3, hal 128]

Imam al-Mawardi sendiri dalam kitabnya yakni Al-Hawi fi Fiqhisy-Syafi`i, menjelaskan bahwa di antara yang berhak mendapatkan Rizq adalah para tentara perang yang berjihad untuk memperjuangkan agama Islam [lihat: al-Mawardi, Al-Hawi Fi Fiqhisy-Syafi`i, vol 8, hal 443]. Mereka mendapatkannya jika nama-nama mereka sudah tercantum dalam buku penerima gaji. Sehingga yang tidak tercantum namanya tidak akan mendapatkannya. Di samping itu, pemberian gaji itu juga merata sampai kepada istri dan anak-anak mereka. [Lihat: Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami, Nihayatul-Minhaj Syarhul-Minhaj, vol 5, hal 291]

Penjelasan  ini menguatkan bahwa dana pensiunan adalah termasuk Rizq. Karena pegawai negeri  juga tercatat dalam buku penerima gaji dan berdasarkan penentuan seorang imam (pemimpin tertinggi) sama seperti para tentara perang. Dalam masalah jihad, para tentara perang akan memperoleh Rizq dari imam dengan tujuan supaya mereka bisa fokus dalam berjihad dan tidak memikirkan biaya keluarganya. Keadaan ini juga sama seperti yang terjadi pada PNS.

Syekh Nawawi dalam kitab Tausyih-nya juga menjelaskan bahwasanya seorang imam (penguasa pemerintahan) boleh mengalokasikan sisa gaji dari orang-orang yang mendapatkan Rizq kepada mashalihul-muslimin (kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin). Termasuk dalam hal ini orang-orang yang berilmu (alim) atau para kiai, bahkan anak mereka juga akan mendapatkan dana itu setelah mereka wafat. 

Dari penjelasan di atas sudah sepatutnya pemerintah juga mengalokasikan dana pensiun tersebut kepada para kiai beserta anak-anak mereka. [Lihat: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya` ‘Ulumiddin, vol 2, hal 140]

Dengan demikian, bisa disimpulkan dari uraian-uraian di atas, pengadaan dana pensiunan itu diperbolehkan dan termasuk Irzaq (pemberian). Meskipun ada sebagian ulama yakni Syekh Muhammad al-Hamid dalam kitabnya Rudud `Ala Abathil, tidak memperbolehkan mengambil dana pensiun dengan alasan tidak ada wujud pekerjaan yang layak ada imbalannya, karena ia telah dianggap sudah tidak menjadi pegawai.

Ketika kita mengacu pendapat yang memperbolehkan dana pensiun, apakah uang tersebut termasuk tirkah (harta peninggalan mayit)?

Pertama, kita harus mengetahui pengertian tirkah terlebih dulu. Dalam kitab Hasyiyata Qalyubi wa `Umairah, karya monumental dua ulama terkemuka yaitu Syekh Syihabuddin al-Qalyubi dan Ahmad al-Burlusi `Umairah, disebutkan bahwa pengertian tirkah adalah:

مَا تَخَلَّفَ عَنْ الْمَيِّتِ وَلَوْ بِسَبَبٍ أَوْ غَيْرِ مَالٍ كَاخْتِصَاصٍ

“Sesuatu yang telah ditinggalkan oleh mayit, baik berupa harta maupun selainnya seperti ikhtishash.”

Dari definisi tirkah di atas dapat ditarik sebuah konklusi bahwa sesuatu yang ditinggalkan bisa dianggap tirkah kalau memang sudah dimiliki oleh mayit, bukan sesuatu yang akan dimiliki [Lihat: Syihabuddin al-Qolyubi dan Ahmad al-Burlusi `Umairah, Hasyiyata al-Qolyubi Wa `Umairah, vol 3 hal 125.]. Hal ini bisa dipahami dari 'ibarat (teks) di atas yang menggunakan fi’il madhi (pekerjaan yang sudah lewat) yakni pada kata 'takhallafa' (telah ditinggalkan mayit). Dengan demikian, gaji pensiunan tidak dapat dianggap sebagai harta warisan karena ia adalah sejumlah uang yang akan diterima dan akan berpindah ke ahli waris itu.

Dengan demikian, bisa disimpulkan dari deskripsi di atas bahwa uang pensiunan yang diberikan oleh Pemerintah itu tidak dimasukkan dalam penghitungan harta yang diwasiatkan. Dan ia juga tidak dikenal dalam kitab-kitab fikih klasik sehingga tidak ada istilah khusus untuk menyebut uang pensiun itu. Karena ia hanya merupakan santunan yang aturannya sudah ditetapkan oleh pemerintah sendiri.

Referensi:

حاشيتا قليوبي وعميرة ج 3 ص 125
قَوْلُهُ : ( تَرِكَةِ ) هِيَ مَا تَخَلَّفَ عَنْ الْمَيِّتِ وَلَوْ بِسَبَبٍ أَوْ غَيْرِ مَالٍ كَاخْتِصَاصٍ وَلَوْ خَرَّ تَخَلَّلَتْ بَعْدَ مَوْتِهِ وَحَدِّ قَذْفٍ وَخِيَارٍ وَشُفْعَةٍ وَمَا وَقَعَ مِنْ صَيْدٍ بَعْدَ مَوْتِهِ فِي شَبَكَةٍ نَصَبَهَا قَبْلَهُ وَإِنْ انْتَقَلَ مِلْكُ الشَّبَكَةِ لِلْوَارِثِ وَدِيَةِ قَتْلٍ وَلَوْ بِعَفْوٍ عَنْ قِصَاصٍ مِنْ وَارِثِهِ .

نهاية المنهاج شرح المنهاج ج 5 ص 291
( لَا تَصِحُّ إجَارَةُ مُسْلِمٍ لِجِهَادٍ ) وَلَوْ صَبِيًّا وَعَبْدًا وَإِنْ قَصَدَ إقَامَةَ هَذَا الشِّعَارِ وَصَرَفَ عَائِدَتَهُ لِلْإِسْلَامِ فِيمَا يَظْهَرُ لِتَعَيُّنِهِ عَلَيْهِ بِحُضُورِ الصَّفِّ مَعَ وُقُوعِهِ عَنْ نَفْسِهِ ، وَبِهِ فَارَقَ حِلَّ أَخْذِهِ الْأُجْرَةِ عَلَى نَحْوِ تَعْلِيمٍ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ ، وَأَفْتَى الْبُلْقِينِيُّ بِإِلْحَاقِ الْمُرَابِطَةِ عِوَضًا عَنْ الْجُنْدِيِّ بِالْجِهَادِ فِي عَدَمِ صِحَّةِ الِاسْتِئْجَارِ لَهَا ، أَمَّا الذِّمِّيُّ فَتَصِحُّ لَكِنْ لِلْإِمَامِ فَقَطْ اسْتِئْجَارُهُ لِلْجِهَادِ كَمَا يَأْتِي فِي بَابِهِ....إلى أن قال...  وَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ مِنْ جَعْلِ جَامَكِيَّةٍ عَلَى ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنْ بَابِ الْإِجَارَةِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ بَابِ الْإِرْزَاقِ وَالْإِحْسَانِ وَالْمُسَامَحَةِ بِخِلَافِ الْإِجَارَةِ فَإِنَّهَا مِنْ بَابِ الْمُعَاوَضَةِ.

المجموع شرح المهذب ج 3 ص 128
قال صاحب الذخائر الفرق بين الرزق والاجرة ان الرزق أن يعطيه كفايته هو وعياله والاجرة ما يقع به التراضي.

تحفة المحتاج فى شرح المنهاج ج 7 ص 139
( وَكَذَا ) يُعْطَى مُمَوَّنُ الْمُرْتَزِقِ مَا يَلِيقُ بِذَلِكَ الْمُمَوَّنِ ، وَهُوَ ( زَوْجَتُهُ ) ، وَإِنْ تَعَدَّدَتْ وَمُسْتَوْلَدَاتُهُ ( وَأَوْلَادُهُ ) ، وَإِنْ سَفَلُوا وَأُصُولُهُ الَّذِينَ تَلْزَمُهُ مُؤْنَتُهُمْ فِي حَيَاتِهِ بِشَرْطِ إسْلَامِهِمْ كَمَا بَحَثَهُ الْأَذْرَعِيُّ وَاعْتُرِضَ بِأَنَّ ظَاهِرَ إطْلَاقِهِمْ أَنَّهُ لَا فَرْقَ وَيُوَجَّهُ بِأَنَّهُ يُغْتَفَرُ فِي التَّابِعِ الْمَحْضِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي الْمَتْبُوعِ ( إذَا مَاتَ ) .وَإِنْ لَمْ يُرْجَ كَوْنُهُمْ مِنْ الْمُرْتَزِقَةِ بَعْدُ لِئَلَّا يُعْرِضُوا عَنْ الْجِهَادِ إلَى الْكَسْبِ لِإِغْنَاءِ عِيَالِهِم ... إلى أن قال ... ( فَتُعْطَى ) الْمُسْتَوْلَدَةُ (وَالزَّوْجَةُ حَتَّى تَنْكِحَ ) أَوْ تَسْتَغْنِيَ بِكَسْبٍ ، أَوْ غَيْرِهِ فَإِنْ لَمْ تَنْكِحْ فَإِلَى الْمَوْتِ ، وَإِنْ رُغِبَ فِيهَا عَلَى مَا اقْتَضَاهُ إطْلَاقُهُمْ ( وَالْأَوْلَادُ ) الذُّكُورُ وَالْإِنَاثُ ( حَتَّى يَسْتَقِلُّوا ) أَيْ يَسْتَغْنُوا وَلَوْ قَبْلَ الْبُلُوغِ بِكَسْبٍ ، أَوْ نَحْوِ وَصِيَّةٍ ، أَوْ وَقْفٍ ، أَوْ نِكَاحٍ لِلْأُنْثَى ، أَوْ جِهَادٍ لِلذَّكَرِ وَكَذَا بِقُدْرَتِهِ عَلَى الْكَسْبِ إذَا بَلَغَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ ؛ لِأَنَّهُ بِالْبُلُوغِ صَلُحَ لِلْجِهَادِ فَإِذَا تَرَكَهُ وَلَهُ قُدْرَةٌ عَلَى الْكَسْبِ لَمْ يُعْطَى ثُمَّ الْخِيَرَةُ فِي وَقْتِ الْعَطَاءِ إلَى الْإِمَامِ كَجِنْسِ الْمُعْطَى.

الحاوي في فقه الشافعي ج 8 ص 443
وجملة المجاهدين ضربان : مرتزقة ، ومتطوعة . فأما المرتزقة فهم الذين فرغوا أنفسهم للجهاد فلم يشغلوا إلا به الفيء وثبتوا في الديوان فصاروا جيشا للمسلمين ومقاتلة للمشركين ، فهؤلاء يرزقون من أربعة أخماس الفيء ولا حق لهم في الصدقات ، وأما المتطوعة فهم أرباب المعائش والصنائع ، والأعراب الذين يتطوعون بالجهاد إن شاءوا ويقعدون عنه إن أحبوا ولم يثبتوا في الديوان ولا جعل لهم رزق ، فهؤلاء يعطون من الصدقات من سهم سبيل الله ولا حق لهم في الفيء

إحياء علوم الدين – ج 2 ص 140المكتبة الشاملة
 وانما النظر في الأموال الضائعة ومال المصالح فلا يجوز صرفه إلا إلى من فيه مصلحة عامة أو هو محتاج إليه عاجز عن الكسب فأما الغني الذي لا مصلحة فيه فلا يجوز صرف مال من بيت المال إليه هذا هو الصحيح وان كان العلماء قد اختلفوا فيه  وفي كلام عمر رضي الله عنه ما يدل على أن لكل مسلم حقا في بيت المال لكونه مسلما مكثرا جمع الإسلام ولكنه مع هذا ما كان يقسم المال على المسلمين كافة بل على مخصوصين بصفات فإذا ثبت هذا فكل من يتولى أمرا يقوم به تتعدى مصلحته إلى المسلمين ولو اشتغل بالكسب لتعطل عليه ما هو فيه فله في بيت المال حق الكفاية  ويدخل فيه العلماء كلهم أعنى العلوم التي تتعلق بمصالح الدين من علم الفقه و الحديث و التفسير و القراءة حتى يدخل فيه المعلمون و المؤذنون  وطلبة هذه العلوم أيضا يدخلون فيه فإنهم إن لم يكفوا لم يتمكنوا من الطلب ويدخل فيه العمال وهم الذين ترتبط مصالح الدنيا بأعمالهم وهم الأجناد المرتزقة الذين يحرسون المملكة بالسيوف عن أهل العداوة وأهل البغي وأعداء الإسلام -إلى أن قال-  فإن هذا المال للمصالح و المصلحة إما أن تتعلق بالدين أو بالدنيا فبالعلماء حراسة الدين وبالأجناد حراسة الدنيا   و الدين و الملك توأمان فلا يستغني أحدهما عن الآخر