Media Informasi Dan Dakwah Pondok Pesantren Al-Ihsan Gembong

MEMBUMIHANGUSKAN MORAL “BIADAB” UNTUK MENUJU INDONESIA BERADAB

MEMBUMIHANGUSKAN MORAL “BIADAB” UNTUK MENUJU INDONESIA BERADAB






 “Seandainya aku diminta untuk merangkum filosofi seluruh ajaran Islam dalam dua kata, maka akan kukatakan: kekokohan akhlak (Tsabātul-Akhlāq). Seandainya filosof terbesar dunia diminta untuk meringkas seluruh solusi bagi umat manusia dalam dua kata, maka pastilah ia berkata sama; kekokohan akhlak. Andaikan seluruh ilmuwan Eropa berkumpul untuk mempelajari peradaban Eropa, lalu mengutarakan apa yang betul-betul sulit diraih, maka mereka akan mengatakan: kekokohan akhlak.”


(Mushthafa Shadiq ar-Rafi`i dalam Wahyu al-Qalam, 2000)


Saat ini kita sedang menghadapi persoalan yang amat pelik berupa adanya gejala semakin merosotnya moral bangsa ini. Bangsa Indonesia yang dulunya memiliki leluhur orang-orang yang ramah, santun, berbudi pekerti, gemar bergotong-royong, ternyata kini masuk dalam kategori negara terkorup, memiliki tingkat kriminal tinggi dan moral yang rendah.


Tawuran antar pelajar, hubungan seks bebas, penyalahgunaan narkoba, tindakan kekerasan, pencurian, perampokan, teror dan KKN semakin merajalela. Semuanya fenomena itu memperlihatkan tatanan moral bangsa ini telah kacau balau sekaligus menjadi penanda gagal tercapainya tujuan pendidikan nasional.


Semakin bobroknya akhlak masyarakat modern ini, tentu saja menimbulkan banyak pertanyaan. Jika pendidikan yang salah satu kegiatannya terletak pada persekolahan dianggap dapat membina dan mengembangkan moral masyarakat agar tatanan sosial dapat ditegakkan, mengapa pendidikan yang telah berlangsung sekian lama ini menampakkan tanda-tanda kegagalan dalam membangun moral para generasi bangsa? Apa kesalahan pendidikan selama ini? Lantas bagaimana solusinya untuk membenahi kemerosotan moral yang menggerogoti bangsa ini?


GAGALNYA PENDIDIKAN MORAL BANGSA        

Aspek moral mendapat perhatian yang sangat besar dalam dunia pendidikan formal di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam arah dan tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan di Indonesia seperti tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 disebutkan sebagai berikut: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.


Persoalannya, muatan moral dalam tujuan pendidikan di atas terkesan hanya berupa peraturan saja. Hal ini bisa dilihat dari berbagai tindakan tak bermoral yang menegaskan gagal terpenuhinya tujuan  dan fungsi pendidikan Indonesia. Kegagalan pendidikan nasional inilah secara tidak langsung merupakan salah satu faktor utama dekadensi moral yang melanda negeri ini.


Coba kita lihat denyut-denyut perilaku amoral yang berkembang di lingkungan sekolah. Berbagai tindakan bully, tawuran antar pelajar, seks bebas, siswi-siswi berpakaian seksi, pembajakan kendaraan umum, kasus bunuh diri siswa-siswi, penganiayaan, pembunuhan, peredaran dan konsumsi narkotika dan minuman keras  serta gelombang demontrasi pelajar yang anarkis adalah bukti kegagalan pendidikan dalam meningkatkan kualitas moral peserta didik. Langkanya kejujuran dan sikap amanah di semua lapisan, semangat gotong royong semakin luntur, semangat kebangsaan merosot, kepemimpinan tampil tanpa karakter, keteladanan menjadi langka, KKN dan kerusakan lingkungan semakin menambah daftar panjang bukti-bukti bobroknya akhlak bangsa ini.


Kalau diamati, pada dasarnya krisis moral ini disebabkan oleh dua faktor pendorong, yaitu; faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang datang dari diri sendiri. Seperti potensi, kepribadian, karakter atau sifat. Peserta didik yang berakhlak mulia tidak akan mudah terjerumus pada dekadensi moral, begitu sebaliknya. Sedang faktor eksternalnya (faktor yang berasal dari luar) antara lain: (1) kurangnya pendidikan moral dalam lingkungan keluarga; (2) pengaruh buruk teman dekat atau sahabat; (3) pengaruh buruk kebudayaan asing; (4) lingkungan masyarakat yang tidak menampakkan nilai-nilai moral; dan (5) lembaga pendidikan yang kurang berkualitas.

      
      Dari semua hal di atas, lembaga pendidikan yang buruk merupakan faktor penting terjerumusnya bangsa ini menuju krisis moral. Lembaga pendidikan yang dimaksud di sini adalah sekolah. Di zaman sekarang ini, banyak dari sekian sekolah yang ada, kurang maksimal dalam memberikan pendidikan moral dan agama kepada anak didiknya. Pendidikan sekolah di Indonesia lebih mengutamakan nilai akademiknya. Arah kebijakan negara yang lebih mengutamakan pembangunan bermuara pada bidang material adalah penyebabnya. Hal ini berakibat, timbulnya pemahaman yang keliru tentang pendidikan, yaitu menjejalkan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan bidang material itu sebanyak-banyaknya kepada anak. Kecenderungan ini sebenarnya bertujuan baik, tetapi bahan-bahan yang diberikan umumnya bersifat keluar dari inti kepribadian manusia.


Tujuan pendidikan nasional pada dasarnya menekankan pada sistem nilai namun penerapan kurikulum di sekolah belum dapat memenuhi tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang dikehendaki. Apabila penerapan sistem pendidikan tetap dibiarkan seperti itu, para peserta didik yang kelak menjadi pemimpin dan pewaris bangsa ini hanya mampu membuat pidato-pidato atau rencana-rencana yang hanya enak didengar tanpa mampu mengamalkannya. Mereka tidak akan mampu memadukan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk suatu perbuatan atau keputusan yang akan diambil.


       Pendidikan nasional tidak akan berarti apa-apa kalau hanya dapat melahirkan orang-orang yang pintar, tetapi rakus dan tamak. Penumbuhan moral mulia yang optimal merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan anak di masa depan.


PENTINGNYA PENDIDIKAN MORAL

Dalam pengertiannya, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.


Al-Ghazali, pengarang kitab monumental Ihya` `Ulumiddin, merumuskan pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggungjawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Dari pendapat beliau, dapatlah dimengerti bahwa pendidikan meliputi semua perbuatan atau usaha dari generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuan, pengalaman dan kecakapannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.


Dalam ajaran Islam, pendidikan adalah kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akherat. Oleh karenanya, Islam mewajibkan semua umatnya untuk melaksanakan pendidikan agar dengan demikian mereka dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil, serta dapat menyelami hakekat alam.  Dengan adanya pendidikan, seseorang akan dapat mencapai tingkat sebenar-benarnya takwa atau orang yang berkepribadian islami. Sebagaimana yang diperintahkan Allah swt.; “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali Imran: 102).


Salah satu tujuan dan fungsi pendidikan adalah mengembangkan moral (akhlak) pribadi bangsa. Penanaman dan pengembangan moral kepada diri pribadi bangsa sangatlah penting sejak usia dini bahkan merupakan salah satu solusi terbaik untuk kemajuan bangsa di masa yang akan datang.


Moral dalam konteks ini berasal dari bahasa Latin mores, bentuk jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Pengertian moral secara terminologi adalah sesuainya tindakan manusia dengan ide-ide umum yang diterima, mana yang baik dan wajar baik yang datang dari Tuhan maupun manusia. Dalam bahasa Arab, dipakai kata akhlaq yang mempunyai beberapa makna, yaitu: tabiat, perangai, adat istiadat, dan perilaku.


   Dari sini, banyak para tokoh agama yang memberikan pengertian tentang hal ini. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih, dua tokoh pendidikan Islam misalnya, menyebut akhlak sebagai sikap batin yang mampu mendorong manusia secara spontan untuk melakukan suatu kebaikan tanpa adanya pertimbangan lebih dahulu.


Fungsi dan tujuan pendidikan ini sejalan dengan misi Islam itu sendiri, yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlaqul-karimah (akhlak mulia). Dengan memiliki akhlak yang mulia inilah seseorang akan menggapai kesempurnaan iman. Sebagaimana sabda Nabi SAW.:


أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا


Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya." (HR. Abu Hurairah).


Tujuan pendidikan di atas sama dan sebangun dengan target yang terkandung dalam tugas kenabian yang diemban oleh Rasulullah SAW., yang terungkap dalam pernyataan beliau: Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Abu Hurairah). Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam dinilai sebagai faktor kunci dalam menentukan keberhasilan pendidikan, yang menurut pandangan Islam berfungsi menyiapkan manusia-manusia yang mampu menata kehidupan yang sejahtera di dunia dan kehidupan akherat.


Baginda kita, Nabi Muhammad SAW. telah mencontohkan pekerti-pekerti luhur dalam kehidupannya sejak kecil sehingga beliau dikenal dengan sebutan al-Amin karena kejujuran dan kebaikan hatinya. Meskipun tidak pernah belajar baca-tulis (al-ummi), namun karena ketinggian budi pekerti, beliau telah berhasil secara gemilang melakukan revolusi moral jahiliah menjadi peradaban Islam terbaik sepanjang sejarah umat manusia.


Mengingat betapa pentingnya pendidikan moral, negara-negara maju dunia seperti Australia misalnya, membuat kebijakan berupa keharusan menerapkan pendidikan moral kepada anak-anak sejak usia dini. Dampaknya, bangsa kulit putih yang dahulu “leluhurnya” berasal dari tahanan kriminal Inggris kini berkembang pesat dan mampu masuk 10 negara terbaik untuk tempat tinggal manusia serta memiliki tingkat perilaku kriminal terendah di dunia. Semua kemajuan ini berkat sistem pendidikan moral yang telah mereka terapkan sejak lama.


PENDIDIKAN AGAMA ADALAH SOLUSINYA

Obyek pertama paling yang tepat untuk memulai membenahi dekadensi moral yang melanda bangsa ini adalah melalui dunia pendidikan sekolah. Selanjutnya secara beriringan berjalan di bidang-bidang lainnya. Mengapa dunia pendidikan sekolah? Karena, setidaknya 18 tahun waktu anak manusia dihabiskan di bangku pendidikan, mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Lembaga pendidikan menjadi “rumah kedua” untuk menempa anak-anak menjadi manusia dewasa yang bermartabat. Ia merupakan titik sentral pendidikan moral dan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perkembangan moral generasi bangsa.


     Hal tersebut akan semakin nyata jika sekolah sebagai lembaga pendidikan berupaya menanamkan dan mengembangkan moral anak dengan melalui pendidikan agama. Betapa pentingnya peran agama dalam pembangunan moral sampai-sampai mantan presiden RI pertama Soekarno berulang-ulang menegaskan: “Agama adalah unsur mutlak dalam nasional and character building (pembangunan karakter)”.


Kalau diamati, kegagalan pendidikan nasional dalam mencetak “orang-orang baik” itu disebabkan oleh penerapan konsep pendidikan agama yang kurang maksimal. Pendidikan agama yang diberikan di lingkungan sekolah terkesan hanya menyangkut proses belajar mengajar yang berlangsung di dalam kelas melalui intelegensia (kecerdasan otak), atau mengejar target kurikulum tanpa ada arahan untuk membangun pribadi religius dan berbudi pekerti baik. Pendidikan agama di sekolah baru berhasil mencapai pada tahap pengetahuan, belum menyentuh penerapan (amal) dan akhlak. Padahal agama itu bukanlah hapalan yang ditunjukkan dengan angka. Keimanan yang sempurna adalah sikap. Cermin dari keimanan itu adalah mempunyai perilaku yang baik (akhlaqul-karimah).


Oleh karena itu, pendidikan agama yang diajarkan di sekolah hendaknya tidak hanya berupa pemberian pengetahuan agama. Akan tetapi lebih luas daripada itu, yaitu menggugah perasaan/emosi anak, sehingga nilai-nilai agama akan lebih tertanam dan dihayati oleh anak didik untuk selanjutnya diamalkan baik di dalam maupun di luar kelas.


Dengan demikian, metode yang terbaik bagi pendidikan agama ke depan adalah melalui teknik pembiasaan dan peneladanan. Melaksanakan puasa, misalnya, tidak hanya dilakukan tetapi juga memberi efek dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku dari puasa ini bukan hanya diajarkan kepada siswa, tetapi harus dicontohkan oleh guru yang mengajarkannya.


Hal ini sebenarnya sudah tergambar dalam kompetensi inti dan jabaran pembelajaran agama dan budi pekerti pada kurikulum 2013. Namun, kesadaran akan pentingnya pendidikan agama sebagai alat memperbaiki moral belum nampak pada pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan agama sehingga pendidikan agama belum ditempatkan sebagai solusinya.


Peran para guru agama dalam mewujudkan tujuan luhur ini sangat vital. Karena dari pengajaran dan pendidikan agama dan moral yang baik dari guru, secara tidak langsung akan dapat mencetak peserta didik yang pintar dan berakhlak. Oleh sebab itu, seorang guru agama harus mempunyai kompetensi dalam mendidik dan ilmu pengetahuan agama yang mumpuni.


   Pemberian contoh dan teladan dari para pendidik tentang penerapan moral dalam kehidupan nyata juga sangat diperlukan. Anak-anak tidak boleh hanya dijejali dan diperkenalkan konsep-konsep moral, sedangkan pendidiknya tanpa merasa bersalah dan tanpa sadar telah menjerumuskan anak didiknya dengan perilaku-perilaku amoral yang dilakukan dan ditunjukkan kepada anak didik. Dalam kaitan ini Allah SWT menegaskan; “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. al-Baqarah: 44).


Dalam agama Islam, sebenarnya tanggungjawab pendidikan tidak hanya dibebankan ke pundak guru atau pendidik formal di sekolah, tetapi merupakan tanggungjawab bersama antara orang tua, guru dan masyarakat. Ini berarti bahwa yang dimaksud pendidik dalam Islam adalah orang tua (keluarga), guru (sekolah) dan orang dewasa lainnya (masyarakat). Ketiga unsur masyakat ini mempunyai tugas dan peran penting terhadap usaha membentuk manusia  berakhlak mulia dan terselamatkan dari dekadensi moral. Berkaitan dengan itu Dr.Yusuf al-Qardhawi menjelaskan, ada tiga metode yang menjadi tugas masyarakat (orang tua, guru dan masyarakat umum) terhadap pembentukan dan pengembangan akhlak yang terpuji. Metode-metode  itu antara lain adalah Taujih (mengarahkan), Tatsbit (memperkuat), dan Himayah (memelihara). Taujih atau pengarahan itu bisa dilakukan dengan penyebaran pamflet, propaganda di berbagai media massa, media sosial, pembekalan,  dan dakwah. Adapun Tatsbit (memperkuat) itu dilakukan dengan pendidikan yang sangat panjang waktunya, dan dengan tarbiah yang mengakar dan mendalam dalam level rumah tangga, sekolah dan universitas. Sedangkan Himayah itu bisa dilakukan dengan dua hal berikut: (1) dengan pengendalian opini umum secara aktif, dengan selalu beramar ma'ruf dan nahi munkar serta membenci kerusakan dan menolak penyimpangan; (2) dengan hukum atau undang-undang yang melarang kerusakan sebelum terjadinya dan pemberian sanksi setelah terjadinya. Hal itu untuk menakut-nakuti (tarhib) orang yang hendak menyeleweng dan mendidik orang yang merusak serta membersihkan iklim masyarakat dari polusi moral.


Dengan tiga hal ini, yaitu taujih, tatsbit dan himayah, maka akhlak Islam akan tumbuh, berkembang dan berjalan dalam kehidupan sosial. Dan selanjutnya ketika kemuliaan akhlak telah tertanam kuat dalam diri masyakarat, maka secara perlahan-lahan akan terbentuk kebudayaan baru yang kokoh dengan berlandaskan prinsip-prinsip kebajikan sehingga dapat tercipta masyarakat yang beradab, berkontribusi terhadap pembangunan, dan kritis melawan ketidakadilan di masa depan.


PESANTREN, SOLUSI ALTERNATIF PENDIDIKAN MORAL


Pendidikan moral yang paling komplit adalah agama Islam, karena agama Islam telah mengajarkan semua hal tentang tata cara hidup, sampai tata cara masuk kamar mandi sekalipun. Hanya ajaran Islam yang mengemukakan berbagai contoh akhlak yang mulia. Yang menggabung antara idealita dan realita, antara spiritual dan material atau antara agama dengan dunia, dengan seimbang dan serasi, yang belum pernah dikenal dalam aturan yang mana pun (selain Islam).


Oleh karena itu, tidak ada jalan lain yang dapat membebaskan masyarakat Indonesia dari segala bentuk kemerosotan moral kecuali dengan pendidikan agama Islam yang hanif. Dan lembaga pendidikan Islam yang paling tepat dalam hal ini adalah pesantren. Kenapa pesantren? Karena realitasnya membuktikan, pesantren berhasil jauh lebih baik dari sekolah umum dalam hal menghasilkan manusia yang bertakwa dan berbudi luhur. Pernahkah santri tawuran antar pesantren misalnya? Santri menjadi pemakai dan pengedar narkoba misalnya? Atau terjerumus dalam pergaulan bebas? Seandainya ada, pasti persentasenya jauh lebih kecil dibanding dengan yang bukan santri.


Sejarah juga mencatat, pesantren telah banyak memberikan kontribusi dalam mencerdaskan sekaligus mencerahkan anak bangsa. Sebab, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki sistem yang terintegrasi antara agama dan ilmu. Sistem demikian sejak dulu berhasil menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang dapat dijadikan panutan bagi umatnya.


Di pesantren para peserta didik (santri) akan diajarkan ilmu-ilmu Islam mulai yang paling dasar yaitu akidah sampai kepada ilmu praktis seperti fikih. Santri dibina agar memiliki akidah yang lurus dan akhlak yang baik, yang merupakan bekal penting agar selamat menjalani kehidupan di dunia ini. Dan yang terpenting, dinamika kehidupan dalam pesantren terjalin lebih harmonis dan humanis (manusiawi) daripada lembaga pendidikan umum lainnya. Interaksi antara santri dengan kiai sangat kuat. Mereka hidup sebagai keluarga besar. Kiai memosisikan dirinya sebagai pendidik sekaligus pemimpin keluarga, yang tidak hanya mendidik dan mengajari ilmu pengetahuan, akan tetapi nilai-nilai moralitas dan akhlak juga dicontohkan dalam kehidupan sehari-harinya.


    Alhasil, sekarang adalah saat yang tepat untuk memformat kembali pola pendidikan yang sudah berjalan di Indonesia. Rencana dan realisasinya jangan semata-mata mengarah pada materi pelajaran yang mengasah intelektual, melainkan juga harus ada perhatian dan dorongan terhadap aspek non intelektual antara lain berupa kecerdasan emosi dan spiritual yang diwujudkan lewat pendidikan agama. Ketika akhlak manusia telah diperbaiki, maka hal-hal lain juga akan ikut membaik.


Dan kita sebagai masyarakat Islam yang berkiprah di bidang pendidikan harus mendukung dan terlibat di dalamnya serta menjadikannya sebagai salah satu bentuk jihad akbar demi membumihanguskan mental-mental biadab di alam Indonesia yang katanya beradab” ini. Wallaahu a’lam.