"Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia,
supaya Allah
merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka
kembali (ke jalan yang benar)." (Ar-Rum: 41).
Dalam kurun waktu tahun 2015 ini hujan
musibah hampir selalu membasahi bumi nusantara kita yang tercinta tanpa henti. Negeri
beribu pulau yang indah permai tiba-tiba menjadi negeri yang kaya akan musibah.
Tidak hanya di daratan, tidak hanya di lautan, di udara pun ada musibah.
Ketika hujan tertahan dari langit, Indonesia kekeringan. Sumatera Barat, Cirebon, Palembang, Rembang, dan wilayah-wilayah di banyak daerah kekurangan air. Petani menjerit.
Hujan kemudian turun. Tiba-tiba Bojonegero, Solo, Aceh dan Jakarta banjir bandang. Belum kering luapan banjir, bencana kebakaran terjadi di mana-mana. Seperti kebakaran hutan yang melahirkan kabut asap yang mengepung Riau, Palangkaraya dan Jambi. Kebakaran pasar juga menjadi-jadi. Pasar Johar yang merupakan pasar tradisional terbesar di Semarang dan disebut-sebut pernah menjadi pasar terbaik se-Asia Tenggara itu menjadi korban. Begitu pula pasar-pasar tradisional di berbagai daerah. Bahkan pada tahun ini tercatat lebih dari 200 pasar tradisional kebakaran. Sebuah pemandangan yang tampak ironis. Betapa tidak? api dan air mengamuk bersama di berbagai tempat. Kerugian ditaksir mencapai triliunan rupiah. Bukan hanya kerugian ekonomi yang diperkirakan, dampak sosial, psikologis, dan keamanan turut menghantui.
Ketika hujan tertahan dari langit, Indonesia kekeringan. Sumatera Barat, Cirebon, Palembang, Rembang, dan wilayah-wilayah di banyak daerah kekurangan air. Petani menjerit.
Hujan kemudian turun. Tiba-tiba Bojonegero, Solo, Aceh dan Jakarta banjir bandang. Belum kering luapan banjir, bencana kebakaran terjadi di mana-mana. Seperti kebakaran hutan yang melahirkan kabut asap yang mengepung Riau, Palangkaraya dan Jambi. Kebakaran pasar juga menjadi-jadi. Pasar Johar yang merupakan pasar tradisional terbesar di Semarang dan disebut-sebut pernah menjadi pasar terbaik se-Asia Tenggara itu menjadi korban. Begitu pula pasar-pasar tradisional di berbagai daerah. Bahkan pada tahun ini tercatat lebih dari 200 pasar tradisional kebakaran. Sebuah pemandangan yang tampak ironis. Betapa tidak? api dan air mengamuk bersama di berbagai tempat. Kerugian ditaksir mencapai triliunan rupiah. Bukan hanya kerugian ekonomi yang diperkirakan, dampak sosial, psikologis, dan keamanan turut menghantui.
Setelah itu, giliran udara
"unjuk gigi". Ada kecelakaan pesawat AirAsia akhir tahun lalu di
perairan Laut Jawa yang menewaskan 160 orang lebih. Ada juga kecelakaan fatal
terjadi di Kota Medan, Sumatera Utara.
Sebuah pesawat Lockheed C-130B Hercules milik TNI AU jatuh di menimpa
perumahan penduduk. Lebih dari 120 orang tewas dalam kecelakaan ini, termasuk
122 penumpang dan 12 kru pesawat. Yang memprihatinkan, jika dilihat di pusat
data aviation-safety.net, sepanjang 2015 ini sudah ada 6 kali kecelakaan
pesawat di Indonesia.
Laut pun tak mau kalah. KM Wihan
Sejahtera tenggelam di sekitar kolam Terminal Teluk Lamong, Gresik. Kapal karam
juga terjadi di wilayah perairan Sabak Bernam, Malaysia yang
menewaskan 57 WNI. Bumi tak
ketinggalan menampilkan goncangannya. Ada dua gempa yang
mengguncang wilayah Karangkates Malang, Jawa Timur pada bulan Juli kemarin.
Gempa tersebut bahkan goncangannya meluas ke beberapa kota di Indonesia mulai
dari Yogyakarta,
Banyuwangi, Bondowoso hingga Bali bahkan Lombok.
Kota Banten pun terkena Gempa berkekuatan 5,6 Skala Richter (SR). Gempa bumi juga menggoncang Provinsi Maluku
utara sehingga merusak 370 rumah warga setempat.
Ini belum cerita soal gunung meletus, tanah longsor, gagal panen padi petani, gagal panen ikan tambak akibat banjir, kecelakaan kereta api, dan lain-lain.
Demikianlah. Musibah datang bertubi-tubi. Anak Bangsa yang memiliki nurani turut prihatin, sedih, dan pilu. Namun, cukupkah kita tenggelam dalam kesedihan dan kesedihan? Peristiwa demi peristiwa semestinya menjadi bahan introspeksi, ada apa dengan musibah? Apakah ada yang salah dengan diri kita, masyarakat kita, pemimpin kita? Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surat Ar-Ruum, ayat 41 di atas.
Ini belum cerita soal gunung meletus, tanah longsor, gagal panen padi petani, gagal panen ikan tambak akibat banjir, kecelakaan kereta api, dan lain-lain.
Demikianlah. Musibah datang bertubi-tubi. Anak Bangsa yang memiliki nurani turut prihatin, sedih, dan pilu. Namun, cukupkah kita tenggelam dalam kesedihan dan kesedihan? Peristiwa demi peristiwa semestinya menjadi bahan introspeksi, ada apa dengan musibah? Apakah ada yang salah dengan diri kita, masyarakat kita, pemimpin kita? Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surat Ar-Ruum, ayat 41 di atas.
Ya, kerusakan di darat dan di laut disebabkan ulah para manusia. Ibnu Katsir menuliskan, makna "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia...." adalah seperti kurangnya panen pada tanaman dan tumbuhan yang disebabkan karena kemaksiatan. Abul 'Aliyah berkata, "Barang siapa bermaksiat kepada Allah di muka bumi, maka sungguh ia telah merusak bumi, karena baiknya bumi dan langit adalah dengan ketaatan (kepada Allah)."
Maksiat. Ia menjadi sumber
bencana. Karena maksiat, berkah tertahan; karena maksiat, musibah berdatangan.
Padahal, umumnya manusia sekarang akrab dengan maksiat. Maksiat tak mengenal
kasta. Dari kawula alit hingga birokrat, orang miskin hingga orang kaya,
pinggiran hingga kaum gedongan, semua tenggelam dalam maksiat ria.
Pada level pemimpin bangsa, maksiat yang mencolok adalah mengabaikan amanah, baik amanah yang menyangkut hak Allah maupun hak rakyat. Hak Allah yang diabaikan adalah hukum-hukum-Nya yang tidak ditunaikan, sedangkan hak rakyat yang diabaikan adalah hak untuk diayomi, dilindungi, dan disejahterakan. Para pejabat justru mengeksploitasi rakyat bak sapi perahan. Rakyat seperti komoditas yang bernilai jual tinggi. Semua demi syahwat kuasa dan kekayaan, baik untuk pribadi maupun kelompok. Betapa banyak pejabat menjadi kaya raya yang melampaui gajinya: berumah megah, bermobil mewah, berlaku jetset dan borjuis. Sementara, bagi rakyat, mencari sesuap nasi sulitnya minta ampun. Untuk makan saja harus "Senin-Kamis". Itu pun masih ditambah kenaikan harga yang membubung tinggi. Dan soal korupsi, jangan ditanya lagi. Oleh PERC, lembaga penelitian yang bermarkas di Hongkong, Indonesia masih tetap tergolong negara terkorup se-Asia.
Pada level pemimpin bangsa, maksiat yang mencolok adalah mengabaikan amanah, baik amanah yang menyangkut hak Allah maupun hak rakyat. Hak Allah yang diabaikan adalah hukum-hukum-Nya yang tidak ditunaikan, sedangkan hak rakyat yang diabaikan adalah hak untuk diayomi, dilindungi, dan disejahterakan. Para pejabat justru mengeksploitasi rakyat bak sapi perahan. Rakyat seperti komoditas yang bernilai jual tinggi. Semua demi syahwat kuasa dan kekayaan, baik untuk pribadi maupun kelompok. Betapa banyak pejabat menjadi kaya raya yang melampaui gajinya: berumah megah, bermobil mewah, berlaku jetset dan borjuis. Sementara, bagi rakyat, mencari sesuap nasi sulitnya minta ampun. Untuk makan saja harus "Senin-Kamis". Itu pun masih ditambah kenaikan harga yang membubung tinggi. Dan soal korupsi, jangan ditanya lagi. Oleh PERC, lembaga penelitian yang bermarkas di Hongkong, Indonesia masih tetap tergolong negara terkorup se-Asia.
Sebab lain datangnya musibah adalah
hilangnya budaya malu. Tengoklah, bangsa yang sedemikian besar ini
pemimpin-pemimpinnya banyak yang tersangkut KKN. Itu level pejabat tinggi.
Level akar rumput, masyarakat tenggelam dalam menikmati goyangan para penyanyi
dangdut karbitan yang makin atraktif memainkan goyang "liberal"
menjurus liar. Semakin dikritik secara moral, semakin menggeliat dan
menjadi-jadi. Media cetak dan elektronik pun makin meluap-luap mem-blow-up
kebinalan para penyanyi dangdut itu. Para produser makin bergairah menjual
kevulgaran.
Tak ada batas moral dan kepantasan,
yang ada komoditi erotisme atas nama seni dan kebebasan. Demokrasi dan
kebebasan menjadi dewa baru melebihi agama dan moral. Politik dan politisi pun
ikut memanfaatkan. Moral bahkan menjadi terdakwa yang nyinyir, sedangkan
keliaran dan kebebasan menjadi hidangan yang dianggap benar.
Kebebasan yang
melewati batas. Itulah salah satu faktor utama kemungkaran semakin merajalela
di sana-sini. Banyak orang terlalu dangkal dalam memahami makna kebebasan itu sendiri. Kebebasan
hanya dimaknai dengan sikap ”semau gue”, permisif atau segala boleh dan serba
relatif. Setiap kali mendengar kata kebebasan ini disebut, benak mereka
langsung mengimajinasikan suatu ”dunia” tanpa aturan agama, moral, dan anarkis.
Hanya dalam tataran inilah mereka memaknai arti kebebasan.
Salah satu faktor yang melatar belakangi atau mempengaruhi sikap seseorang adalah pemahaman. Sikap orang terhadap sesuatu sangat dipengaruhi oleh pemahaman terhadap sesuatu tersebut. Kalau pemahamannya negatif dan kurang komprehensif, sikap yang muncul akan cenderung negatif dan distorsif.
Istilah yang tepat untuk kebebasan hakiki terdapat dalam salah satu istilah syariat Islam; ikhtiar. Ikhtiar tidaklah sama dengan ide modern tentang kebebasan (freedom). Sebab akar kata ikhtiar adalah khair yang berarti baik. Dengan demikian, ikhtiar adalah kebebasan untuk memilih yang baik. Dari akar kata ini muncul kata “istakhara" yang artinya memohon kepada Tuhan agar memilihkan pilihan terbaik untuknya. Jika perkara yang dipilih bukan sesuatu yang baik, pilihan itu bukanlah benar-benar pilihan, melainkan sebuah ketidakadilan (zhulm).
Memilih sesuatu yang terbaik adalah kebebasan sejati dan untuk melakukannya seseorang dituntut untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Disinilah proses tarbiah (pendidikan) memainkan peran pentingnya. Sebaliknya, memilih sesuatu yang buruk adalah pilihan yang berdasarkan kejahilan dan bersumber dari aspek-aspek yang tercela nafsu hewan.
Jadi, aplikasi konsep kebebasan
telah termuat dalam ikhtiar, yaitu “memilih yang terbaik”. Yang mana dalam
upaya “memilih” tersebut membutuhkan sebuah daya untuk meraihnya. Maka
“berikhtiar” berarti kebebasan untuk melakukan upaya memilih sesuatu yang
terbaik, atau bebas berusaha meraih yang terbaik diantara berbagai macam
kebaikan yang ada. Kebebasan yang tidak mengandung kebaikan, tidak menemukan
jalan dalam ide kebebasan Islam.
Kebaikan-kebaikan
yang ada dalam kehidupan, telah ditunjukkan oleh Allah melalui wahyu yang turun
kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa kebaikan duniawi ataupun ukhrawi. Dan
kehidupan akherat adalah kebaikan yang terbaik bagi hamba-Nya yang bertakwa (an
Nahl:30).
Dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa sebaik-baik ikhtiar (kebebasan memilih yang terbaik) adalah ikhtiar yang dilakukan oleh orang-orang yang muttaqin, yaitu mereka yang memilih kebaikan hidup di akhirat daripada kebaikan yang ada di dunia (al Kahfi:46, adh-Dhuha:4, at-Taubah:38). Mereka adalah orang-orang yang hanya melakukan penyembahan dan ketaatan kepada Allah semata. Karena dalam pandangan Islam, manusia bukan hamba siapa-siapa kecuali Tuhan. Kebebasan dalam perspektif Islam berarti terbebasnya manusia dari sekat-sekat penghambaan kepada selain Tuhan. Kebebasan dalam Islam merupakan anugerah yang mengantarkan manusia ke jalan kebahagiaan.
Dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa sebaik-baik ikhtiar (kebebasan memilih yang terbaik) adalah ikhtiar yang dilakukan oleh orang-orang yang muttaqin, yaitu mereka yang memilih kebaikan hidup di akhirat daripada kebaikan yang ada di dunia (al Kahfi:46, adh-Dhuha:4, at-Taubah:38). Mereka adalah orang-orang yang hanya melakukan penyembahan dan ketaatan kepada Allah semata. Karena dalam pandangan Islam, manusia bukan hamba siapa-siapa kecuali Tuhan. Kebebasan dalam perspektif Islam berarti terbebasnya manusia dari sekat-sekat penghambaan kepada selain Tuhan. Kebebasan dalam Islam merupakan anugerah yang mengantarkan manusia ke jalan kebahagiaan.
Mereka inilah yang menemukan
kebahagiaan spiritual (sa’adah) dalam kehidupannya. Kebahagiaan
spiritual secara sadar bisa dialami dalam kehidupan di dunia ini dan lebih
panjang daripada kebahagiaan level fisik dan psikologis. Kebahagiaan spiritual
sangat terkait dengan keyakinan terhadap kebenaran Mutlak, iman, dan perilaku
moral. Kebahagiaan spiritual terjadi secara bersamaan dengan kebahagiaan fisik dan
psikologis. Caranya adalah dengan mengurangi keinginan fisik, mengesampingkan
hawa nafsu dan memenuhi kebutuhan spiritual. Pada tahap tersebut, orang akan
mampu memperoleh jati diri yang lebih tinggi dan mencapai maqam ma’rifat.
Orang yang mencapai kebahagiaan ini tidak akan tergelincir ke lembah yang penuh
dosa dan penderitaan, sebagaimana tergambar dalam surat Yunus, ayat 62, “Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Ringkasnya, jalan kebebasan adalah
jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang bertakwa. Dan kebebasan sejati, hanya
bisa dicapai ketika manusia telah memperoleh ma’rifat. Yaitu ketika ia
berhasil mengesampingkan hawa nafsunya untuk memperoleh jati diri yang lebih
tinggi. Kebebasan tersebut pada akhirnya akan mengantarkan manusia kepada
kebahagiaan (sa’adah) dan cinta kepada Yang Maha Abadi (mahabbah).
Jika manusia mengklaim kebebasan
adalah membebaskan nafsu dalam segala hal tanpa terikat dengan norma-norma
agama, maka tindakan tersebut justru akan menjadikan pelakunya mengikuti aturan
hawa nafsunya. Bukannya kebebasan yang didapat, namun ia malah terjerumus ke dalam
penjara nafsunya sendiri. Dan ini merupakan sumber malapetaka terbesar bagi
dirinya. Sebagaimana perkataan sebagian ulama:
الْمَحْبُوْسُ مَنْ حُبِسَ قَلْبُه عن
رَبِّهِ تعالى والمَأْسُوْرُ مَنْ أَسِرَه هواه
“Orang
yang dipenjara adalah orang yang terpenjara (terhalangi) hatinya dari Rabb-nya
(Allah) Ta’ala, dan orang yang tertawan (terbelenggu) adalah orang yang ditawan
oleh hawa nafsunya”.