Peradaban hidup manusia telah berubah seiring perkembangan zaman yang semakin pesat. Budaya timur yang dahulu dikenal sebagai budaya yang selalu menjunjung tinggi kesopanan, kini telah terkontaminasi oleh budaya Barat.
Bisa kita lihat misalnya, kaum hawa yang dahulu mengenakan busana tertutup kini berbalik 180 derajat. Gaya busana mereka sekarang justru cenderung buka-bukaan dan mengeksploitasi keindahan tubuh, sebuah anugerah Allah SWT yang harusnya disyukuri dengan menjaga dan menutupinya, bukan mengumbarnya kemana-mana. Apalagi didukung dengan pesatnya perkembangan dunia mode atau fashion, sehingga orang-orang, baik pria atau wanita, tua-muda, berlomba-lomba untuk tampil mengenakan pakaian busana yang up to date dan stylish sesuai dengan perkembangan dunia mode yang ada.
Bisa kita lihat misalnya, kaum hawa yang dahulu mengenakan busana tertutup kini berbalik 180 derajat. Gaya busana mereka sekarang justru cenderung buka-bukaan dan mengeksploitasi keindahan tubuh, sebuah anugerah Allah SWT yang harusnya disyukuri dengan menjaga dan menutupinya, bukan mengumbarnya kemana-mana. Apalagi didukung dengan pesatnya perkembangan dunia mode atau fashion, sehingga orang-orang, baik pria atau wanita, tua-muda, berlomba-lomba untuk tampil mengenakan pakaian busana yang up to date dan stylish sesuai dengan perkembangan dunia mode yang ada.
Dan sekarang dunia mode atau fashion telah melakukan ekspansi ke 'busana muslim'; sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut pakaian yang menjadi ciri khas orang Islam. Didukung oleh tingkat kreativitas para desainer yang tinggi, maka orang Islam pun menjadi tergiur untuk mengenakan busana muslim terbaru dan modis.
Namun di balik semua itu, fenomena tersebut juga memiliki dampak negatif, sebab sudah menjadi karakteristik para desainer pakaian secara umum, mereka cenderung selalu memodernisasikan potongan pakaian sesuai keinginannya. Diciptakannya pola-pola menarik sesuai selera dan kreativitasnya, sebagai refleksi dari keadaan masa yang dialami dan yang dilalui, tanpa peduli apakah model tersebut berjalan di atas rel-rel syariat atau tidak. Sehingga hal itu berpeluang besar membuat busana muslim tidak menunjukkan karakternya sebagai pakaian kaum muslimin yang sesuai syariat. Hal ini dibuktikan dengan adanya model-model busana muslim yang kebanyakan saat ini cenderung dibuat dengan gaya yang ketat dan transparan, mencolok atau terlalu mewah. Sebuah hal yang tidak mencerminkan etika Islam.
Menurut pengamatan penulis, salah satu faktor utama terjadinya hal yang ironis ini adalah karena terbatasnya pengetahuan desainer busana muslim tentang aturan Islam dalam berbusana dan juga faktor-faktor lainnya.
Hal inilah yang mendorong penulis untuk menampilkan artikel yang menguak segala hal yang terkait dengan busana muslim, terutama tentang hukum-hukumnya, agar dalam berbusana, kita bisa tetap berjalan sesuai syariat dan tidak terjebak dalam jurang kesalahpahaman dengan menganggap bahwa semua busana muslim itu sudah sesuai syariat, padahal realitasnya tidak seperti itu.
Semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Pengertian Busana Atau Pakaian
Pakaian didefinisikan sebagai barang apa yang dipakai (baju, celana, dsb)[1]. Sedang busana berasal dari bahasa Sansekerta “bhusana” yang berarti pakaian. Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa busana atau pakaian merupakan segala sesuatu yang dipakai manusia mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki yang meliputi pelbagai macam pakaian, seperti baju, kemeja, T-shirt, kaus kaki/ tangan, topi, dasi, sarung, rok, sepatu, sandal, kopiah, kerudung, pakaian adat dan lain-lain. Adapun bahan-bahannya juga bermacam-macam. Pada saat ini dikenal berbagai jenis kain di antaranya sutera, wol, mori, katun dan lain sebagainya.
Pakaian termasuk salah satu kebutuhan primer manusia selain makanan dan tempat tinggal (rumah). Ia mempunyai banyak fungsi dan manfaat untuk manusia, di antaranya sebagai pelindung tubuh dari perkara-perkara yang membahayakan, memberikan penghalang higienis, menjaga toksin dari badan dan membatasi penularan kuman. Pakaian juga bertindak sebagai pelindung dari unsur-unsur yang merusak, termasuk hujan, salju dan angin atau kondisi cuaca lainnya, serta dari terbakar matahari.
Berdasarkan penelitian salah seorang ilmuwan Barat[2] yang meneliti pola migrasi manusia purba zaman dahulu, pada zaman pra sejarah, manusia diperkirakan pertama kali mengenal pakaian sekitar 170 ribu tahun silam. Setelah itu mereka berani melakukan perjalanan ke daerah dingin. Adapun busana yang mereka kenakan pada zaman purba dahulu belum seperti busana masa kini. Para manusia purba masih memakai kulit binatang, tumbuh-tumbuhan untuk menutupi tubuh mereka. Mereka yang hidup di daerah dingin menutupi tubuhnya dengan kulit binatang, misalnya kulit domba yang berbulu tebal. Sedang mereka yang hidup di daerah panas, melindungi tubuhnya dengan memanfaatkan kulit pepohonan yang direndam terlebih dahulu lalu dipukul-pukul dan dikeringkan. Selain itu, mereka juga menggunakan dedaunan dan rumput.
Sekarang perkembangan bentuk busana mengalami kemajuan yang cukup pesat. Dari penggunaan kulit kayu, kulit binatang dan lain-lain, akhirnya manusia menemukan teknologi pembuatan kain, yang pada awalnya masih sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Dari sinilah manusia mengenal busana dalam arti yang sebenarnya.
Dalam beberapa budaya, hukum adat ikut campur tangan dalam menentukan apa yang pria dan wanita diharuskan memakai. Dan peraturan tersebut kebanyakan berpijak pada perbedaan jenis kelamin antara keduanya. Perbedaan pakaian sesuai dengan jenis kelamin pemakainya tersebut dapat diindikasikan dari perbedaan dalam gaya atau model pakaian, warna dan kainnya. Contoh dalam masyarakat, rok, gaun, kerudung dan sepatu hak tinggi biasanya dilihat sebagai pakaian wanita. Sementara dasi, kemeja dan kopiah biasanya dilihat sebagai pakaian pria. Dan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, status pakaian pun ikut berkembang sehingga pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun kedudukan pemakainya.
Fungsi Pakaian Menurut Alquran
Pakaian adalah nikmat agung yang diberikan Allah SWT spesial untuk anak cucu Adam. Ia adalah salah satu kebutuhan pokok manusia, juga merupakan salah satu penunjuk dan bukti kekuasaan-Nya. Allah SWT menciptakan pakaian dengan dilengkapi beberapa fungsi yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, nikmat pakaian ini wajib disyukuri dengan berpakaian sesuai model syar`i. Artinya sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan rasul-Nya dalam berpakaian.
Kemudian untuk lebih memahami fungsi-fungsi pakaian secara spesifik berdasarkan Alquran, dapat diperjelas lagi dengan ilustrasi sebagai berikut:
1. Busana Sebagai Penutup Aurat [3]
Pakaian dapat dikatakan sebagai ekspresi rasa malu seseorang akan dirinya. Manusia oleh Allah SWT diberi anugerah akal sehat dan naluri yang mendorongnya untuk menutupi kemaluan dan auratnya. Dari sinilah pakaian menemukan momentumnya, yaitu sebagai media untuk merealisasikan dorongan tersebut. Dalam hal ini Allah berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (الأعراف : 26)
”Hai anak Adam! Sesungguhnya kami (Allah) telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa, itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat." (QS. al-A`raf: 26)
Aurat sendiri dalam Alquran disebut sebagai sau`at yang terambil dari kata sa`a – yasu`u yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan aurat yang terambil dari kata `ar yang berarti onar, aib, tercela. Keburukan yang dimaksud dalam aurat tidak harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, namun bisa juga karena adanya faktor lain yang mengakibatkannya buruk.
Tidak satu pun dari bagian tubuh manusia yang buruk, karena semuanya adalah ciptaan yang baik dan bermanfaat, termasuk aurat, tetapi bila dilihat orang, maka 'keterlihatan' itulah yang buruk dan membuat seseorang merasa malu. Sedang dalam pengertian syarak aurat adalah anggota tubuh yang wajib ditutupi dan haram dilihat atau diperlihatkan.
Tidak satu pun dari bagian tubuh manusia yang buruk, karena semuanya adalah ciptaan yang baik dan bermanfaat, termasuk aurat, tetapi bila dilihat orang, maka 'keterlihatan' itulah yang buruk dan membuat seseorang merasa malu. Sedang dalam pengertian syarak aurat adalah anggota tubuh yang wajib ditutupi dan haram dilihat atau diperlihatkan.
2. Fungsi Busana Sebagai Perhiasan
Fungsi busana sebagai perhiasan bisa disimpulkan berdasarkan keterangan yang ada dalam surat al-A`raf ayat 26 yang tersebut di atas. Perhiasan sendiri merupakan sesuatu yang dipakai untuk memperelok (memperindah). Alquran tidak menjelaskan apalagi memperinci apa yang disebut perhiasan, atau sesuatu yang 'elok'. Keindahan sendiri merupakan hal yang dianggap baik dalam tradisi manusia dan juga merupakan ghardhun shahih (sesuatu yang dibenarkan agama).
Keindahan merupakan dambaan manusia. Namun harus diingat pula bahwa keindahan itu sangat relatif, tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai. Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa Alquran tidak menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok.
Adapun salah satu unsur mutlak keindahan adalah kebersihan. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad SAW senang memakai pakaian putih, bukan saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim jazirah Arab yang panas, melainkan juga karena warna ini segera menampakkan kotoran, sehingga pemakainya akan segera terdorong untuk mengenakan pakaian lain yang bersih. Setelah memerintahkan agar memakai busana yang indah ketika berkunjung ke masjid, Alquran mengecam mereka yang mengharamkan perhiasan yang telah diciptakan Allah SWT untuk manusia. Firman-Nya :
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ. (الأعراف : 32)
"Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui." ( QS. al-A`raf : 32)
Berhias sebenarnya merupakan naluri manusia. Ia memiliki tabiat ingin selalu tampak baik dan indah. Hal ini dapat kita pahami dari sebuah hadis yang mengisahkan seorang sahabat yang bertanya kepada Nabi mengenai seseorang yang senang pakaian indah dan alas kakinya indah, apakah hal tersebut termasuk keangkuhan? Nabi menjawab: “Sesungguhya Allah Maha Indah, senang kepada keindahan. Sedangkan keangkuhan adalah menolak kebenaran dan menghina orang lain." (HR. Turmudzi)
Selain itu, banyak sekali hadis-hadis yang menginformasikan bahwa Rasulullah SAW menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara dan diperindah. Istri Nabi, Sayyidah 'Aisyah RA, meriwayatkan sebuah hadis bahwa: “Seorang wanita menyodorkan dengan tangannya sepucuk surat kepada Nabi dari belakang tirai, Nabi berhenti sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda: ” Seandainya Anda wanita, niscaya anda akan memelihara kuku Anda (mewarnai dengan pacar).” (HR. Bukhari)
Selain itu, banyak sekali hadis-hadis yang menginformasikan bahwa Rasulullah SAW menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara dan diperindah. Istri Nabi, Sayyidah 'Aisyah RA, meriwayatkan sebuah hadis bahwa: “Seorang wanita menyodorkan dengan tangannya sepucuk surat kepada Nabi dari belakang tirai, Nabi berhenti sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda: ” Seandainya Anda wanita, niscaya anda akan memelihara kuku Anda (mewarnai dengan pacar).” (HR. Bukhari)
Demikian Nabi menganjurkan agar wanita berhias. Alquran memang tidak memerinci jenis-jenis perhiasan, apalagi bahan pakaian yang baik digunakan. Namun perlu diperhatikan, bahwa salah satu yang harus dihindari dalam berhias adalah timbulnya rangsangan birahi dari yang melihatnya (kecuali suami istri) dan atau sikap tidak sopan dari siapapun. Hal–hal tersebut dapat muncul dari cara berpakaian, berhias, berjalan, berucap dan sebagainya.
Berhias tidak dilarang dalam ajaran Islam, karena berhias adalah naluri manusiawi. Yang dilarang oleh Islam adalah at-Tabarruj al-Jahiliyyah, salah satu istilah yang digunakan Alquran (Surat al-Ahzab: 33) yang mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan birahi kepada selain suami istri. Termasuk pula dalam cakupan kata tabarruj adalah menggunakan wewangian yang baunya menusuk hidung (merangsang). Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: “Wanita yang memakai parfum (yang merangsang) dan lewat di satu majelis (kelompok pria), maka sesungguhnya dia “begini” (yakni zina)." (HR. Turmudzi)
Berhias tidak dilarang dalam ajaran Islam, karena berhias adalah naluri manusiawi. Yang dilarang oleh Islam adalah at-Tabarruj al-Jahiliyyah, salah satu istilah yang digunakan Alquran (Surat al-Ahzab: 33) yang mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan birahi kepada selain suami istri. Termasuk pula dalam cakupan kata tabarruj adalah menggunakan wewangian yang baunya menusuk hidung (merangsang). Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: “Wanita yang memakai parfum (yang merangsang) dan lewat di satu majelis (kelompok pria), maka sesungguhnya dia “begini” (yakni zina)." (HR. Turmudzi)
3. Fungsi Busana Sebagai Perlindungan atau Ketakwaan
Di atas telah dikemukakan bahwa salah satu fungsi pakaian adalah perlindungan. Bahwa pakaian tebal dapat melindungi seseorang dari sengatan dingin, dan pakaian yang tipis dari sengatan panas, bukanlah hal yang perlu dibuktikan. Yang demikian ini adalah perlindungan secara fisik. Dan dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُونَ .(النحل : 81)
“Dan dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya)." (QS. al-Nahl :81)
Di sisi lain, pakaian juga memberikan pengaruh psikologis bagi pemakainya. Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian militernya, setelah mengalami kekalahan perang. Bahkan Mustafa Kemal Ataturk di Turki, melarang pemakaian Tarbusy (sejenis tutup kepala bagi pria), dan memerintahkan menggantinya dengan topi ala Barat, karena Tarbusy dianggap mempengaruhi sikap bangsanya serta merupakan simbol keterbelakangan. Dalam kehidupan sehari-hari pun kita dapat merasakan pengaruh psikologis dari pakaian, semisal jika kita pergi ke pesta, walimah, atau sebuah perkumpulan dengan mengenakan pakaian yang buruk, atau tidak sesuai dengan situasi, maka kita akan merasa risih, atau bahkan kehilangan kepercayaan diri.
Pakaian terhormat dapat mendorong seseorang untuk berperilaku terhormat, serta mendatangi tempat-tempat terhomat, sekaligus mencegahnya untuk pergi ke tempat-tempat yang tidak terhormat. Hal ini juga merupakan salah satu hikmah yang dikandung Alquran dengan memerintahkan wanita-wanita untuk memakai jilbab. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal sebagai muslimah wanita terhormat sehingga mereka tidak diganggu.
Memang harus diakui bahwa pakaian tidak menciptakan kesan tertentu seperti kesan santri misalnya, tetapi seseorang yang berpakaian santri dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku seperti santri. Jadi, memilih cara berpakaian bisa memengaruhi pemakainya sesuai dengan cara dan modelnya.
Fungsi perlindungan bagi pakaian dapat juga diterapkan untuk pakaian ruhani, (Libasut-Taqwa). Setiap orang dituntut untuk merajut sendiri pakaian ini. Benang atau serat-seratnya adalah tobat, sabar, syukur, kanaah, rida, dan akhlak terpuji lainnya. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW: “Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa.” (HR. muslim)
4. Fungsi Busana Sebagai Penunjuk Identitas
Allah SWT berfirman:
........ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (الأحزاب : 59)
"... yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak diganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. al-Ahzab :59)
Demikian ayat yang menggambarkan fungsi pakaian.
Identitas sesuatu adalah yang menggambarkan eksistensinya sekaligus membedakannya dari yang lain. Eksistensi atau keberadaan seseorang ada yang bersifat material (jasmani) dan ada juga yang imaterial (ruhani). Hal-hal yang bersifat material antara lain tergambar dalam pakaian yang dikenakannya.
Anda dapat mengetahui sekaligus membedakan murid SD dan SMP, atau Angkatan Darat dan Angkatan Laut, atau Kopral dan Jenderal dengan hanya melihat apa yang dipakainya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa pakaian antara lain berfungsi menunjukkan identitas serta membedakan seseorang dengan lainnya. Bahkan tidak jarang ia membedakan status sosial seseorang. Rasulullah SAW amat menekankan pentingnya penampilan identitas muslim, antara lain melalui pakaian, karena itu sebuah hadis menerangkan bahwa “Rasulullah SAW melarang lelaki memakai pakaian (menyerupai) perempuan dan perempuan memakai pakaian lelaki.” (HR. Abu Dawud)
Kepribadian umat juga harus ada, ketika Rasul membicarakan bagaimana cara yang paling tepat untuk menyampaikan atau mengundang kaum muslimin melaksanakan salat, maka ada di antara sahabatnya yang mengusulkan menancapkan tanda, sehingga yang melihatnya segera datang. Beliau tidak setuju. Ada lagi yang mengusulkan untuk menggunakan terompet, dan komentar Beliau: “Itu cara Yahudi.” Ada juga yang mengusulkan membunyikan lonceng. “Itu cara Nasrani,” sabda beliau. Akhirnya yang disetujui beliau adalah azan yang kita kenal sekarang, setelah 'Abdullah bin Zaid al-Anshari bermimpi tentang cara tersebut. Demikian yang diriwayatkan Abu Dawud. Yang terpenting untuk digarisbawahi adalah bahwa Rasul menekankan pentingnya menampilkan kepribadian tersendiri, yang berbeda dengan yang lain. Dari sini dapat dimengerti mengapa Rasul SAW. bersabda: “Siapa yang meniru satu kaum, maka ia termasuk kelompok itu.” (HR. Bukhari)
Kepribadian imaterial (ruhani) bahkan ditekankan oleh Alquran, antara lain melalui surat al-Hadid ayat 16 : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun, dan janganlah mereka seperti orang sebelumnya yang telah diberikan al-Kitab (orang Yahudi dan Nasrani). Berlalulah masa yang panjang bagi mereka sehingga hati mereka menjadi keras. Kebanyakan di antara mereka adalah orang fasik.”
Seorang muslim diharapkan mengenakan pakaian ruhani dan jasmani yang menggambarkan identitasnya. Disadari sepenuhnya bahwa Islam tidak datang menentukan mode pakaian tertentu, sehingga setiap masyarakat dalam periode tertentu, bisa saja menentukan mode yang sesuai dengan seleranya. Namun demikian agaknya tidak berlebihan jika diharapkan agar dalam berpakaian tercermin pula identitas itu.[4]
Sejarah Busana Muslim di Indonesia
A. Baju Koko dan Baju Takwa
Jika mendengar kata 'busana muslim pria', maka yang langsung muncul di benak kita adalah baju koko maupun baju takwa. Kedua baju tersebut memang sudah sangat familiar di khalayak muslimin, khususnya di Indonesia. Begitu seringnya kita mendapati banyak orang di masjid atau acara pengajian memakai baju koko atau baju takwa sehingga keduanya terasa begitu identik dengan baju Islam. Baju koko maupun takwa di zaman sekarang sudah dianggap baju Islam. Lalu bagaimana histori baju koko dan baju takwa dan sejak kapan keduanya masuk ke tengah-tengah umat Islam?
Bila kita menilik sejarah baju koko dan baju takwa, ternyata keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Hal itu bertolak belakang dengan asumsi orang-orang bahwa baju koko dan baju takwa adalah sama.
Adapun baju koko, ternyata ia berasal dari negeri Cina. Menurut sejarawan JJ. Rizal yang mengelola penerbit Komunitas Bambu, ketika diwawancarai oleh reporter Majalah Historia Online, baju koko berasal dari baju tui-khim. “Itu baju harian cokin, diadopsi oleh macam-macam suku bangsa di Nusantara. Ingat baju Teluk Belanga (pakaian adat pria Kepulauan Riau), itu juga hasil modifikasi dari tui-khim. Jadi, modifikasi tui-khim ada kaitannya dengan Islam di tanah Melayu. Baju koko sendiri saya rasa itu diadopsi dari masyarakat Tionghoa, karena ada konsep tanpa kancing, atau paling banter bungsel pala capung.”
Adapun baju koko, ternyata ia berasal dari negeri Cina. Menurut sejarawan JJ. Rizal yang mengelola penerbit Komunitas Bambu, ketika diwawancarai oleh reporter Majalah Historia Online, baju koko berasal dari baju tui-khim. “Itu baju harian cokin, diadopsi oleh macam-macam suku bangsa di Nusantara. Ingat baju Teluk Belanga (pakaian adat pria Kepulauan Riau), itu juga hasil modifikasi dari tui-khim. Jadi, modifikasi tui-khim ada kaitannya dengan Islam di tanah Melayu. Baju koko sendiri saya rasa itu diadopsi dari masyarakat Tionghoa, karena ada konsep tanpa kancing, atau paling banter bungsel pala capung.”
Sementara itu, menurut pengamat budaya Tionghoa peranakan, David Kwa, seperti dikutip Pradaningrum Mijarto dalam “Tui-khim dan Celana Komprang Berganti Jas dan Pantalon” di kalangan warga Betawi, tui-khim juga dipakai dan dikenal dengan sebutan baju tikim. “Baju ini seperti baju koko, bukaan di tengah dengan lima kancing. Padanannya, celana batik. Untuk acara khusus dikenal thng-sa (baju panjang), sepanjang mata kaki. Hingga awal abad ke-20 pria Tionghoa di Indonesia masih menggunakan kostum tui-khim dan celana komprang (longgar) untuk sehari-hari."
Bagaimana ceritanya tui-khim menjadi baju koko? Menurut Remy Sylado, karena yang memakai tui-khim itu engkoh-engkoh—sebutan umum bagi pria Cina—maka baju ini pun disebut baju engkoh-engkoh. “Dieja bahasa Indonesia sekarang menjadi baju koko,” kata Remy dalam novelnya "Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah".
Menurut David Kwa, sejak berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) atau Perhimpunan Tionghoa—perhimpunan modern pertama di Hindia Belanda pada 1900 M—kemudian runtuhnya Dinasti Cheng (Mancu) pada 1911 M, serta makin banyaknya pria Cina yang diperbolehkan menggunakan pakaian Belanda setelah mengajukan gelijkstelling (persamaan hak dengan warga Eropa), baju tui-khim, celana komprang, dan thng-sa mulai ditanggalkan oleh orang-orang Cina sendiri dan berganti dengan pakaian gaya Eropa atau Belanda, kemeja, pantalon, dan jas buka serta jas tutup.
Baju koko seringkali disamakan dengan “baju takwa”, padahal berbeda. Sebab baju takwa tidak diadopsi dari pakaian thui-kim, akan tetapi hasil modifikasi dari baju tradisional Jawa, yaitu Surjan. Surjan merupakan salah satu pakaian adat Jawa yang khusus dipakai pria sehari-hari. Pakaian jenis ini bisa dipakai untuk menghadiri upacara-upacara resmi adat Jawa dengan dilengkapi blangkon dan bebetan. “Surjan berasal dari kata Su dan ja, yaitu nglungsur wonten jaja (meluncur melalui dada), sehingga bentuk depan dan belakang panjang,” tulis A.M. Hidayati dalam "Album Pakaian Tradisional Yogyakarta". Ada juga yang mengatakan surjan berasal dari kata sirajan (bhs. Arab) yang berarti pepadhang atau pelita.
Adalah Sunan Kalijaga yang kali pertama memodifikasi surjan menjadi baju takwa. Dari sembilan wali, hanya beliau yang pakaiannya berbeda. Menurut Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga tidak menggunakan jubah dan sorban. Tetapi merancang sendiri bajunya yang disebut “baju takwa”. Yaitu, baju jas model Jawa dengan kerah tegak dan lengan panjang. “Sunan menciptakan baju yang disebut ‘baju takwa’. Surjan Jawa yang semula lengan baju pendek, diganti dengan lengan panjang. Dengan kreasi semacam inilah Sunan mengajarkan Islam tanpa menimbulkan konflik di masyarakat,” tulis Achmad Chodjim dalam "Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat". Baju takwa diciptakan Sunan Kalijaga berdasarkan surat al-A’raf 26: ’’Hai anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa (dimaksud agar selalu bertakwa kepada Allah SWT) itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Oleh Sunan Kalijaga, pengertian ayat di atas dijadikan model pakaian rohani (takwa) agar si pemakai selalu ingat kepada Allah SWT, kemudian oleh raja-raja Mataram pakaian takwa ini dipakai hingga sekarang ini.
Namanya saja baju takwa, pasti disimbolisasikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Menurut M. Jandra dalam "Perangkat/Alat-Alat dan Pakaian serta Makna Simbolis Upacara Keagamaan di Lingkungan Keraton Yogyakarta", baju takwa pada lehernya terdapat tiga kancing yang melambangkan iman, ihsan dan Islam. Tiga kancing yang terdapat pada bahu kanan dan bahu kiri melambangkan dua kalimat syahadat. Enam kancing yang terdapat pada kedua lengan kiri dan kanan melambangkan rukun iman. Dan lima kancing depan melambangkan rukun Islam.
Sejak rezim Orde Baru berkuasa hingga dekade 1980-an, Soeharto mempersempit ruang gerak Islam—termasuk simbol-simbol keislaman—karena dianggap akan mengganggu kemapanan kekuasaan. Namun, sejak dekade 1990-an, berbagai unsur Islam memperoleh kesempatan luas dalam struktur negara dan ruang publik. Ini disebut politik akomodasi Islam. Dari empat jenis akomodasi, salah satunya adalah akomodasi kultural berupa diterimanya ekspresi kultural Islam ke dalam wilayah-wilayah publik. “Seperti pemakaian jilbab, baju koko, hingga ucapan assalamu`alaik assalamu’alaikum,” tulis M. Imadun Rahmat dalam "Arus Baru Islam Radikal".
Sejak saat itu hingga kini pemakaian baju koko kian masif. Ia hampir menjadi pakaian resmi beribadah. Seperti kata Rosid, sebagian besar yang salat di masjid pakai baju koko. Baju koko menjadi komoditas yang menggiurkan, terutama menjelang lebaran, karena tradisi tunjangan hari raya (THR), salah satunya dengan baju koko untuk dipakai salat Id.
Pemakaian baju koko tidak hanya untuk beribadah. Tapi, menjadi seragam sekolah SMP dan SMA setiap hari Jumat. Juga, di beberapa daerah seperti di Kabupaten Pamekasan Jawa Timur, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan; Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Indramayu Jawa Barat; baju koko menjadi seragam wajib bagi pegawai negeri sipil setiap hari Jumat.
B. Kerudung kapstok
Busana muslimah yang kini menjadi pemandangan sehari-hari bagi kita, bisa dikatakan sebagai fenomena baru di Indonesia, sejak masuknya Islam sekitar 1300 tahun yang lalu ke nusantara. Busana muslimah sendiri merupakan gejala kelompok atau gerakan sosial keagamaan yang baru muncul pada tahun 1980-an. Sebelumnya muslim perempuan Indonesia hanya mengenal “kerudung kapstok”, yaitu busana muslimah tradisional yang populer dipakai di kalangan pesantren, madrasah, majelis taklim dan organisasi-organisasi Islam. Kerudung kapstok ini cara mengenakannya hanya cukup dikaitkan di kepala, bahannya kain tipis sementara sebagian rambut, leher dan bagian atas dada terbuka. Pakaian bawahannya adalah kebaya dan pemakainya adalah ibu-ibu. Model ini tidak mentradisi di kalangan gadis dan remaja, model kapstok ini khas pakaian para perempuan di lingkungan pendidikan dan organisasi Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, al-Irsyad, persatuan Islam dan lain-lain. Yang populer di luar lingkungan itu adalah rok pendek dan tanpa kerudung sebagai pakaian umum ala Barat.
Lalu memasuki tahun 1980-an, wajah busana perempuan muslim berubah total. Busana muslimah mengalami perubahan bentuk dan model. Perintisnya adalah para perempuan aktivis Islam di perkotaan, mahasiswi dan para pelajar. Cukup mengejutkan, secara tiba-tiba, di awal tahun 1980-an, berbagai kelompok perempuan pelajar dan mahasiswi di perkotaan mengenakan busana muslimah dengan kerudung yang tertutup rapi dengan rambut sama sekali tidak kelihatan. Lebih dari itu, generasi baru ini bangga menenteng Alquran di bus-bus kota, di sekolah dan kampus-kampus, di mall-mall, bioskop, tempat hiburan dan tempat-tempat umum lainnya. Bila sebelumnya pakaian kerudung identik dengan tradisionalisme, kultur desa dan santri terbelakang, tetapi pada tahun 1980-an pemakainya adalah para pelajar dan mahasiswi dan berbaur akrab memenuhi simbol-simbol modernitas; mall-mall, Departemen Store dan bioskop.
Dari mana datangnya “spesies baru” ini? Revolusi Islam Iran tahun 1979 adalah pemicunya. Sejak itulah booming busana muslimah meledak di Indonesia. Revolusi Iran berdampak sangat kuat terhadap kalangan terpelajar Islam di perkotaan. Umat Islam selama ini merasakan bahwa mereka berada dalam hegemoni (dominasi politik dan kebudayaan) Barat. Kebangkitan Islam dan suksesnya revolusi Islam Iran menjadi pendorong psikologis yang besar, yaitu terbentuknya harga diri, rasa hormat, kebanggaan dan identitas baru. Para perempuan muslimah di Indonesia dan Malaysia, terutama para mahasiswi aktivis kampus, seperti dikejutkan dan disadarkan oleh wanita–wanita Iran. Betapa membanggakannya wajah-wajah perempuan Iran yang cantik-cantik tetapi sudi membungkus tubuhnya dengan busana muslimah yang tertutup rapat, sambil menenteng senjata dan berhasil mengusir dominasi dan pengaruh Amerika Serikat dari negaranya. Jilbab atau busana muslimah di Barat dipandang sebagai simbol represi, ketertinggalan dan konservatifisme kaum perempuan, tetapi jutaan wanita Iran mengenakannya dengan penuh kebanggaan. Setelah revolusi, penampilan wanita Iran terus menerus di-shoot media Barat dan ini memberikan dampak yang sangat besar dalam revolusi busana muslimah. Walaupun tentu saja, faktor revolusi Iran ini bukan faktor satu-satunya atas maraknya fenomena busana muslimah di Indonesia tahun 1980-an, tetapi tidak bisa dihindari telah menjadi suntikan kuat bagi peneguhan harga diri, percaya diri dan identitas baru perempuan Islam Indonesia. Pasca revolusi, gambar-gambar perempuan Iran yang berkerudung dan cantik-cantik menghipnotis kaum perempuan dan para pelajar Islam di Indonesia.
Revolusi Islam Iran menjadi fasilitator munculnya model kerudung baru yang lebih sesuai dengan syariat Islam. Berawal dari masjid Salman ITB kemudian semarak di kalangan pelajar, mahasiswi dan aktivis Islam di Bandung dan kemudian melalui jaringan masjid kampus menyebar ke berbagai kota seluruh Indonesia tahun 1990-an. Ada empat hal yang melekat dengan model busana muslimah sebagai ciri khas era ini: Pertama, pemakaiannya memenuhi kriteria norma Islam; Kedua, pemakaiannya didasari kesadaran beragama. Mereka yang tergerak hatinya memakai busana muslimah pada tahun-tahun tersebut karena didorong oleh kesadaran beragama, yaitu perasaan ingin lebih saleh dan beragama secara benar. Islamisasi busana sangat eksentif pada periode itu dalam konteks era kebangkitan Islam di Indonesia; Ketiga, kemunculannya merupakan gelombang perlawanan kultural hegemoni asing, dan dengan demikian; Keempat, bersifat ideologis.
Memasuki tahun 1990-an fenomena busana muslimah semakin luas lagi. Pada periode ini, busana muslimah masuk ke berbagai kelompok politik, pengusaha, selebritis, seniman, kantor-kantor pemerintah dan swasta, lembaga politik, kaum profesional dan lainnya. Pada waktu periode ini, busana muslimah menjadi identitas kelas menengah; sebuah kelas sosial yang mengalami kemakmuran ekonomi.
Bila tahun 1970-an, pemakai busana kerudung adalah ibu-ibu pengajian di desa-desa, pesantren dan sangat bernuansa tradisional, tahun 1990-an kerudung dipakai oleh perempuan berkelas dengan mengendarai mobil mewah, dipakai oleh pengusaha, artis, pejabat negara, kaum profesional, aktivis sosial politik dan seterusnya. Pada dekade ini pula para perintis perancang busana muslimah berkelas bermunculan, seperti Anne Rufaidah, Ida Royani, Ide Leman, Dewi Motik Pramono, Neno Warisman dan lain-lain. Butik-butik mahal pun mulai menjamur, seperti Shafira di Bandung dan Yayasan Karima di Jakarta dengan harga ratusan hingga jutaan rupiah. Mereka membentuk lingkungan simbolik baru sebagai kelas menengah muslim. Tahun 1990-an, Islam mengalami mobilisasi citra dari tradisional desawi ke modern perkotaan.
Selanjutnya pada dekade tahun 2000-an, pemakaian busana kerudung hampir merata di seluruh Indonesia. Belakangan ini, sangat mudah menemukan perempuan berkerudung di berbagai tempat umum. Semudah melihat mobil, kerudung pun ada di mana-mana. Perempuan berkerudung mudah ditemukan di stasiun, terminal, bioskop, tempat hiburan, lapangan olahraga, mall-mall, lembaga politik, kampus, tempat kerja, kantor-kantor, kelompok arisan, pasar dan bahkan di kolam renang. Sebuah pemandangan sosial yang tidak terbayangkan pada tahun 1980-an.
Bila periode 1980-an adalah periode perintisan, periode 1990-an adalah periode peneguhan dan perluasan, maka periode 2000-an adalah periode kultural. Pasca tahun 2000, kerudung sudah menjadi kultur masyarakat muslimah Indonesia. Konsekuensinya, ketika sebuah fenomena berubah menjadi tradisi atau kultur, lunturlah nilai dan esensinya yang sebelumnya melekat, menapasi konteks kemunculan gejala tersebut. Dalam kultur, orang melakukan sesuatu karena lingkungan, kebiasaan dan tren sosial. Ketika kerudung menjadi kultur yang ditampilkan mayoritas masyarakat, ciri semangat keagamaan yang sebelumnya mengikat kelompok menjadi pudar. Motivasi agama bercampur dengan motivasi lingkungan dalam masyarakat. Di sisi lain, tren globalisasi menelikung kuat seluruh lapisan masyarakat. Sebagai lapisan usia yang sedang mencari identitas, remaja adalah kelompok yang paling mudah terpengaruh tren tersebut tak terkecuali remaja-remaja muslim yang hidup dalam lingkungan nilai-nilai keislaman. Dari lapisan sosial remaja inilah muncul sebuah tren baru gaya berkerudung yang sangat khas dan tidak ada presedennya: kerudung gaul.
Kerudung gaul adalah model yang mengawinkan dua gejala, keagamaan di satu sisi dan tren global di sisi lain. Sebagai perempuan Islam, mereka ingin memakai busana muslimah di satu sisi, tetapi ingin tampil seksi dan menarik di sisi lain. 'Seksi' dan 'menarik' ini adalah pengaruh kultur Barat, konteks adalah pameran diri (show off) untuk konsumsi publik laki-laki dan pasar ekonomi. Dalam Islam, sebagai makhluk yang dihargai, perempuan dilarang keras berpamer-pamer seperti itu. yang ada justru perintah menjaga dan menutup diri agar terhormat. Akan tetapi, karena perempuan-perempuan muda hidup di kota-kota besar dalam lingkungan kultur global yang sangat westernized (kebarat-baratan), sementara pendidikan agamanya masih kurang, maka seksi dan menarik tetap menjadi pilihan banyak perempuan muda. Seksi dan menarik adalah ikon kecantikan sekuler yang selama ini membentuk cara berpikir para wanita muda dan remaja. Maka lihatlah, kita menyaksikan sebuah spesies baru, generasi perempuan Islam yang berbusana muslimah sangat khas: ketat mencetak badan, lekuk-lekuk tubuh ditonjolkan, perut pinggang dipamerkan, sementara kepalanya terbungkus kerudung. Model busana muslimah generasi ini persis seperti disinyalir dalam hadis Nabi SAW: “Berpakaian tapi telanjang”.
Belakangan busana muslimah kultural juga menjadi sangat populer di kalangan ibu-ibu. Tanpa disadari, di berbagai masyarakat, ibu-ibu memakai busana muslimah sebagai pakaian formal untuk berbagai acara, seperti pertemuan-pertemuan resmi, perkumpulan, arisan dan pertemuan PKK dan darma wanita, acara sosial kemasyarakatan, acara keagamaan, bahkan untuk tampil dalam panggung kesenian dan berjoget dangdut dalam acara agustusan. Inilah kerudung gaul ibu-ibu. Begitu populernya, sering ibu-ibu merasa malu dan tidak percaya diri bila tidak mengenakan kerudung dalam acara–acara di luar rumah karena mayoritas lingkungannya memakainya. Dalam berbagai acara seperti rapat, pelatihan, pertemuan resmi dan tidak resmi, sungguh unik dan menarik, kerudung sudah menjadi “the unwritten agreement” (kesepakatan tidak tertulis).
Di luar kerudung kesadaran, banyak ibu-ibu belakangan ini menganggap bahwa memakai kerudung adalah sebuah bentuk 'gaul'. Dengan demikian, desakralisasi kerudung tidak hanya ditampilkan oleh kalangan remaja yang mencari identitas, tetapi juga oleh 'ibu-ibu gaul'. Kerudung ibu-ibu ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) dipakai bukan atas dasar kesadaran agama melainkan pengaruh lingkungan (tren sosial dan mode); (2) dipakai dalam acara-acara pertemuan tetapi ditanggalkan dalam penampilan sehari-hari dengan berpakaian seadanya, bahkan seksi; (3) tanpa ruh dan sakralitas karena mereka juga memakainya untuk berjoget dalam acara-acara kesenian dan panggung hiburan di lingkungannya (masyarakat, sekolah dan tempat kerja).
Media massa menyumbang pengaruh besar dalam pembentukan kultur kerudung gaul ini melalui acara-acara busana dan penampilan para artis. Pengaruh media dalam pembentukan kultur kerudung gaul ini adalah yang diekspos media lebih pada penampilan lahiriahnya, yaitu mode dan kecantikan, bukan sentuhan hati, yaitu kesadaran untuk menutup aurat seterusnya sebagai sebuah kesadaran beragama.
Model Pakaian Syar`i
Berjilbab dan menutup tubuh (aurat) secara sempurna bukanlah sekedar budaya bangsa Arab, namun ia adalah aturan agama Islam yang berlaku bagi seluruh pemeluknya kapanpun dan di manapun. Allah berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ...... ( النور : 31)
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (QS. al-Nur : 31)
Adapun pengertian pakaian syar`i seperti yang diterangkan dalam “al-Mufasshil fi Ahkamil-Hijrah” (vol III/hlm. 87) adalah sesuatu yang menutupi bagian-bagian tubuh yang diperintahkan Allah SWT untuk ditutupi. Dari definisi ini dapat kita pahami bahwa pakaian syar`i dapat direalisasikan dengan model, bentuk, dan bahan apapun asal tidak bertentangan dengan aturan Allah SWT.
Menilik kriteria busana yang sesuai dengan ajaran syarak, Imam ash-Shabuni menjelaskan setidaknya ada 6 kriteria, yaitu [5]:
Menilik kriteria busana yang sesuai dengan ajaran syarak, Imam ash-Shabuni menjelaskan setidaknya ada 6 kriteria, yaitu [5]:
1. Dapat menutupi aurat;
2. Dengan bahan atau kain yang tebal, tidak tipis (tidak transparan) sekira bisa menutupi warna kulit;
3. Tidak terlalu indah dan menarik perhatian;
4. Tidak terlalu ketat sehingga menampakkan detail tubuhnya;
4. Tidak terlalu ketat sehingga menampakkan detail tubuhnya;
5. Tidak diberi wewangian yang dapat menggelitik birahi lawan jenis;
6. Motif busana tidak menyerupai motif busana laki-laki.
Sebagian ulama menambahkan dua syarat lagi, yaitu: 1) tidak menyerupai pakaian wanita kafir; dan 2) bukan tergolong Libasusy-Syuhrah (pakaian popularitas). Maksud dari Libasus-Syuhrah sendiri adalah pakaian yang membuat pemakainya tampak beda dari selainnya dan membuatnya terkenal (populer dan mencolok)[6]. Inti syarat yang terakhir ini adalah pakaian yang dipakai benar-benar difungsikan untuk menutupi aurat, mengikuti perintah Allah SWT, bukannya untuk “gaya-gayaan”. Karena ternyata ada warning dari Baginda Rasul bagi orang–orang yang suka memakai pakaian untuk mencari popularitas, dikhawatirkan nanti pada hari kiamat diberi pakaian kehinaan.[7]
Islam dan Gemerlap Dunia Mode
Mode dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ragam (cara atau bentuk) yang terbaru pada suatu waktu tertentu. Pengertian ini meliputi cara mendesain model pakaian dan lain-lain. Setiap periode waktu, mode pakaian selalu berubah sesuai dengan selera masyarakat di sebuah daerah sehingga model pakaian zaman dahulu dengan sekarang pun sangat berbeda. Begitu juga bentuk busana di suatu tempat dengan tempat lainnya tidak sama. Dan sekarang dunia mode atau fashion sangat berkembang pesat dan banyak orang terutama para wanita di perkotaan kecanduan akan mode.
Lalu apakah Islam menolak mode?
Menurut penulis jawabannya adalah tidak. Sepanjang pengetahuan penulis, memang tidak ada dan tidak ditemukan dalam ajaran Islam tentang cara mendesain pakaian. Lebih tegas, Alquran dan Hadis tidak pernah menyinggung persoalan mode pakaian. Jadi, Islam tidak memberikan ketetapan atau kepastian bahwa mode itu harus begini atau harus begitu. Ini logis, karena soal cipta mencipta mode termasuk masalah yang berdimensi duniawi. Tegasnya, termasuk masalah kebudayaan. Mengenai masalah-masalah duniawi, Rasullah SAW telah menandaskan: “Jika ada urusan agamamu (yang tidak kamu ketahui) tanyakanlah kepadaku. Jika ada urusan duniawi, maka kamu lebih mengetahuinya.” Sabda Nabi ini secara tegas menyatakan bahwa untuk masalah-masalah yang berdimensi agama harus dikembalikan kepada Rasulullah sesuai dengan sumber informasi Alquran dan Hadis.
Lalu apakah Islam menolak mode?
Menurut penulis jawabannya adalah tidak. Sepanjang pengetahuan penulis, memang tidak ada dan tidak ditemukan dalam ajaran Islam tentang cara mendesain pakaian. Lebih tegas, Alquran dan Hadis tidak pernah menyinggung persoalan mode pakaian. Jadi, Islam tidak memberikan ketetapan atau kepastian bahwa mode itu harus begini atau harus begitu. Ini logis, karena soal cipta mencipta mode termasuk masalah yang berdimensi duniawi. Tegasnya, termasuk masalah kebudayaan. Mengenai masalah-masalah duniawi, Rasullah SAW telah menandaskan: “Jika ada urusan agamamu (yang tidak kamu ketahui) tanyakanlah kepadaku. Jika ada urusan duniawi, maka kamu lebih mengetahuinya.” Sabda Nabi ini secara tegas menyatakan bahwa untuk masalah-masalah yang berdimensi agama harus dikembalikan kepada Rasulullah sesuai dengan sumber informasi Alquran dan Hadis.
Karena masalah mode adalah termasuk urusan duniawi, maka ia tidak ditetapkan dan tidak ditentukan secara pasti bagaimana cara mendesainnya, sehingga model pakaian dapat dikembangkan menurut selera dan wawasan kreativitas sendiri. Yang prinsip dari pakaian ialah menutup aurat. Jika prinsip menutup aurat telah terpenuhi, maka pakaian macam apapun bentuk dan potongannya tidak menjadi persoalan, akan tetapi juga harus tetap memperhatikan syarat-syarat pakaian syar`i yang telah diterangkan oleh para ulama.
Dalam menghadapi masalah-masalah yang berdimensi duniawi dan masalah-masalah kebudayaan, termasuk masalah cipta mencipta mode pakaian, Islam tidak bersikap kaku, tetapi fleksibel. Islam memberikan kelonggaran bahkan kebebasan dalam hal cipta mencipta mode, dan dalam hal ini diserahkan kepada selera kreativitas masyarakat penganutnya di mana mereka berada. Walhasil, mode pakaian itu dapat dicipta sesuai dengan keperluan, kebutuhan, kondisi dan situasi, namun harus dalam batas-batas moral Islam.
Oleh karena itu, Bukan hal yang urgen pakaian orang Islam Indonesia sama persis dengan pakaian orang Pakistan atau sebaliknya. Begitu juga pakaian Arab tidak perlu serupa dengan pakaian Malaysia. Faktor-faktor kebudayaan setempat, keadaan iklim dan musim sudah barang tentu ikut mempengaruhi cara memotong pakaian, cara mereka berpakaian dan pola serta desain-desain yang dihasilkannya. Namun suatu hal yang harus sama adalah bahwa pakaian orang Islam di mana saja harus menutup aurat. Sebab aurat terbuka adalah salah satu tanda bahwa moralitas mulai ambruk.
Dengan demikian, Islam tidak menampik mode (estetika) pakaian, tetapi justru sebaliknya Islam menghargai kreativitas, mendorong daya cipta dan selalu menggalakkannya untuk selalu mencipta dan berkreasi.
Kesimpulan
Pakaian merupakan salah satu anugerah Allah SWT. yang agung dan patut untuk disyukuri. Ia termasuk kebutuhan primer manusia. Jenis dan bahannya pun sangat beragam, dan disempurnakan dengan berbagai fungsi dan manfaat yang tidak sedikit. Sebagai interpretasi rasa syukur atas nikmat pakaian ini, kita hendaknya selalu berpakaian syar`i.
Ketika kita membicarakan pakaian syar`i, maka yang ada dalam pikiran kita adalah “Busana Muslim” yang merupakan busana ciri khas orang Islam. Menilik asal mula sejarahnya yang mengandung esensi semangat keislaman, maka busana ini haruslah dapat menempatkan diri sebagai pakaian yang selaras dengan aturan syariat, tidak boleh asal-asalan.
Adapun dunia mode atau fashion dan sejenisnya yang hadir untuk membuat penampilan seseorang menjadi semakin baik dan menarik yang pastinya sangat menggiurkan bagi pria maupun wanita, tidak lepas pula para muslimah secara khusus, Islam sama sekali tidak melarang untuk itu. Sah-sah saja ketika para muslimin dan muslimat mengikuti mode agar tidak tampil 'norak' atau ketinggalan zaman. Agar bisa lebih cepat diterima di masyarakat, tampilan rapi dan menarik juga sangat diperlukan. Namun yang menjadi catatan penting di sini adalah harus diingat bahwa Islam memiliki aturan-aturan sendiri dalam berbusana, khususnya untuk para wanita. Dan aturan-aturan itu harus menjadi yang utama di atas konsep-konsep yang ditawarkan oleh dunia mode atau fashion. Menutup aurat dan tidak berlebih-lebihan dalam berhias dan berbusana, merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan. Jangan sampai dunia fashion membutakan umat Islam hanya untuk mengumbar keindahan yang berlebih dan tidak pada tempatnya.
Realisasi standarisasi busana muslim maupun muslimah yang sesuai syar`i tidak mungkin dapat terealisasikan dalam kenyataan jika umat Islam masih terlena dengan mode berbusana ala Barat. Kita sebagai umat Islam harus sadar bahwa kita memiliki aturan sendiri dalam berbusana, dan aturan tersebut adalah yang paling baik dan maslahat bagi semua umat manusia. Sudah selayaknya standarisasi ini menjadi misi umat Islam, terkhusus para desainer muslim yang bertindak sebagai ujung tombak dalam pembuatan busana-busana muslim dengan didukung penuh oleh pemerintah. Sekian.
-------------------
[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2001), Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, h. 813.
[2] Dr. David Reed, mammalogist dari University of Florida, Amerika Serikat.
[3] Uwais Wafa bin Muhammad al-Arzanjani (t.t) Minhajul-Yaqin, Surabaya: al-Haromain, h. 559 s/d 560.
[4] Dr. M. Quraish Shihab, M.A (t.t.) Wawasan al-Qur`an, Tafsir Maudhu`i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan.
[5] Muhammad Ali al-Shabuni (t.t.) Tafsir Ayatil-Ahkam, J. I, al-Maktabah al-Syamilah, h, 489.
[6] Abdul Muhsin al-Ibad (t.t.) Syarh Sunan Abi Dawud, J.3 al-Maktabah al-Syamilah, h,397.
[7] Hadist riwayat Imam Ahmad dan lainnya.