Selamat tahun baru, kawan!
Kawan,
Sudah tahun baru lagi
Belum juga dibahas saatnya kita menunduk,
Memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan sebelum kita dihisab-Nya…….
(KH. MUSTHOFA BISRI)
Sekarang, kita semua telah kedatangan tahun baru 2015 M. Semua orang tentunya sudah tak sabar untuk mengatakan “wellcome” kepada ”tamu” yang datangnya hanya setahun sekali ini. Senada dengan hal itu, banyak agenda acara, pesta dan sejenisnya akan digelar, dan semua itu telah dipersiapkan tak lain demi momen yang telah dianggap sebagai hari besarnya umat sedunia ini.
Tak bisa dipungkiri, tahun demi tahun hiruk-pikuk perayaan Ra`sus-Sanah al-Mîlâdiyyah (Awal Tahun Masehi) semakin bertambah massif saja. Dahulu, hanya masyarakat kota-kota besar yang merayakannya, kini sudah mulai merambah ke masyarakat-masyarakat desa. Muda, tua, pria, wanita, anak-anak, dewasa, semuanya berkumpul untuk menyemarakkannya.
Kaum muslimin tak mau ketinggalan. Sebagian dari mereka menyemarakkannya dengan cara yang sudah familiar di kalangan masyarakat, seperti meniup terompet, menyalakan kembang api dan lain sebagainya. Sebagian lagi ada yang menyambutnya dengan cara yang berbeda, yakni dengan menggelar acara pengajian, istighotsah dan sejenisnya. Mereka berpikir, daripada kaum muslimin berhura-hura pada saat pergantian akhir tahun, lebih baik membuat acara yang Islâmî sebagai alternatif daripada acara hura-hura merayakan tahun baru.
Dengan realitas seperti ini, maka tak salah kalau banyak pengamat sosial secara kompak mengatakan bahwa “New Year Anniversary” (Perayaan Tahun Baru) telah bertransformasi menjadi fenomena sosial budaya yang dilakukan oleh semua kalangan, tak terkecuali kaum muslimin.
Maka dari itu, sebagai seorang muslim yang selalu menjunjung tinggi term-term syariat, penting kiranya bagi kita untuk mengetahui hukum merayakannya menurut pandangan khazanah turats fikih Islami. Hal ini selaras dengan salah satu ideologi yang ditancapkan oleh para intelektual fikih bahwa, “seorang muslim tidak akan melangkah atau berbuat sesuatu melainkan telah mengetahui hukumnya terlebih dahulu”.
Maka dari itu, sebagai seorang muslim yang selalu menjunjung tinggi term-term syariat, penting kiranya bagi kita untuk mengetahui hukum merayakannya menurut pandangan khazanah turats fikih Islami. Hal ini selaras dengan salah satu ideologi yang ditancapkan oleh para intelektual fikih bahwa, “seorang muslim tidak akan melangkah atau berbuat sesuatu melainkan telah mengetahui hukumnya terlebih dahulu”.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Perayaan tahun baru masehi memiliki sejarah panjang. Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakan hari itu tidak mengetahui kapan pertama kali acara tersebut diadakan dan latar belakang mengapa hari itu dianggap sebagai tahun baru. Ternyata, kegiatan ini merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. (G. Capdeville, “Les épithetes cultuels de Janus” in Mélanges de l’école française de Rome (Antiquité), hlm. 399-400.)
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM., tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma. Ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ke-7 SM. dengan sistem penanggalan baru yang mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM., dia mengubah nama bulan ketujuh yang disebut Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Tidak itu saja, ternyata kaum pagan Persia yang beragama Majūsî (penyembah api), juga menjadikan tanggal 1 Januari sebagai hari raya mereka yang dikenal dengan hari Nairūz atau Nurūz. Penyebab mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari raya adalah, untuk memberikan apresiasi kepada raja baru mereka, yakni Jamsyad, yang ketika dia naik tahta, ia merubah namanya menjadi ‘Nairūz’ pada awal tahun. ‘Nairūz’ sendiri berarti tahun baru. Kaum Majūsî juga meyakini, bahwa pada tahun baru itulah, Tuhan menciptakan cahaya sehingga memiliki kedudukan tinggi. Kisah perayaan mereka ini direkam dan diceritakan dengan jelas oleh Syihâbuddin al-Nuwairî dalam kitabnya, Nihâyatul-Arab fî Funūnil-Âdâb, al-Muqrizî dalam kitab al-Mawâ`idz wal-I`tibâr bi Dzikril-Khuthath wal-Âtsâr dan `Alî al-Jârim-Musthofâ Âmîn dalam al-Balâghah al-Wâdhihah.
Pesta tahun baru sendiri, juga merupakan syiarnya kaum Yahūdî yang dijelaskan di dalam taurat mereka, yang mereka sebut dengan awal Hisya atau pesta awal bulan, yaitu hari pertama Tasyrîn, yang mereka anggap sama dengan hari raya ‘Îdul Adhâ-nya kaum muslimin.
Kemudian, datanglah kaum Nasrani mengikuti jejak orang-orang Yahūdî. Mereka berkumpul pada malam awal tahun Mîlâdiyah (masehi) untuk menyambut 1 Januari yang dijadikan sebagai salah satu hari suci mereka. Mereka biasa merayakannya pada musim dingin dan mereka menduga hari itu sebagai hari kelahiran Nabi Îsâ As. Biasanya, perayaan ini disemarakkan satu paket dengan peringatan natal (christmas). Makanya, kita sering lihat dan mendengar, bahwa tahni`ah (ucapan selamat) kaum Nasrani adalah: “Marry Christmas and Happy New Year”, “Selamat Natal dan Tahun Baru”.
Selanjutnya acara ini terus dirayakan oleh masyarakat modern, walaupun mereka tidak mengetahui spirit ibadah pagan adalah latar belakang diadakannya acara ini.
Pandangan Ulama Tentang Perayaan Tahun Baru Masehi
Banyak ulama berbeda pendapat dalam menjustifikasikan perayaan Tahun Baru Masehi. Permasalahan ini membuat para ulama terbelah menjadi dua kubu. Kubu pertama menilainya haram dan kubu kedua menilainya mubah (boleh).
Secara lengkap, kubu pertama berpendapat bahwa hukum merayakan tahun baru bagi muslim adalah haram, dan wajib baginya untuk tidak melakukan persiapan apapun dalam menyambut hari tersebut, bahkan seyogyanya ia menjadikan hari itu seperti hari-hari biasa. Banyak kalangan ulama yang berpendapat seperti ini. Di antaranya Imam Suyūthî dari golongan Syâfi`iyyah yang mengemukakan pendapat beliau dalam kitabnya, al-Amri bil-Ittibâ` wan-Nahyi `anil-Ibtidâ` (hlm. 120-122). Begitu juga Syekh al-Wansyarîsî, seorang ulama bermazhab Mâlikî yang mencetuskan justifikasinya dalam kitab beliau, al-Mi`yâr al-Mu`arrib (vol:11, hlm. 150-152).
Berikut ini rangkuman beberapa argumen yang dijadikan dasar keharaman oleh kubu pertama:
- Pesta Tahun Baru adalah bagian dari agama Nasrani yang tidak mempunyai dasar apapun dalam Islam. Di samping itu, tahun baru juga merupakan hari raya keagamaan kaum Romawi, kaum pagan Persia yang beragama Majusi, dan kaum Yahūdî berdasarkan sejarah yang diterangkan sebelumnya. Implikasinya, perayaan ini bisa dikategorikan sebagai syiarnya orang Kuffâr. Padahal banyak dalîl-dalîl yang menjelaskan keharaman meniru kebiasaan orang Kuffâr (tasyabbuh bil-Kuffâr) dalam segi penampilan, ritual, perayaan dll.
- Mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Islam melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih (memberikan loyalitas) dan menampakkan cinta kasih kepada mereka (muwâlâtul Kuffâr). (Lihat: Rawâi'ul-Bayân, vol: II, hlm. 399.)
- Hari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi Saw. datang ke kota Madinah, Beliau mendapati penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairūz dan Mihrajân. Sesudah itu, beliau pun bersabda di hadapan penduduk Madinah, “Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i). Perayaan Nairūz dan Mihrajân yang dirayakan penduduk Madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang Majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi Saw. pun melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik, yakni Idul Fitri dan Idul Adhâ.
- Hari tersebut tidak diperingati pada era ulama salaf terdahulu (bidah). Di sisi lain banyak kemunkaran-kemunkaran yang terjadi di dalamnya.
Sementara itu, kubu kedua berpendapat sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa memperingati Tahun Baru Masehi bagi kaum muslimin adalah boleh. Di antaranya ulama yang berada pada kubu kedua ini adalah Mufti Mesir Syekh `Athiyah Shaqr, yang mencetuskan pendapatnya dalam Fatâwa al-Azhâr asy-Syarîf (vol: 10, hlm. 160.) dan Departemen Agama Islam Kuwait yang membukukan pandangannya dalam kitab Fatâwa Qutha` al-Iftâ`bil-Kuwait (vol: 3, hlm. 25.). Mereka beralasan:
- Tahun Baru Masehi tergolong momen-momen umum (al-A`yâd al-Musytarakah) dan bersifat global, tidak termasuk dari syiar orang Kuffâr sehingga boleh merayakannya;
- Momen Tahun Baru adalah momen yang murni bersifat duniawi. Konsekuensinya, perayaan tersebut tidaklah dilarang selama motif merayakannya itu baik sesuai dengan syarak dan cara merayakannya berada dalam batasan agama;
- Tidak ada nas dalam syariat yang melarangnya secara sharîh (eksplisit). Adapun hadis yang dipakai sebagai dasar kelompok yang melarang perayaan momen tersebut, yaitu hadis yang memuat tanggapan Nabi Saw. terkait penduduk kota Madinah yang merayakan dua hari raya, Nairūz dan Mihrajân. Dalam hal ini, kelompok yang membolehkan menjelaskan bahwa hadis tersebut tidak membatasi hari-hari besar yang boleh hanya pada dua hari raya tersebut. Dengan bukti, hari Jumat juga dinamakan hari raya. Hadis itu tak lain hanyalah menyebutkan bahwa dua hari besar itu lebih utama daripada hari-hari raya penduduk madinah yang diadopsi dari bangsa Persia;
- Tidak ada nas yang melarang untuk bersenang-senang dan bersuka-cita pada selain dua hari raya Islam ini. Jadi, merayakan momen apapun yang baik itu tidak mengapa selagi tujuannya sesuai dengan syarak dan cara merayakannya berada dalam batasan agama;
- Memang, perayaan ini adalah bidah, namun telah menjadi fakta bahwa tidak semua perkara bidah itu dicela;
- Yang menjadi standar pertimbangan hukum syariat adalah esensi perayaan tersebut, bukan namanya. Oleh karena itu, tidak mengapa menamakan momen ini dengan tahun baru Masehi.
Dengan kerangka hukum yang semacam ini, penulis lebih cenderung untuk mengikuti pendapat yang pertama, karena menyelisihi kaum kuffâr merupakan suatu hal yang urgen bagi umat Islam. Penulis tidak bermaksud menafikan pendapat kedua, karena sudah mafhum bahwasanya pendapat tersebut dicetuskan oleh ulama yang telah diakui kapasitas ilmunya. Husnuzhan penulis, kelompok kedua ini berusaha untuk mencetuskan hukum yang bersifat longgar berdasarkan qoul-qoul yang membolehkannya dengan disertai argumen-argumen yang menguatkan pendapat tersebut (meskipun terkadang memakai qoul yang lemah).
Fatwa-fatwa yang bersifat longgar ini seringkali dicetuskan oleh ulama-ulama mu`âshirîn (modern) yang semua pendapat itu berorientasi pada bentuk memudahkan segala urusan, meminimalisir beban kewajiban, tidak mudah mengharamkan serta tanpa mempersempit ruang gerak kaum muslimin.
Namun yang perlu diingat, prinsip mukhalafah lil-Kuffâr (berselisih dengan kaum nonmuslim) dalam semua aspek tetaplah harus dijadikan barometer utama. Karena dalam faktanya, ada banyak hadis yang memerintahkan kita untuk tidak meniru mereka. Ambil contoh, perintah untuk memelihara jenggot dan memotong kumis, ternyata di antara hikmahnya adalah untuk menyelisihi kaum musyrikin. Kita pun diperbolehkan salat dengan sandal dan khūf (alas kaki/sepatu slop), yang mana tujuannya adalah untuk menyelisihi orang Yahūdî. Dianjurkannya bersahurpun, di antara hikmahnya adalah juga untuk menyelisihi ahli kitâb. Rasūlullâh Saw. bersabda: ”Yang membedakan puasa kita dengan puasa ahli kitâb adalah, makan sahūr.” (HR Muslim)
Logikanya, apabila dalam masalah penampilan saja, seperti menyemir rambut dan memelihara jenggot, kita diperintahkan untuk menyelisihi kaum kuffâr, maka tentu saja dalam hal perayaan yang merupakan bagian dari ritual dan syiar keagamaan mereka itu lebih utama dan lebih wajib untuk diselisihi. Apalagi fakta historis membuktikan bahwasanya asal muasal perayaan tahun baru itu memang berasal dari kaum kuffâr.
Alhasil, ketika ada pertentangan antara hukum haram dengan jawaz (boleh), maka idealnya bagi kita adalah mengikuti pendapat yang mengharamkan. Hal ini senada dengan kaidah yang tertuang dalam Qawa`idul-Fiqh, “al-Khurūj minal-ikhtilâf bil-Ijtinâb afdhal” (keluar dari perselisihan ulama dengan menjauhi yang haram itu lebih utama).
Nah, berangkat dari kecenderungan penulis kepada kubu pertama ini, ternyata keharaman merayakan tahun baru yang dicetuskan kubu tersebut itu tidak berlaku secara mutlak. Sebab, dalam konsep keharaman meniru orang kafir, para intelektual fikih bersikap objektif. Objektivitas tersebut tertuang dalam sikap mereka yang lebih memilih untuk mengklasifikasi hukum meniru kaum kuffar menjadi beberapa bagian (tafshîl). Dan spesifikasi hukum tersebut dapat kita telaah dalam kitab al-Fatâwa al-Kubra al-Fiqhiyyah, karya Ibnu Hajar al-Haitamî. (vol: 4, Hlm. 238-239.) dan kitab Bughyatul-Mustarsyidîn, karya Sayyid `Abdurrohmân bin Muhammad Bâ `Alawî (Hlm. 238.). Berikut ini penulis ilustrasikan perinciannya:
- Jika perbuatan itu dilakukan karena condong (simpati) dan rela dengan agama mereka serta berniat menyerupai mereka dalam syiar kekufuran, maka hukumnya kufur;
- Jika perbuatan itu dilakukan dengan niat menyerupai mereka dalam segi syiar hari rayanya saja (seperti meniup terompet, menyulut lilin, memakai pakaian yang menjadi identitas mereka), maka hukumnya tidak kafir namun berdosa;
- Dan apabila tidak bertujuan menyerupai mereka sama sekali, semisal perbuatan itu terjadi karena kebetulan saja tanpa ada tujuan apapun, maka dalam hal ini hukumnya tidak apa apa.
Jadi, berdasarkan semua penjelasan di atas, tidak seyogyanya seorang muslim ikut-ikutan menyambut kedatangan Tahun Baru Masehi.
Andaikata ia merayakannya, hendaknya hal itu dilakukan dengan cara yang tidak sama dengan tradisi golongan nonmuslim. Dan seandainya saja ia ikut bergembira menyambut tahun baru tersebut, hendaknya kegembiraannya itu hanya dari segi selain rela dan simpati dengan agama mereka. Misalnya senang dan bersyukur karena masih diberi umur panjang hingga dapat mendapati tahun baru lagi, atau alasan lain seperti karena hari itu adalah hari libur yang tentunya menyenangkan bagi semua orang.
Penutup
Terlepas dari perbedaan tentang hukum merayakannya, memperingati tahun baru masehi adalah sebuah ironisme tersendiri bagi kita selaku umat Islam, karena ikut serta menyemarakkan dan melestarikan budaya yang tidak berasal dari agama kita. Dan uforia yang berlebihan dalam menyambut Tahun Baru Masehi. sangatlah tidak layak dilakukan oleh kita semua, lebih-lebih dengan menggelar pesta dan pelbagai acara yang tak jelas arahnya.
Justru, detik-detik pergantian tahun ini seharusnya kita isi dengan berintrospeksi diri (muhâsabatun-nafsi) dan bertafakur; merenungkan semua yang telah kita lakukan sepanjang tahun ini. Apakah kita sudah menjadi muslim yang sejati? Apakah perilaku kita sudah bisa dikatakan islâmî?
Tidak bisa ditutupi bahwa ikut merayakan tahun baru Masehi sangat bertolak belakang dengan identitas masyarakat muslim yang Islami. Sebab, masyarakat Islam yang sebenarnya adalah masyarakat yang menjaga adab-adab (tata kehidupan)-nya yang masih asli dan tradisinya yang kokoh sebagaimana memelihara (membela) tanah airnya dari penjajahan, memelihara kehormatannya agar tidak dirusak, menjaga kekayaannya agar tidak dirampas dan menjaga kemuliaannya agar tidak direndahkan.
Tidaklah disebut masyarakat Islam yang benar itu masyarakat yang terlepas dari tradisinya yang murni dan dari tata kehidupannya yang orisinil, kemudian ia menerima tradisi dan tata kehidupan lain yang asing darinya, sehingga kepribadiannya menjadi meleleh dan identitasnya lenyap, serta menjadi pengekor bagi musuh-musuh Allah, padahal Allah telah menjadikannya sebagai pemimpin dunia.
Alhasil, jika kita mengaku sebagai seorang muslim yang sejati, maka kita harus bangga menampilkan diri dalam warna keislaman, dari segala segi kehidupan dengan segala corak dan warnanya. Mari kita mencukupkan diri dengan itu semua. Bukankah agama kita, Islam merupakan agama yang sempurna? Yang di dalamnya terdapat segala “aturan main” dan bimbingan untuk segala bidang kehidupan.
Jangan sampai kita menjadi “latah”; terlalu mudah mengatakan “wow” dengan tradisi-tradisi dari agama lain, dan pada akhirnya meng-copy-paste identitas agama lain tersebut. Sebab, jika perbuatan “latah” itu masih saja kita lakukan, pantas saja dalam salah satu penggalan puisinya, Gus Mus mempertanyakan status ke-Islam-an kita,
Jangan sampai kita menjadi “latah”; terlalu mudah mengatakan “wow” dengan tradisi-tradisi dari agama lain, dan pada akhirnya meng-copy-paste identitas agama lain tersebut. Sebab, jika perbuatan “latah” itu masih saja kita lakukan, pantas saja dalam salah satu penggalan puisinya, Gus Mus mempertanyakan status ke-Islam-an kita,
Kawan,
Siapakah kita ini sebenarnya?
Musliminkah? Mukminin? Muttaqin?
Kholifah Allah? Ummat Muhammadkah kita?
Khoiro Ummatin-kah kita?
Atau kita sama saja dengan makhluk lain?
Atau bahkan lebih rendah lagi?
Hanya budak-budak perut dan kelamin
Iman kita kepada Allah dan yang gaib
Rasanya lebih tipis dari uang kertas seribuan
Lebih pipih dari kain rok perempuan
Syahadat kita rasanya seperti dari perut bedug
Atau pernyataan setia pegawai rendah aja
Kosong tak berdaya.....