Media Informasi Dan Dakwah Pondok Pesantren Al-Ihsan Gembong

SIKAP MUSLIM TERHADAP “LAGU KOPLO CABUL”

SIKAP MUSLIM TERHADAP “LAGU KOPLO CABUL”

Di kala mata ini berkeliaran mencari kabar-kabar dunia di koran pondok, pindah dari satu halaman ke halaman lain, tiba-tiba pandangan ini terhenti pada satu berita menarik yang dimuat oleh salah satu koran terbesar di Indonesia, Jawa Pos. Yaitu tentang problem semakin maraknya “lagu-lagu cabul” menghiasi televisi dan radio negeri ini, yang dikemas dalam aliran dangdut koplo. 

Sebuah aliran dangdut modern ini sudah sangat merakyat dan membumi, khususnya di kalangan masyarakat menengah ke bawah, tak terkecuali di kalangan santri pondok pesantren.

Di dalam koran itu dijelaskan bahwa KPID (Komisi Penyiaran Indonesia) Jawa Tengah mencekal 43 lagu yang terindikasi berbau cabul. Dari puluhan lagu tersebut, lima di antaranya masuk dalam black list dan dilarang untuk diputar secara mutlak.  Lagu-lagu itu dicekal karena dinilai sangat tidak mendidik dan cenderung menyarankan seks bebas. Di Harian Surya, koran regional Jawa Timur, juga ada berita yang selaras berjudul ''Dangdut Hamil Duluan Dicekal di Jatim''. Di samping itu, sebelum berita pencekalan itu diangkat, MUI Jawa Barat dan ulama Bandung juga mencekal beberapa artis Indonesia (mayoritas penyanyi dangdut) dan melarang mereka mengadakan konser di wilayah Pasundan dengan alasan pakaian yang seronok dan kurang pantas untuk ukuran Indonesia yang beradab. Lima lagu yang di-black list tersebut berjudul “Apa Aja Boleh", "Hamil Duluan", "Maaf Kamu Hamil Duluan", "Pengen Dibolongi", dan "Mobil Bergoyang”. Ada juga lagu-lagu lain yang berbau porno seperti “Cinta Satu Malam", "Watu Cilik", "Pentil Kecakot", "Cucak rowo", dan "Belah Duren”. Lagu-lagu tersebut pasti sudah sangat familiar di telinga masyarakat pedesaan, orang-orang kalangan menengah ke bawah, bahkan juga sebagian kalangan santri.
http://zoudeen.blogspot.co.id/2015/01/sikap-muslim-terhadap-lagu-koplo-cabul.html
SIKAP MUSLIM TERHADAP “LAGU KOPLO CABUL


PERSPEKTIF FIKIH  TENTANG LIRIK LAGU

Sedikit informasi,  musik adalah kumpulan suara-suara atau bunyi yang indah dan mempunyai irama-ritme serta dinamis. 

Musik sendiri sudah ada sejak zaman dahulu nenek moyang kita di dunia ini, akan tetapi penulis belum mengetahui kapan musik itu muncul dan siapa pelopornya. Yang jelas, musik dengan segala macam jenisnya mengandung beberapa unsur, di antaranya adalah alat musik yang mana dalam bahasa arab dikenal dengan alatul-malahi, vokal (penyanyi) dan lirik lagu (syair). 

Pengetahuan tentang hukum musik dengan segala unsurnya merupakan hal yang urgen bagi kita. Karena musik tak bisa lepas dari sejarah kehidupan manusia. Hal ini berhubungan dengan sifat bawaan manusia yang cenderung untuk me-refresh dirinya melalui berbagai macam hiburan, termasuk di antaranya adalah dengan mendengarkan musik, baik suara musik yang dihasilkan dari instrumen atau suara manusia semata, maupun dari suara alam seperti nyanyian burung, gemercik aliran sungai, tetesan air hujan dan gemuruh ombak yang begitu natural keindahannya.

Mendengarkan musik sangat berhubungan erat dengan hati dan perasaan. Terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah swt. pada irama yang selaras dengan jiwa sehingga memberi pengaruh istimewa pada hati. Terkadang dapat menimbulkan efek sedih atau gembira, tangis atau tawa dan dapat mendorong pendengarnya menggoyangkan anggota tubuh. Bahkan lewat efeknya yang ajaib, musik dapat dijadikan sebagai media penenang psikologi manusia. Hal ini sesuai dengan riset yang telah dilakukan oleh para ahli terapi. Berdasarkan hasil penelitian mereka, musik dianggap dapat membebaskan manusia dari jeratan tekanan batin, rasa kesepian, panik, dan berbagai gangguan mental lainnya. Sebagai contoh musik yang bernada ceria dengan sentuhan irama yang menenangkan. Musik seperti ini menurut mereka bisa meningkatkan gairah hidup dan memunculkan perasaan positif, sehingga bisa meningkatkan daya kerja. Jenis musik ini juga sangat bermanfaat untuk membangkitkan semangat dan keceriaan di kalangan anak-anak ataupun remaja. Lain halnya dengan musik yang berirama melankolis atau yang menyayat perasaan. Musik semacam itu dalam kondisi normal bisa mengurangi rasa sakit dan nyeri. Sementara jika didengar di saat sedih, bisa mempermudah bagi seseorang untuk menahan rasa duka.

Sebenarnya, muncul banyak pro-kontra di antara ulama mengenai hukum musik menurut perspektif fikih. Polemik ulama ini terjadi karena di dalam musik terdapat banyak unsur yang satu sama lain saling menimbulkan pengaruh hukum yang berbeda-beda. Namun dalam kesempatan ini penulis hanya ingin memfokuskan pembahasan mengenai hukum-hukum dari semua unsur musik tersebut tanpa memandang perbedaan pendapat para ulama yang ada.

Dalam menetapkan hukum unsur-unsur musik, para intelektual fikih telah menetapkan beberapa kriteria khusus untuk masing-masing unsur yang ada secara spesifik, mulai dari kriteria alat-alatnya yang diharamkan sampai persyaratan lirik lagu yang dihalalkan. Adapun kriteria alat musik yang diharamkan adalah setiap alat musik yang menjadi syiarnya orang-orang fasik serta dapat membangkitkan birahi, sehingga alat itu bisa melalaikan seseorang untuk ingat kepada Allah. Dicontohkan seperti piano, gitar, lute, simbal, alat musik tiup, dll. Karena itu, setiap permainan musik yang disertai dengan alat-alat seperti ini dapat dipastikan keharamannya, sebab: 1) menyerupai orang-orang fasik (pemabuk, waria/banci, dll.), 2) menjadi penyebab timbulnya larangan syariat, 3) dapat melalaikan seseorang untuk ingat kepada Allah[1]. Sedangkan untuk alat-alat di luar kategori ini hukumnya diperbolehkan, seperti rebana. 

Di samping itu, ada juga beberapa instrumen musik yang jelas-jelas disebutkan keharamannya oleh teks dalil (nash) seperti mizmar (alat sejenis tiupan seperti seruling), awtar (alat musik yang berdawai), dan thibl/kubah (alat kendang).[2]

Di antara beberapa kitab yang menjelaskan ketentuan alat musik yang diharamkan adalah Ihya` `Ulumiddin. Dalam kitab monumental karangan Imam al-Ghazali tersebut diterangkan secara gamblang hukum dari unsur-unsur musik. Intinya, Imam al-Ghazali menentukan lima syarat yang wajib terpenuhi supaya lagu atau musik lengkap dengan semua unsurnya halal untuk dinikmati. Lima syarat itu adalah sebagai berikut:

  1. Penyanyinya bukan wanita yang haram dilihat dan jika mendengarkan suaranya bisa menimbulkan syahwat;
  2. Alat musik yang dipakai bukan terdiri dari alat yang dilarang oleh syarak;
  3. Lirik lagunya tidak mengandung kata-kata yang jorok, erotis, ejekan dan pengingkaran kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga tidak mengandung pujian kepada nonmuslim;
  4. Yang mendengarkan lagu tidak lantas dikuasai syahwat lantaran mendengarkan lagu tersebut;
  5. Orang yang mendengarkan lagu tersebut harus orang yang memungkinkan cintanya bertambah kepada Allah karena terinspirasi oleh lagu yang dinikmatinya.

Dan bagi seseorang yang melantunkan sebuah lagu (vocal/penyanyi), secara khusus al-Ghazali menentukan beberapa syarat untuk melegalkan perbuatannya itu. Adapun syarat-syaratnya adalah:

◼️ lirik lagunya tidak mengandung unsur yang dilarang agama;
◼️   tidak berlagak seperti lain jenis;
◼️   tidak dilantunkan di hadapan lain jenis;
◼️   tidak disertai alat-alat yang diharamkan;
◼️  tidak menimbulkan dampak negatif yang dilarang syariat.[3]

Yang tidak kalah penting dari semuanya itu adalah pembahasan tentang kriteria lirik lagu yang diperbolehkan syarak. Karena musik merupakan seni yang melukiskan pemikiran dan perasaan manusia lewat keindahan suara. Ia adalah refleksi perasaan suatu individu atau masyarakat. Tanpa disertai lirik, makna atau pesan yang ingin ditransferkan pemusik kepada para pendengarnya akan sulit untuk dicapai. 

Lirik sendiri adalah rangkaian atau susunan kata yang indah, bermakna, dan memiliki aturan serta unsur-unsur bunyi. Lirik biasanya dijadikan media untuk mencurahkan perasaan, pikiran, pengalaman, pesan dan kesan terhadap suatu masalah, kejadian, dan kenyataan di sekitar.

Konsep hukum lirik sebenarnya sama dengan konsep hukum dari perkataan biasa (kalam). Karena lirik memang masih tergolong dari perkataan itu sendiri, sehingga hukum-hukumnya tak jauh beda dengannya. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi :

الشعر بمنزلة الكلام حسنه كحسن الكلام وقبيحه كقبيح الكلام

"Syair (lirik) itu laksana sebuah kalam (perkataan). Syair yang baik sama dengan kalam yang baik, syair yang jelek sama dengan kalam yang jelek."

Berdasarkan kaidah inilah, lirik lagu dalam kitab-kitab fiqih[4] diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu: 1) lirik yang diharamkan; 2) lirik yang dihalalkan. 

Adapun kriteria lirik-lirik yang diharamkan, yaitu:

  • Lirik yang mengandung kata-kata jorok atau kotor seperti mencaci maki seseorang;
  • Lirik lagu yang menggambarkan wanita tertentu yang masih hidup, karena hal itu dapat menggerakkan syahwat dan menimbulkan fitnah;
  • Lirik yang menunjukkan gambaran-gambaran khomr/arak yang dapat membuat seseorang menyukainya sehingga terdorong untuk mengonsumsinya atau mendatangi tempat-tempat mabuk. Ini juga berlaku untuk  benda-benda yang haram dikonsumsi seperti obat-obatan terlarang;
  • Lirik yang mengandung penghinaan terhadap kaum muslimin atau kafir dzimmi;
  • Lirik yang mengandung penistaan agama Islam;
  • Lirik yang mengandung pujian-pujian pada wanita-wanita yang fasik.

Sedangkan lirik lagu yang dihalalkan adalah selain dari lirik lagu yang dilarang syarak sesuai dengan ketentuan di atas. Misalnya seperti lirik yang memuat pesan moral (nasehat agama, pepatah-pepatah bijak, dll), gambaran keindahan alam, lagu-lagu yang menggambarkan kecantikan atau ketampanan seseorang yang tidak tertentu selama tidak menimbulkan fitnah.

Mungkin yang menjadi masalah adalah hukum mendengarkan musik tidak secara langsung seperti lewat kaset, CD, mp3, mp4, dsb., sebab musik dengan format-format tadi belum pernah ada pada zaman dahulu. 

Berkaitan dengan hal ini, ada keterangan menarik dalam kitab Ittihaf al-Hilaf (halaman 48), karangan Sayyid 'Abdur-Rahman. Di situ beliau menulis, hukum mendengarkan musik yang ada di kaset adalah boleh, karena musik yang ada di kaset bukan merupakan suara asli dan perkara yang menyerupai tidak sama dengan aslinya, sebagaimana pendapat Imam Ibnu Hajar yang memperbolehkan melihat seorang perempuan lewat kaca. Dengan dasar itu, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum mendengarkan suara musik yang terdapat pada CD, mp3, dll. adalah diperbolehkan karena disamakan dengan kaset melalui metode qiyas. Namun hukum jawaz (boleh) tersebut tetap harus memenuhi syarat yaitu selama tidak menimbulkan dampak yang diharamkan.

Jadi, dari semua keterangan di atas, terutama tentang kriteria lirik lagu yang diharamkan atau diperbolehkan, dapat kita ketahui bahwa hukum lirik-lirik lagu koplo dan aliran musik lainnya yang memuat pesan negatif seperti pornografi dan keseronokan adalah haram, baik bagi si pembuatnya, penyanyi maupun pendengarnya.


FENOMENA “LAGU KOPLO CABUL”

Imperialisme budaya Barat semakin merebak luas dan digandrungi masyarakat Indonesia, sehingga merasuk sampai ke unit-unit terkecil masyarakat dan memberikan dampak perubahan-perubahan paradigma (manhaj) berpikir serta perilaku masyarakat. Hal ini terindikasikan dari kuatnya arus hedonisme (paham yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama hidup) yang dijejalkan barat kepada masyarakat Indonesia melalui berbagai acara-acara hiburan. 

Ratusan menu hiburan telah disediakan oleh para pelaku bisnis dunia hiburan (showbiz) di televisi, radio dan media massa sehingga membuat banyak orang tergiur untuk menikmatinya. Sihir-sihir dunia showbiz begitu menawan dan menyapu akal sehat. Manusia terus dijejali cara berpikir pragmatis dan hedonis, untuk melahap apa saja, menikmati hidup, tanpa peduli apakah cara yang dilakukannya menghancurkan nilai-nilai akhlak dan agama. Kreativitas pebisnis industri hiburan pun juga semakin menjadi-jadi, sampai-sampai sisi spiritual manusia ikut dijadikan obyek bisnis mereka. Ini bisa kita lihat dari makin maraknya acara-acara religi, baik sinetron, kontes dai maupun ceramah-ceramah yang dikomersilkan.

Di antara bentuk hiburan yang menjadi fenomena menarik beberapa tahun ini adalah lagu dangdut koplo. Banyak sekali radio-radio maupun televisi yang memperdengarkan lagu-lagu koplo di channelnya. Begitu pula sangat sering sekali dijumpai konser-konser dangdut koplo di setiap even perayaan. Hal itu menunjukkan bahwa banyak dari masyarakat kita yang menggemari aliran musik tersebut. Mungkin maklum kalau ia disukai, karena dengan melodi-melodinya yang cukup easy listening (enak didengarkan) serta para biduanita yang menarik dan cenderung “seronok”, ditambah iringan tabuhan gendang khas koplo yang cepat, tentu akan membuat orang-orang menjadi gembira, semangat dan terdorong untuk berjoget. 

Namun demikian, banyak orang tidak sadar bahwa di antara lagu-lagu koplo itu banyak sekali yang tidak “halal” untuk didengarkan. Misalnya dari segi liriknya. Jika kita mengamati lirik-lirik lagu koplo, di situ sering dijumpai perkataan-perkataan “cabul” dan tak pantas didengarkan. Ironisnya sebagian santri juga ada yang menyukai lagu-lagu tersebut, bahkan sampai hapal liriknya. Husnuzhan penulis, mungkin mereka itu belum tahu hukumnya lagu cabul tersebut, atau mungkin lupa, bisa juga tidak sadar karena sudah terlanjur menyukai lagu-lagu tak sopan tersebut.

Entah apa motif dari pencipta lagu-lagu tersebut, seolah-olah mereka sudah kehabisan inspirasi sehingga tak ada pembahasan lain selain menceritakan hal-hal yang berbau porno. Bisa jadi para pencipta lagu-lagu cabul itu membuat lirik-liriknya dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Satu prinsip yang  dibuat oleh orang-orang berpaham liberal, yang meyakini ‘kebebasan’ sebagai ideologi dan agama mereka. Di era globalisasi, dimana proses liberalisasi berlangsung di berbagai bidang, kaum sekular-liberal dengan mudahnya akan berpikir, bahwa “kebebasan bereskpresi” adalah “standar moral yang mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat”.

Jadi, kata mereka, tidak boleh ada satu pihak pun yang boleh mengambil alih dan memonopoli kewenangan dalam melakukan penghukuman dan pencekalan, atas nama apapun. Baik itu alasan politik, moral, agama, dan adat.

Lalu berasal dari manakah logika “tidak beres” tersebut? Setelah ditelusuri, ternyata logika kaum liberal ini berasal dari prinsip “humanisme sekular”, yang menempatkan manusia sebagai Tuhan. Manusialah yang menentukan segala hal, dengan kebebasan individunya, asal tidak merugikan orang lain. Mereka tidak mau ada campur tangan agama dan negara dalam masalah moral. Mereka ingin mengatur diri mereka sendiri. Menurut mereka, Tuhan tidak berhak campur tangan dalam urusan kehidupan, karena manusia lebih hebat dari Tuhan. Meskipun agama jelas-jelas melarang, negara, ulama, atau kelompok apa pun, tidak boleh ikut-ikutan melarang.

Logika kaum liberal yang mendikotomikan antara wilayah privat dan wilayah publik itu sebenarnya logika primitif, yang di negara-negara Barat sendiri sudah kadaluwarsa. Sejak lama manusia sudah paham, bahwa kebebasan individu selalu akan berbenturan dengan kebebasan publik. Karena itulah, di negara-negara Barat yang memuja liberalisme, ada peraturan yang membatasi kebebasan manusia, yang memasuki dan mengatur wilayah privat, baik dalam soal tayangan TV, musik, pakaian, minuman keras, dan sebagainya. Contohnya  di Inggris, orang yang berdemonstrasi sambil bertelanjang bulat, akan ditangkap polisi. Karena di sana memang ada aturan tentang cara berpakaian di muka umum.

Di Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka tampak ‘kemaruk’ (serakah) dan memalukan. Semua bidang mau diliberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM, seorang aktivis Islam Liberal tanpa malu-malu menulis di jaringan internet, bahwa jika kita menjadi liberal, maka harus ‘kaffah’, mencakup segala hal, baik politik, ekonomi, maupun agama.

Kaum liberal di Indonesia belum mau belajar dari pengalaman negara-negara Barat, dimana liberalisme telah berujung kepada ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia kepada ketidakpastian dan kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan dan kebenaran abadi.

Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai  akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada  hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus.

Pada kasus lagu koplo cabul, persoalan intinya adalah soal lirik lagunya yang tak kalah berbahaya dengan penampilan seronok para penyanyinya. Pasalnya, lirik lagu adalah instrumen utama dari sebuah karya musik. Lirik lagulah yang merupakan pesan atau buah otak dari sang pembuat lagu serta penyanyinya yang hendak disampaikan kepada para pendengar lagu-lagu tersebut. Dalam hal ini lagu-lagu koplo cabul dengan jelas sekali menceritakan tentang seks, hal-hal tabu dan tak senonoh, seolah-olah mempromosikan masyarakat untuk mendekati zina, di mana al-Quran sudah menegaskan, agar jangan sekali-kali mendekati zina. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji dan tindakan yang buruk." (QS Al-Isra:32). Rasulullah SAW juga bersabda: "Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri".(HR Thabrani dan Al Hakim).

Jadi, dalam pandangan Islam, zina adalah perbuatan kriminal kelas berat, dan kejahatan yang sangat serius, sehingga segala hal yang menjurus ke arah zina, wajib ditutup. Sebab Islam melihat bahwa zina adalah sumber kehancuran masyarakat, sebagaimana dijelaskan oleh al-Quran dan hadis Rasulullah saw.

Untuk permasalahan kebebasan berekspresi yang diusung para pencipta lagu porno, ideologi tersebut -kalau kita amati- tidak logis, karena ada kode etik dalam setiap jenis aktivitas manusia. Tidak bisa atas nama kebebasan, orang berbuat semaunya sendiri. Sebab masalahnya adalah peradaban barat sebagai pencetus kebebasan berekspresi merupakan peradaban tanpa wahyu. Maka dari itu, standar moral dan etika yang mereka hasilkan tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi dari kesepakatan akal manusia. Oleh sebab itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan. Sedangkan di dalam Islam, nilai etika bersifat permanen dan tidak berubah. Semuanya batasannya diatur dengan jelas oleh wahyu, baik melalui ayat-ayat Al-Qur`an maupun hadits Rasulullah saw.

Konsep kebebasan yang diusung kaum liberalis ini sangat bertentangan dengan konsep ‘ikhtiyar’ yang ada dalam Islam. Yakni, bahwa manusia, sebagai hamba al-Khaliq, sudah seharusnya mengakui, bahwa tubuhnya, dirinya, dan semua yang dimilikinya adalah ciptaan dan amanah Allah. Sebagai amanah, maka semua itu harus diperlakukan sesuai dengan ajaran Allah SWT. Karena aturan Allah itu begitu jelas dan gamblang, maka tidak sulit untuk menjadikannya buat semua manusia, khususnya yang mengaku Muslim.

KESIMPULAN

Coba kita perhatikan berbagai kemelut di negeri kita pada saat ini. Sungguh dahsyat dan mencengangkan karena segala jenis kemaksiatan yang menyebabkan para utusan Tuhan diturunkan-Nya ke dunia seakan-akan sekaligus mewabah di zaman kita. Dan di tengah kemelut multidimensi ini berlangsung perubahan pola krisis, yaitu dari problems of man (problem manusia) menjadi man as problem (manusia sebagai problem)Artinya, krisis multidimensi yang terjadi saat ini sumbernya tidak lain adalah diri manusia sendiri. Dan di antara problematika manusia yang mencolok pada saat ini adalah dekadensi moral yang dapat diindikasikan dari semakin maraknya lagu-lagu cabul yang sudah kita ketahui keharamannya.

Entah faktor apa yang mendorong “mereka” membuat lagu cabul, apakah faktor iseng atau sebuah kampanye terselubung untuk merusak moral manusia. Yang pasti pesan dalam lagu tersebut sangat vulgar dan “memalukan”, berisi pesan yang buruk, terutama bagi anak yang merupakan obyek yang mungkin “sengaja” mereka sasar untuk merusak pemikiran generasi masa depan bangsa ini.

Pencekalan dan pelarangan KPID Jateng terhadap lagu-lagu cabul untuk diputar di radio-radio sangat layak untuk didukung oleh semua pihak, terutama kita sebagai kaum muslimin. Semua pelarangan itu bukanlah bentuk kesewenang-wenangan dan pemberangusan kebebasan berekspresi secara membabi buta, tetapi karena setiap kebebasan dalam berkreasi tetap harus memenuhi unsur kepatutan dan kesantunan. Jika kreativitas seni dijadikan sebagai standar nilai, maka akan terjadi kekacauan hidup. Apakah semua kreativitas seni adalah baik? Tentu jawabannya adalah tidak.

Kita bisa katakan, tidak ada yang menghalangi kebebasan berkarya dan berekspresi. Dengan catatan, selama karya itu tidak merusak moral dan agama. Sebab, kerusakan moral bangsa, adalah salah satu faktor menuju kehancuran masyarakat dan peradaban. Sah-sah saja setiap orang berkreasi  sesuai dengan keinginannya. Namun harus diingat bahwa setiap muslim atau yang masih mengaku muslim, seharusnya memiliki pandangan hidup (world view) Islam. Dan Islam memiliki aturan-aturan sendiri dalam setiap aktivitas manusia.Tak terkecuali dalam permasalahan kreativitas seni. Dan aturan-aturan Islam itu tidaklah sepatutnya diletakkan derajatnya di bawah unsur ‘kreativitas seni’ yang ditawarkan oleh dunia barat.

Sekarang, sudah saatnya para pembuat lagu-lagu cabul dan penyanyinya bertobat dan mengoreksi pikirannya.  Begitu pula sudah saatnya kita sebagai muslim untuk lebih selektif dalam memilih lagu-lagu yang akan kita dengarkan dan betapa bijaknya jika kita juga melakukan tindakan preventif terhadap keluarga dan orang-orang di sekitar kita guna mem-filter mereka terutama anak-anak yang merupakan calon pemimpin masa depan negeri ini dari bahaya program perusakan otak dan moral yang dikemas lewat lagu-lagu cabul ini. 

Para pembaca sekalian, sebenarnya masih banyak lagu yang tidak mendidik, baik itu yang bermuatan pornografi, penghasutan, huru-hara yang tidak jelas, atau menjadi syiarnya orang fasik, dll., sehingga memunculkan pertanyaan dalam hati penulis. Sudahkah anda menyeleksi lagu-lagu yang kalian dengarkan?


------------------
[1] Qurratul `Ain bi Fatawa Ismail al-Zain, hal: 58, Idhahud-Dalalat, hal: 139, Ittihafus-Sadat al-Muttaqin, VI/ hal: 501.
[2] Ittihafus-Sadat al-Muttaqin, VI/hal: 471.
[3] Ihya' Ulumiddin, II/hal: 312. Darul Fikr.
[4] Al-Madzahib al-Arba`ah, II/hal: 42-43.