Media Informasi Dan Dakwah Pondok Pesantren Al-Ihsan Gembong

FIKIH ZAWAJ; LIKA-LIKU NIKAH SIRI

FIKIH ZAWAJ; LIKA-LIKU NIKAH SIRI


Deskripsi masalah

Nikah siri masih menjadi fenomena di Indonesia. Fenomena ini tetap marak dan sulit dihilangkan dari negeri kita. Bahkan sekarang sudah ada jasa nikah siri online yang ditawarkan secara terang-terangan. Peristiwa tersebut merupakan suatu fenomena sosial terkait dengan hukum nasional.

Di kalangan masyarakat, peristiwa nikah siri merupakan hal yang biasa, karena nikah siri ‘dianggap’ tidak bertentangan dengan agama atau kepercayaan.  Mereka merasa banyak diuntungkan dengan adanya nikah siri salah satunya tidak perlu repot-repot untuk mendaftarkan perkawinannya ke instansi Negara. 

Masyarakat yang melakukan nikah siri beranggapan bahwa nikah hanya sekedar akad yang dilakukan calon suami dan istri yang adanya wali nikah, dua orang saksi, dan ijab kabul. Dengan hal itulah calon suami dan istri sudah dianggap terikat dalam kehidupan berkeluarga.

Pertanyaan:
Bagaimana hukum nikah siri (pernikahan tanpa dicatatkan di KUA)?

Jawaban:
Hukum pernikahan ketika sudah memenuhi syarat dan rukunnya adalah sah. Adapun hukum tidak mencatatkannya ke KUA adalah haram karena tidak menaati aturan pemerintah, hal ini menurut pendapat Imam Nawawi. Sementara menurut pendapat Imam Jalaluddin al-Bulqini tidak haram, karena tidak ada kewajiban agama kecuali hal-hal yang sudah diwajibkan oleh syarak.

Catatan: Dalam mazhab Syafi'i, ketika dijumpai beberapa pendapat ulama dalam satu masalah yang sama, maka ada aturan memilih pendapat yang lebih kuat dan / atau pendapat yang lebih maslahah. Adapun dalam kasus nikah siri, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang dipegang oleh Imam an-Nawawi.

Uraian Jawaban:
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah"  sebagai ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.  Al-Qur`an  menggunakan kata  ini  untuk  makna  tersebut,  di  samping  secara majazi diartikannya dengan ‘hubungan seks’.

Secara  bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dengan arti "berhimpun" [lihat: Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami `alal-Khathib, vol 10, hal 17, al-Maktabah Syamilah Ishdar Tsani]. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Secara umum al-Qur`an hanya  menggunakan dua  kata  ini  untuk menggambarkan terjalinnya  hubungan  suami istri secara sah. 

Pernikahan, atau tepatnya "keberpasangan" merupakan  ketetapan Ilahi   atas   segala   makhluk.  Hakikat  ini ditegaskan oleh al-Qur`an antara lain dalam firman-Nya:

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran Allah).” (QS Al-Dzariyat [51]: 49)

Mendambakan pasangan  merupakan fitrah  sebelum  dewasa,  dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama  mensyariatkan dijalinnya  pertemuan  antara  pria  dan wanita,   dan  kemudian  mengarahkan pertemuan  itu  sehingga terlaksananya "perkawinan", dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi   ketenteraman atau  sakinah sesuai istilah al-Qur`an surat Ar-Rum ayat 21:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” ( QS. Ar-Rum (30): 21)

Nikah merupakan bagian dari perjalanan hidup yang bakal terukir dalam sanubari serta merupakan sunnah Rasulullah SAW.  yang dapat menyempurnakan nilai Islam seseorang. Sebab ia menjadi satu-satunya jalan untuk menghalalkan segala bentuk hubungan yang diharamkan antara laki-laki dan perempuan. Dengan menikah, seseorang dapat terhindar dari perbuatan dosa, mata dapat terjaga dari perbuatan maksiat, nafsunya pun dapat tersalurkan secara benar dan menjadi tidak liar. Dalam sabdanya, Rasulullah SAW. sangat menganjurkan nikah dan mengancam orang-orang yang membenci pernikahan.

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاهَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ

 ”Wahai para pemuda, barang siapa  dari kalian yang mempunyai biaya maka nikahlah, karena nikah lebih memejamkan mata dan lebih menjaga diri dari zina. Dan barang siapa tidak mampu maka berpuasalah, sesungguhnya puasa adalah perisai baginya ( dari berbuat maksiat).” (HR. Bukhari)

Guna tujuan tersebut al-Qur`an antara lain menekankan  perlunya kesiapan  fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi  dianjurkan untuk  menahan  diri dan  memelihara  kesuciannya dengan berpuasa sesuai yang dianjurkan oleh nabi dalam hadisnya. 

Di  sisi  lain  perlu  juga  dicatat,  bahwa walaupun al-Qur`an menegaskan bahwa berpasangan atau  kawin  merupakan ketetapan Ilahi  bagi  makhluk-Nya,  dan walaupun Rasul menegaskan bahwa "nikah adalah sunahnya", tetapi pada saat yang sama al-Qur`an dan   Sunah   menetapkan ketentuan-ketentuan   yang   harus diindahkan demi legalitas pernikahan tersebut. Dan ketentuan direalisasikan dengan adanya beberapa syarat dan rukun nikah. Semua ketentuan ini ditetapkan guna mengantisipasi praktik-praktik perzinaan yang amat berbahaya serta melanggar nilai-nilai  kemanusiaan.

Pada zaman dahulu, kaum muslimin mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafaz dan saksi, tanpa memandang perlu adanya campur tangan pemerintah melalui pencatatan resmi. Karena dalam perspektif fikih, legalitas sebuah pernikahan tidak membutuhkan campur tangan mereka. Cukup dengan terpenuhi semua rukun dan syarat nikah yang ada, maka akad nikah tersebut sudah dihukumi sah secara syarak.

Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaan, di mana dimungkinkan para saksi untuk lupa, lalai, meninggal dunia dan sebagainya, maka pemerintah RI melalui departemen agama menetapkan bahwa akad nikah dapat dihukumi sah secara agama adalah akad nikah yang ditulis dalam catatan resmi  oleh pihak pemerintah yang bersangkutan (KUA).

Pemerintah melalui departemen agamanya menetapkan peraturan tersebut dengan adanya beberapa pertimbangan yang matang. Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak sekali, di antaranya:

1). Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut;

2). Menyelesaikan persengkatan antara suami istri atau para walinya ketika mereka bersengketa dan berselisih, karena bisa jadi salah satu di antara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari;

3). Catatan dan tulisan akan bertahan lama jangka waktunya, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih bisa digunakan setiap waktu. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum;

4). Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya;

5). Menutup pintu pengakuan-pengakuan dusta dalam pengadilan, di mana bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatannya hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.

Maka dari itu, pemerintah membuat undang-undang agar pernikahan warganya dicatat oleh pegawai yang telah ditunjuk pemerintah. Undang-undang ini merupakan politik syar’i yang ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat di baliknya yang sangat besar sekali yaitu untuk menjaga hak dan khawatir adanya pengingkaran.

Hal ini sesuai dengan salah satu dasar penetapan sebuah hukum syariat, yaitu agama Islam dibangun di atas maslahat dan menolak kerusakan. Jadi, apabila pemerintah memandang adanya undang-undang keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk mematuhinya dan tidak melanggarnya. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 59)

Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang mewajibkan kepada kita untuk taat kepada pemimpin selama perintah tersebut bukan suatu yang maksiat [lihat: ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Husain bin ‘Umar Ba `Alawy, Bughyatul-Mustarsyidin, hal 189]. Dalam sebuah kaidah fikih yang populer dikatakan:

تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

“Ketetapan pemerintah pada rakyat tergantung kepada maslahat.”

Selain itu, kewajiban taat pada peraturan pencatatan pernikahan juga ditinjau dari aspek adanya sanksi bila ketetapan itu dilanggar oleh seseorang. Hal ini jelas menimbulkan mudarat (bahaya) pada dirinya sendiri. Sementara itu  telah kita ketahui bahwa memberikan mudarat pada diri sendiri itu dilarang syarak, meskipun yang memberi mudarat (sanksi) tidak dibenarkan oleh agama.

Dari semua keterangan ini secara otomatis mengakibatkan segala bentuk pernikahan yang menyalahi aturan tersebut dengan tidak mencatatkannya dalam catatan resmi pemerintah akan dianggap sebagai pernikahan ilegal meskipun sudah dianggap sah secara agama.

Perkawinan yang tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non Islam) ini memiliki  beberapa sebutan lain. Seperti Perkawinan bawah tangan, 'kawin bawah tangan', ’kawin siri’ atau ’nikah siri’. Ia mendapat perhatian khusus dari para ulama kontemporer sehingga mereka memunculkan istilah khusus untuk menyebut pernikahan ini yaitu Zawaj ‘Urfi (nikah urfi). Yaitu suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak dicatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca: KUA). Disebut dengan nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi dan para sahabat yang mulia, di mana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahan dalam hati mereka. [Lihat: Arsyif Multaqa Ahlil-Hadist, vol I, hal 1798, al-Maktabah Syamilah Ishdar Tsani]

Dari definisi tersebut di atas, dapat kita pahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’i dengan pernikahan ‘urfi. Perbedaannya hanya terletak pada status resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’i disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti adanya wali dan saksi. Hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat sehingga mudah untuk digugat.

Tetap legalnya pernikahan `urfi ini didukung dengan beberapa argumen. Di antaranya:

Tujuan pencatatan akad nikah adalah menjaga hak suami istri, dan nasab anak apabila terjadi persengketaan. Tujuan ini sudah bisa terwujudkan dengan adanya saksi dan mengumumkan pernikahan;

Tidak ada dalil syar’i untuk mengatakan bahwa pencatatan akad nikah adalah syarat sahnya pernikahan;

Pencatatan akad nikah tidak dikenal pada zaman Nabi, sahabat dan ulama salaf, mereka hanya mencukupkan dengan saksi dan mengumumkan pernikahan.

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai pemerintah hukumnya adalah sah selagi semua persyaratan nikah telah terpenuhi. Namun hukumnya haram karena tidak menaati undang-undang pernikahan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Apalagi jika pencatatan itu adalah sebuah keharusan dari pemerintah yang harus ditaati. Bila ketetapan itu dilanggar, maka pemerintah akan memberi sanksi. Perbuatan itu jelas menimbulkan mudarat (bahaya) pada dirinya sendiri. Padahal memberikan mudarat pada diri sendiri itu tidak diperbolehkan dalam pandangan syarak. Meskipun yang memberi mudarat (sanksi) tidak dibenarkan oleh agama. 

Keharaman ini berlaku jika kita mengikuti pendapat ulama Mutaakhirin. Adapun menurut pendapat Imam Jalaluddin al-Bulqini, tidak menaati pemimpin (imam)  secara umum dan terkait dengan pelanggaran berupa tidak mencatatkan pernikahan dengan resmi secara khusus hukumnya tidak haram karena menurut beliau tidak ada kewajiban dalam agama kecuali hal-hal yang sudah diwajibkan oleh syarak. [Lihat: As-Suyuthi, Al-Asybah Wa al-Nadhair, hal 556]


Referensi:

أرشيف ملتقى أهل الحديث، ج 1، ص 1798
المطلب الثاني : الفرق بين الزواج العرفي والشرعي والرسمي ونكاح السر
أولاً: الفرق بين الزواج العرفي والزواج الشرعي: التعريفات السابقة تظهر بوضوح أن الزواج العرفي هو الزواج الشرعي بعينه، فلا فرق بين هذين النوعين من الزواج، وعلى ذلك ينطبق على الزواج العرفي التعريف الذي عرفنا به الزواج عند علمائنا، وقد صرحت التعريفات التي سبق ذكرها بهذه الحقيقة، وممن صرح بها فضيلة الشيخ حسنين مخلوف رحمه الله، فقد سُئل عن زواج توافرت فيه شروط العقد وأركانه، ونص السؤال:
"هل إذا عقد الزوجان زواجهما بإيجاب وقبول شرعيين وبحضور شاهدين مستوفيين للشرائط الشرعية بدون إثبات العقد في وثيقة رسمية لدى المأذون أو الموظف المختص يكون زواجاً شرعياً وتحل به المعاشرة بينهما، أو لابد من إثباته في الوثيقة الرسمية؟".
وقد أجاب الشيخ على هذا السؤال بقوله: "عقد الزواج إذا استوفى أركانه وشروطه الشرعية تَحِلُّ به المعاشرة بين الزوجين، وليس من شرائطه الشرعية إثباته كتابة في وثيقة رسمية ولا غير رسمية، وإنما التوثيق لدى المأذون أو الموظف المختص، نظام أوجبته اللوائح والقوانين الخاصة بالمحاكم الشرعية خشية الجحود وحفظاً للحقوق، وحذّرت من مخالفته لما لهُ من النتائج الخطيرة عند الجحود".
ويقول المحامي ممدوح عزمي في مقدمة الكتاب الذي دونه للتعريف بالزواج العرفي: "نتعرض في هذا الباب إلى بيان تعريف الزواج بصفة عامة وانطباق هذا التعريف على الزواج العرفي". ثم يقول: "والجدير بالذكر أن الزواج العرفي يجب ان تتوفر فيه ذات الشروط والأركان التي يجب توافرها في الزواج الرسمي الموثق". ويقول أيضاً: "إذا تأملنا في عقد الزواج وكونه عقداً رضائياً (مع وجود شاهدين) نجد أن هذا التعريف لم يفرق بين ما إذا كان الزواج عقداً مكتوباً أو غير مكتوب، موثقاً أو غير موثق، رسمياً أو عرفياً، لذلك فقد اتفق أهل الفقه على أنه لا فرق بين تعريف الزواج العرفي أو الزواج الرسمي الموثق... ونخلص مما سبق أن تعريف الزواج العرفي ينحصر في كونه عقداً عرفياً بمقتضاه يحل للعاقدين الاستمتاع ببعضهما على الوجه المشروع بمجرد ثبوت التراضي فيما بينهما شريطة وجود شاهدي عدل على هذا الزواج ليتحقق شرط الإشهاد في نظر عاقديه".

بغية المسترشدين، ص 189
(مسألة : ك) : يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر ، فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه ، وإن كان المأمور به مباحاً أو مكروهاً أو حراماً لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله (م ر) وتردد فيه في التحفة ، ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط ، وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهراً وباطناً وإلا فظاهراً فقط أيضاً ، والعبرة في المندوب والمباح بعقيدة المأمور ، ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال ، ومعنى باطناً أنه يأثم اهـ. قلت : وقال ش ق : والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام أو مكروه ، فالواجب يتأكد ، والمندوب يجب ، وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي الهيئات ، وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادي بعدم شرب الناس له في الأسواق والقهاوي ، فخالفوه وشربوا فهم العصاة ، ويحرم شربه الآن امتثالاً لأمره ، ولو أمر الإمام بشيء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اهـ.

مقالات الكوثري، ص 106
وأما ما وقع في كلام بعض المتأخرين من من أصحاب الطبقات النازلة في الفقه من أن ولي الأمر إذا أمر بمباح وجب امتثاله, وكذا إذا نهى عن مباح كما الدر والأنقروية نفى غير موارد النصوص, وأما ما ورد فيه نص فلا معدل فيه عن النص, إذ لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق, فيكون جعل ذلك الرأي قاعدة شاملة للنصوص وغيره مما لم يفي به عالم قبل اليوم.

الأشباه والنظائر للسيوطى، ص 556
تَنْبِيهٌ : مِنْ الْمُشْكِلَاتِ : مَا وَقَعَ فِي فَتَاوَى النَّوَوِيِّ : أَنَّهُ لَوْ أَمَرَ الْإِمَامُ النَّاسَ بِصَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَجَبَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ بِأَمْرِهِ حَتَّى يَجِبُ تَبْيِيتُ النِّيَّةِ قَالَ الْقَاضِي جَلَالُ الدِّينِ الْبُلْقِينِيُّ فِي حَاشِيَةِ الرَّوْضَةِ : وَهَذَا كَلَامٌ لَمْ يَقُلْهُ أَحَدٌ مِنْ الْأَصْحَابِ بَلْ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ هَذِهِ الْأَيَّامَ يُسْتَحَبُّ الصَّوْمُ فِيهَا لَا خِلَافَ فِي ذَلِكَ كَيْفَ يُمْكِنُ أَنْ يَجِبَ شَيْءٌ بِغَيْرِ إيجَابِ اللَّهِ أَوْ مَا أَوْجَبَهُ الْمُكَلَّفُ عَلَى نَفْسِهِ تَقَرُّبًا إلَى اللَّهِ تَعَالَى وَقَدْ { قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْأَعْرَابِيِّ الَّذِي سَأَلَ عَنْ الْفَرَائِضِ قَالَ : هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا ؟ قَالَ لَا } فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ شَيْءٌ إلَّا بِإِيجَابِ اللَّهِ تَعَالَى كِتَابَةً أَوْ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ وَقَدْ { أَمَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ } وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ بِوُجُوبِهِ مَعَ أَنَّ أَمْرَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَعْظَمُ مِنْ أَمْرِ الْأَئِمَّةِ ثُمَّ إنَّ نَصَّ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ دَالٌّ عَلَى ذَلِكَ أَيْضًا .فَإِنَّهُ قَالَ فِي الْأُمِّ : وَبَلَغَنَا عَنْ بَعْضِ الْأَئِمَّةِ أَنَّهُ كَانَ إذَا أَرَادَ أَنْ يَسْتَسْقِيَ أَمَرَ النَّاسَ فَصَامُوا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَةٍ وَتَقَرَّبُوا إلَى اللَّهِ تَعَالَى بِمَا اسْتَطَاعُوا مِنْ خَيْرٍ ثُمَّ خَرَجُوا فِي الْيَوْمِ الرَّابِعِ فَاسْتَسْقَى بِهِمْ وَأَنَا أُحِبُّ ذَلِكَ لَهُمْ وَآمُرُهُمْ أَنْ يَخْرُجُوا فِي الْيَوْمِ الرَّابِعِ صِيَامًا مِنْ غَيْرِ أَنْ أُوجِبَ عَلَيْهِمْ وَلَا عَلَى إمَامِهِمْ انْتَهَى.

مقالات الكوثري، ص 107
ويفول الشيخ عبد الغني النابلسي الحنفي في شرحه على الطريقة المحمدية عند كلامه في التتن والقهوة : وأمر السلطان ونهيه إنما يعتبران إذا كانا على طبق أمر الله تعالى ونهيه لا على مقتضى نفسه وطبعه. بل لو فرضنا أن أمر النبي صلى الله عليه وسلم ونهيه كان من تلفاء نفسه لا من أمر الله ونهيه – وحاشاه صلى الله عليه وسلم من ذلك – لما وجب علينا امتثال ذلك فكيف يجب علينا امتثال أمر السلطان أو نهيه الصادر من مجرد رأيه وعقله ما لم يكن موافقا لحكم الله تعالى إلا إذا ظلم السلطان وجار وشدد على الناس وضيق عليهم فى النهي عن هذين المباحين, وخاف الناس على أنفسهم من شره خصوصا إذا كان يستحل دماء المسلمين ويوجب تعزيرهم في رأيه بسبب فلا يجوز أن يلقى أحد بنفسه إلى التهلكة, فيكف المؤمن عن استعمال ذلك بهذا السبب لا معتقدا الحرمة أو الكراهة بل حاقنا دمه وعرضه. إلى آخر ما فى الحديقة الندبة لعبد الغني النابلسي (ج 1 ص 143). والحاصل أن ما أباحه الله سبحانه ليس إلى احد تحريمه كما سبق.