Negara kita, Indonesia, termasuk negeri yang ramah dan ramai dengan berbagai pengobatan alternatif. Hampir di setiap daerah bisa kita temukan tabib, dukun pijat, praktisi pengobatan alternatif yang melabeli diri dengan 'ustadz', dan lain sebagainya.
Klinik-klinik pengobatan ini bertebaran di mana-mana dengan mengusung metode pengobatan yang normal, logis, sampai yang ‘aneh-aneh’. Latar belakang mereka juga bermacam-macam. Ada yang benar-benar ahli dan profesional. Ada pula yang ‘gadungan’, bukan ahlinya, namun tetap membuka praktik demi meraup keuntungan materi.
Klinik-klinik pengobatan ini bertebaran di mana-mana dengan mengusung metode pengobatan yang normal, logis, sampai yang ‘aneh-aneh’. Latar belakang mereka juga bermacam-macam. Ada yang benar-benar ahli dan profesional. Ada pula yang ‘gadungan’, bukan ahlinya, namun tetap membuka praktik demi meraup keuntungan materi.
Pengobatan alternatif memang bukan sesuatu aneh bagi masyarakat Indonesia. Bahkan pengobatan ini justru dekat dengan masyarakat, misalkan dari faktor budaya dan dilakukan sejak dahulu.
Masyarakat yang berbondong-bondong pergi ke pengobatan alternatif tak lepas dari penjelasan medis dokter yang belum dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini karena dipengaruhi latar belakang pendidikan mereka. Bisa juga dipengaruhi oleh faktor keputusasaan pada pengobatan medis, sehingga terdorong untuk mencari solusi lain lewat pengobatan alternatif.
Pertanyaan:
Bagaimana hukum menangani pasien oleh seorang yang bukan ahlinya dalam konteks pengobatan alternatif?
Jawaban:
Tidak boleh.
Uraian Jawaban:
Salah satu bidang pekerjaan yang sangat dibutuhkan masyarakat ialah pengobatan. mengingat masalah pemeliharaan kesehatan adalah hajat umat setiap saat. Ajaran Islam sendiri juga mementingkan kesehatan, karena jasmani dan rohani yang sehat dan kuat merupakan faktor utama untuk melaksanakan amal saleh yang produktif.
Orang yang sakit diisyaratkan berobat, karena pada prinsipnya setiap penyakit ada obatnya, kecuali penyakit yang mengantarkan seseorang kepada ajalnya. Abu hurairah RA. memberitakan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda:
ما أنزل الله داء إلا أنزل له شفاء ( رواه البخاري)
“Tidaklah Allah menurunkan penyakit, melainkan ia menurunkan pula obatnya.” (HR. Bukhari).
Dari ungkapan Rasulullah SAW. di atas dapat diketahui bahwa pada upaya penyembuhan penyakit terdapat aturan Allah (sunatullah), yang kalau cocok dan tepat penggunaannya, maka sembuh penyakit itu.
Memang sejak dari zaman dahulu kala, manusia terus menerus menyelidiki khasiat-khasiat sesuatu zat yang dipandang sebagai obat, yang bersumber dari pelbagai macam bahan, antara lain dari tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral dan sebagainya. Penemuan itu sudah cukup banyak dan berhasil menolong sekian banyak penderita.
Pengobatan, dalam skala khususnya yaitu kedokteran, merupakan salah satu lapangan profesi yang tidak boleh diabaikan umat Islam. Namun karena bidang ini memerlukan keahlian, maka sudah tentu perlu pendidikan dan latihan untuk mencetak tenaga-tenaga medis yang mempunyai kemampuan menunjang dalam lapangan kesehatan dan pengobatan. Sebab urgensi ketrampilan, keahlian atau kepandaian (skill) yang berpangkal kepada pendayagunaan akal pikiran merupakan salah satu faktor yang mutlak diperlukan dalam bidang tersebut agar berbagai macam jenis penyakit yang ditangani mendapatkan pengobatan yang tepat.
Syekh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz al-Malibari dalam karya masyhurnya “Fathul-Mu`in”, telah menentukan batasan skill yang wajib dimiliki oleh seorang tenaga medis, yaitu seorang tenaga medis haruslah orang yang mahir (ahli) dalam bidang pengobatan. Beliau menerangkan bahwa maksud mahir dalam hal ini adalah seorang tenaga medis yang tingkat kesalahannya dalam praktik pengobatan terhadap orang sakit itu nadir (minim/jarang terjadi). [Lihat: Syekh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz al-Malibari, Fathul-Mu`in, Juz : 3, Hal : 122]
Kriteria ini memberikan konsekuensi bahwa seorang tenaga medis harus orang yang telah berpengalaman dalam mengobati orang sakit, sekaligus mayoritas praktik pengobatan yang pernah dilakukannya memperoleh keberhasilan.
Jadi, seorang tenaga medis harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya. Ia pun harus mampu memperlihatkan jenis penyakit, sebab musabab timbulnya penyakit, kekuatan tubuh orang sakit, dan obat yang cocok dengan musim itu, iklim di mana ia sakit, daya penyembuhan obat itu.
Di samping itu, ia harus memperhatikan mengenai tujuan pengobatan, obat yang dapat melawan penyakit itu, cara yang mudah dalam mengobati penyakit, dan harus mampu membuat campuran obat yang sempurna serta mempunyai pengalaman mengenai kejiwaan pasien. Ia juga harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya karena tindakan tersebut dapat menimbulkan bahaya bagi pasien yang diobatinya.
Demikian pula, ia harus mempunyai kepribadian yang kuat, sehingga dapat melakukan pekerjaannya di dalam keadaan yang serba sulit dan tentunya tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama, harus berbudi luhur, dapat dipercaya oleh pasien, dan memupuk keyakinan profesional.
Semua kriteria tersebut sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkan dalam dunia kedokteran, yakni prinsip beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).
Semua kriteria tersebut sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkan dalam dunia kedokteran, yakni prinsip beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).
Persyaratan yang berat di atas seimbang dengan timbal balik yang akan diterima olehnya, yaitu ia berhak mendapatkan ujrah (kompensasi) atas praktik pengobatan yang dilakukannya meskipun pasien yang diobati tidak mendapatkan kesembuhan. Karena ia telah mengobati pasiennya sesuai dengan standar kompetensinya sebagai seorang tenaga medis. Sementara untuk permasalahan sembuh atau tidak sembuhnya seorang pasien yang diobati itu semua merupakan otoritas mutlak Allah Sang Pencipta penyakit dan obatnya.
Jika dengan skill, suatu usaha pengobatan terhadap orang sakit dapat dilakukan dengan baik dan berkualitas. Sebaliknya, jika seseorang berani mengobati orang lain tanpa adanya skill dalam bidang pengobatan, maka tindakan itu akan menimbulkan kerugian dan malapetaka, terutama bagi pasien yang diobati. Sebab inilah Islam melarang orang yang kemampuannya dalam bidang pengobatan itu minim atau tidak mempunyai keahlian sama sekali untuk melakukan praktik pengobatan kepada orang lain. Alasannya, pengobatan yang dilakukan oleh orang yang tidak kompeten di bidang tersebut berpeluang besar terjadi malpraktik (salah penanganan) terhadap penyakit pasien sehingga berisiko tinggi membuat penyakit yang diderita semakin bertambah parah, bahkan dapat berujung pada kematian. Padahal Islam mewajibkan umatnya untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang dapat membahayakan orang lain, sebagaimana dalam kaidah fikih disebutkan:
الضرر يزال
“Marabahaya itu (harus) dihilangkan.”
Selanjutnya, apabila ia tetap berani melakukan praktik pengobatan kepada orang lain, kemudian melakukan kesalahan (malpraktik) dalam pengobatannya, maka ia berdosa. Di samping itu, ia juga wajib menanggung risiko berupa membayar ganti rugi (dhaman) terhadap kerugian yang ditimbulkannya, sekaligus semua kompensasi yang telah diterimanya dari pasien tersebut wajib dikembalikan.
Referensi:
حاشيتا قليوبي وعميرة 3 / 78
تنبيه : شرط الطبيب أن يكون ماهرا , بمعنى أن يكون خطؤه نادرا , وإن لم يكن ماهرا في العلم فيما يظهر فتكفي التجربة , وإن لم يكن كذلك لم يصح العقد ويضمن ويرجع عليه بما أخذه من أجرة وغيرها , ويستحق الأجرة حيث صحت إجارته ويملك ما يأخذه من نحو ثمن الأدوية , وإن لم يحصل الشفاء فلو شرط في العقد الشفاء والعود عليه بما أخذه فسد العقد لأن الشفاء بمحض صنع الله تعالى إلا إن وقع العقد جعالة , ويعتبر كل زمان ومحل بعرفه وإن خالف هنا بما نصوا عليه
فتح المعين هامش اعانة الطالبين 3 / 122
فائدة قال شيخنا إن الطبيب الماهر أي بأن كان خطوه نادرا لو شرطت له أجرة وأعطي ثمن الأدوية فعالجه بها فلم يبرأ استحق المسمى إن صحت الإجارة وإلا فأجرة المثل وليس للعليل الرجوع عليه بشيء لأن المستأجر عليه المعالجة لا الشفاء بل إن شرط بطلت الإجارة لأنه بيد الله تعالى لا غير أما غير الماهر فلا يستحق أجرة ويرجع عليه بثمن الأدوية لتقصيره بمباشرته بما ليس له بأهل
الفتاوي الحديثية 27
وسئل رضي الله عنه : في رجل ليست له معرفة تامة بالطب ويجيء إليه أصحاب العلل فينظر في كتب الطب فما وجده موافقاً طباً لطبعه داوى به ولم يدر تشخيص العلة لصاحب العلة بل قال له : افعل فمنهم من يبرأ ومنهم من لا ، فما الحكم في ذلك وما حكم المأخوذ منهم بالرضا ؟ فأجاب نفع الله بعلومه وبركته : من يطالع كتب الطب ويذكر للناس ما فيها من غير أن يتشخص العلة فقد جازف وتجرأ على إفساد أبدان الناس وإلحاق الضرر بهم ، لأن من لا يتشخص العلة ولا يتيقن كليات علم الطلب لا يجوز له أن يفتي بشيء من جزئياته لأن الجزئيات لا يضبطها إلا الكليات ، ومِنْ ثم قال بعض حذاق الأطباء : كتبنا قاتلة للفقهاء أي إنهم يرون فيها أن الشيء الفلاني دواء للعلة الفلانية فيستعملونه لتلك العلة غافلين عن أن في البدن علة خفية تضاد ذلك الدواء فيكون القتل حينئذٍ من حيث ظنوه نافعاً ، وحينئذٍ فلا يصلح ذلك الدواء إلا لمن علم أنه ليس في البدن مضاد له ، ولا يحيط بذلك إلا الطبيب الماهر الذي أخذ العلم عن الصدور لا عن السطور ، ولا خصوصية لعلم الطب بذلك بل كل من أخذ العلم عن السطور كان ضالاً مضلاً ولذا قال النووي رحمه الله : من رأى المسألة في عشرة كتب مثلاً لا يجوز له الإفتاء بها لاحتمال أن تلك الكتب كلها ماشية على قول أو طريق ضعيف ، ثم هذا الطبيب إذا داوى ظناً منه أنه ينفع فكان مضراً فلا شيء عليه غير الإثم الشديد والعذاب العظيم في دار الوعيد فليتق الله ويرجع عن ذلك وإلا فهو من أهل المهالك ، وأما ما يأخذه منهم فهو محرم عليه أكله لأنهم لم يسمحوا له به إلا ظناً منهم أنه يعرف ما يصفه من الأدوية وغيرها ، ولو علموا أنه معاقب آثم بما يفعله لم يعطه أحد شيئاً فهو آخذ له بالغش والبهتان والجور والعدوان ، والله أعلم
الفتاوي الحديثية لإبن الحجر الهيتمي 19 دار الفكر
وسئل رضي الله عنه : في رجل ليست له معرفة تامة بالطب ويجيء إليه أصحاب العلل فينظر في كتب الطب فما وجده موافقاً طباً لطبعه داوى به ولم يدر تشخيص العلة لصاحب العلة بل قال له : افعل فمنهم من يبرأ ومنهم من لا ، فما الحكم في ذلك وما حكم المأخوذ منهم بالرضا ؟ فأجاب نفع الله بعلومه وبركته : من يطالع كتب الطب ويذكر للناس ما فيها من غير أن يتشخص العلة فقد جازف وتجرأ على إفساد أبدان الناس وإلحاق الضرر بهم ، لأن من لا يتشخص العلة ولا يتيقن كليات علم الطلب لا يجوز له أن يفتي بشيء من جزئياته لأن الجزئيات لا يضبطها إلا الكليات ، ومِنْ ثم قال بعض حذاق الأطباء : كتبنا قاتلة للفقهاء أي إنهم يرون فيها أن الشيء الفلاني دواء للعلة الفلانية فيستعملونه لتلك العلة غافلين عن أن في البدن علة خفية تضاد ذلك الدواء فيكون القتل حينئذٍ من حيث ظنوه نافعاً ، وحينئذٍ فلا يصلح ذلك الدواء إلا لمن علم أنه ليس في البدن مضاد له ، ولا يحيط بذلك إلا الطبيب الماهر الذي أخذ العلم عن الصدور لا عن السطور ، ولا خصوصية لعلم الطب بذلك بل كل من أخذ العلم عن السطور كان ضالاً مضلاً ولذا قال النووي رحمه الله : من رأى المسألة في عشرة كتب مثلاً لا يجوز له الإفتاء بها لاحتمال أن تلك الكتب كلها ماشية على قول أو طريق ضعيف ، ثم هذا الطبيب إذا داوى ظناً منه أنه ينفع فكان مضراً فلا شيء عليه غير الإثم الشديد والعذاب العظيم في دار الوعيد فليتق الله ويرجع عن ذلك وإلا فهو من أهل المهالك ، وأما ما يأخذه منهم فهو محرم عليه أكله لأنهم لم يسمحوا له به إلا ظناً منهم أنه يعرف ما يصفه من الأدوية وغيرها ، ولو علموا أنه معاقب آثم بما يفعله لم يعطه أحد شيئاً فهو آخذ له بالغش والبهتان والجور والعدوان ، والله أعلم
إعانة الطالبين 3 / 145
(قوله: أما غير الماهر) هذا مفهوم قوله الماهر، (وقوله: فلا يستحق أجرة) في سم ما نصه، هل استئجاره صحيح أو لا ؟ إن كان الاول: فقد يشكل الحكم الذي ذكره، وإن كان الثاني، فقد يقيد الرجوع بثمن الادوية بالجهل بحاله. م ر . فليحرر.اهـ.قال ع ش: والظاهر الثاني، ولا شئ له في مقابلة عمله، لانه لا يقابل بأجرة، لعدم الانتفاع به، بل الغالب على عمل مثله الضرر.اهـ (قوله: لتقصيره الخ) أي لتقصير غير الماهر بسبب مباشرته للامر الذي هو لبس بأهل له
حواشي الشرواني 9 /197
السؤال: أنا سيدة حامل وأُعالَج عند طبيب مشهور أستريح له في علاجي، إلا أنه غير متدين، فهل هذا حلال أم حرام؟ مع العلم أني حاولت أن أعالج نفسي لدى طبيبة ولكني لم أسترح لعلاجها الجواب: ما دُمتِ محتاطةً لدينك ـ وإن لم يكن قد جعل اللهُ شفاءك عند الطبيبة التي تذكُرينها ـ فلا مانع أن تسألي عن طبيب مسلم معروفٍ عنه خشيتُه لله، فإذا لم يكن بعد استفراغك للجهد قَدْرَ الطاقة فلا مانع من أن تستمرّي لدى طبيبك المعالج إن لم يكن بالبلدة طبيب حاذق غيره، وأنتِ أدرى بدِينِه منّا، وعليكِ أن تحفظي نفسَكِ ودينَكِ. والله أعلم (أخرج البخاريّ 2882 عن الرُّبَيِّع بنت معوِّذ رضي الله تعالى عنها قالت: كنا نغزو مع رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ نَسقي ونداوي الجرحى ونردّ القتلى إلى المدينة. وأخرج مسلم في صحيحه1810/ 135 عن أنس بن مالك رضي الله تعالى عنه قال: كان رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ يغزو بأم سُليم ونسوةٍ من الأنصار معه إذا غزا، فيَسقينَ الماءَ ويُداوينَ الجرحى قال الحافظ في الفتح 6/174: فيه جوازُ معالجة المرأة الأجنبيةِ الرجلَ الأجنبيَّ للضرورة. قال ابن بطّال: ويَختصّ ذلك بذوات المحارم ثم بالمُتَجَالّات منهنَّ؛ لأن موضع الجرح لا يُلتذّ بلمسه بل يَقشعرّ منه الجلد، فإن دعت الضرورة لغير المُتَجَالّات فليكن بغير مباشرة ولا مَسٍّ، ويدلُّك على ذلك اتفاقُهم على أن المرأة إذا ماتت ولم توجد امرأة تغسّلها أن الرجل لا يباشر غُسلَها بالمَسّ بل يغسِّلها من وراء حائل في قول بعضهم كالزهريّ، وفي قول الأكثر تُيَمَّم، وقال الأوزاعيّ: تُدفن كما هي. قال ابن المنيِّر: الفرق بين حال المداواة وغُسل الميت أن الغُسل عبادة، والمداواة ضرورة، والضرورات تبيح المحظورات اهـ.
قال ابن منذر وأجمعوا على أن الطبيب إذا لم يتعدلم يضمنه اهـ مغني, أى إذا كان من أهل الحذق اهـ سلطان عبارة النهاية - إلى أن قال – ويعلم كونه عارفا با لطب بشهادة عدلين عالمين بالطب بمعرفته وينبغي افكتفاء باشتهاره بالمعرمة بذلك لكثرة الشفاء بمعالجته وقوله كذا لي تجب الدية على عاقلته إهـ ويجب بحمل كلامه الخ والحاصل على هذا انه إن عين له المريض الدواء فلا ضمان مطلقا وإلا فإن كان حاذقا فلا ضمان أو غير حاذق فعليه الضمان إهـ. س م .
التشريع الجنائي 1 / 532
إذن ولى الأمر : وليس فى الشريعة ما يمنع ولي الأمر ان يشترط فى الطبيب أن يكون على درجة معينة من العلم وأن تتوفر فيه مؤهلات خاصة وأن لايباشر التطبيب إلا إذا رخص ولي الأمر بمباشرته وقد مالك إذن الحاكم فى التطبيب فى إنفاء المسؤلية عن الطبيب كما مر إذن المريض . ويشترط لرفع المسؤلية عن الطبيب أن يأتي الفعل بإذن لمريض أو بإذن وليه أو وصيه فإن لم يكن للمريض وإذن الحاكم فى إجراء جراحة لمريض لا ولي له يختلف عن إذن الحاكم للطبييب بإذن عامة إذا أ خطأ فى عمله لا يسأل عن خطئه إلا إذا كان فاحشا.