Bagi para ibu, mungkin mereka masih ingat betapa gugupnya dulu saat hendak melahirkan anak kecil. Memang benar, momen persalinan merupakan pengalaman yang mendebarkan sekaligus genting. Tak heran jika sebagian wanita mempersiapkan proses persalinannya jauh-jauh hari, termasuk dalam memilih dokter kandungan. Semua dilakukan untuk meminimalisasi risiko yang mungkin terjadi saat melahirkan.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa profesi dokter spesialis kandungan adalah profesi yang bisa diampu oleh wanita maupun pria. Hal ini menjadi problem tersendiri bagi wanita muslimah ketika pada suatu saat terpaksa memeriksakan kandungannya kepada dokter pria. Ini menjadi ganjalan bagi kaum hawa. Apalagi jika menyangkut hal-hal yang sangat pribadi, seperti partus (persalinan), atau keluhan lain yang memaksa wanita membuka auratnya.
Pertanyaan:
Adakah toleransi fikih terhadap tenaga medis bukan mahram yang menangani pasien lawan jenis dalam proses persalinan maupun pemeriksaan kesehatan lainnya?
Jawaban:
Ada, apabila memenuhi syarat-syaratnya, di antaranya:
1) tidak ada dokter sejenis yang ahli;
2) persalinan dilakukan di depan mahram/suami/ orang tsiqqah (dapat dipercaya menurut syariat);
3) tidak melihat anggota yang tidak dibutuhkan;
4) aman dari fitnah.
Uraian Jawaban:
Allah ta’ala telah mengutus Nabi-Nya sebagai penyeru dan penyempurna akhlak yang mulia. Dan tidak diragukan lagi bahwa di antara akhlak yang mulia adalah adanya rasa malu, yang mana Rasulullah SAW. menggolongkannya sebagai cabang keimanan.
Secara umum kehidupan seorang muslim dan muslimah yang berpegang teguh kepada agamanya adalah kehidupan yang dibangun di atas dasar ibadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, menjaga kemuliaan dan menjaga rasa malu.
Namun sangat disayangkan, bahwa prinsip kehidupan tersebut banyak dilupakan atau tidak disadari oleh banyak muslimin saat ini. Corak pergaulan banyak orang saat ini adalah bentuk dari gaya jahiliah. Interaksi antara laki-laki dan perempuan seolah-olah tanpa adanya batas, tidak membedakan antara yang masih memiliki hubungan mahram atau tidak. Rasa malu pun kian hari semakin terkikis dalam sanubari umat. Realitas tersebut mengakibatkan timbulnya berbagai macam kerusakan, dan tersebarnya berbagai bentuk kekejian dan kemungkaran, seperti pacaran, seks bebas, khalwat (seorang laki-laki berada bersama perempuan yang bukan mahramnya dan tidak ada orang ketiga bersamanya) dll. Semuanya itu jelas telah dilarang oleh syarak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.:
لا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ. (أخرجه البخاري)
“Janganlah seorang laki-laki ber-khalwat dengan perempuan kecuali bersama mahramnya." (HR. Bukhari) [Lihat: Ibnu Hajar al-`Asqalani, Bulughul-Maram, juz : I, hal : 441.]
Hadis di atas menunjukkan pengharaman khalwat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak semahram sebagaimana keterangan dalam kitab Dalilul-Falihin [Lihat: Syekh Muhammad ‘Ali Bin Muhammad al-Bakriy ash-Shadiqi, Dalilul-Falihin, Juz : 6, Hal : 309.]
Dalam Hadis Jabir yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW. juga bersabda:
أَلَا لَا يَبِيْتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَم (رواه المسلم).
“Janganlah seorang laki-laki bermalam di tempat seorang janda kecuali ia telah menjadi suaminya atau sebagai mahramnya.” (HR. Muslim) [Lihat: Muslim Bin al-Hajjaj Abul-Hasan al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz : 11, Hal : 145.]
Lalu berkaitan dengan ikhtilath (percampuran antara banyak lelaki dan perempuan) Rasulullah SAW. bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا.
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang. Dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan sejelek-jeleknya adalah yang paling awal.”
Di dalam kitab Tuhfatul-Ahwadzi dijelaskan, shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang dan shaf laki-laki yang paling baik adalah yang paling awalnya. Hal ini agar keadaan shaf perempuan dan shaf laki-laki saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath, saling memandang satu dengan yang lainnya atau hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syariat. [Lihat: Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul-Ahwadzi, Juz : 2, Hal : 14]
Berdasarkan penjelasan hadis-hadis Nabi SAW. serta penjelasan para ulama di atas, maka jelaslah bahwa khalwat dan ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, baik di instansi negeri maupun swasta, dalam rangka bekerja atau tujuan lain, seperti acara perkumpulan, dll. itu tidak diperbolehkan syarak. Karena khalwat dan ikhtilath merupakan jalan dan sarana yang mengantar kepada segala bentuk perzinaan yakni zina menyentuh, melihat dan mendengar. Dan zina yang paling keji adalah zina kemaluan yang mana Allah ta’ala mengancam pelakunya dengan siksa yang pedih, kecuali jika khalwat atau ikhtilath itu terjadi antara laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan mahram. Maka dalam hal ini syarak membolehkan keduanya.
Mahram sendiri sesuai dengan penjelasan as-Suyuthi adalah wanita yang diharamkan untuk dinikahi untuk selama-lamanya, baik karena nasab maupun dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan dan dikarenakan kemahraman wanita tersebut. Berdasarkan definisi ini dapat diketahui bahwa :
1. Anak-anak paman dan anak-anak bibi (baik paman dan bibi tersebut saudara sekandung ayah maupun saudara sekandung ibu), bukan termasuk mahram karena mereka tidak diharamkan untuk dinikahi;
2. Keharaman untuk menikahi saudara wanita istri dan juga bibi (tante) istri (baik tante tersebut saudara kandung ibu si istri maupun saudara kandung ayah si istri), bukan untuk selamanya, karena keduanya bisa dinikahi jika sang istri dicerai, demikian juga bukanlah termasuk mahram wanita yang telah ditalak tiga, karena ia bisa dinikahi lagi jika telah dinikahi oleh orang lain kemudian dicerai;
3. Ibu seorang wanita yang telah disenggamai (di-jima`) dengan persenggamaan yang syubhat (tidak dengan pernikahan yang sah) dan juga anak wanita dari ibu tersebut termasuk orang yang tidak boleh untuk dinikahi, namun ia bukanlah mahram karena jima’ syubhat tidak dikatakan boleh untuk dilakukan;
4. Wanita yang dipisah dari suaminya karena mula’anah, memang diharamkan untuk dinikahi kembali oleh suaminya yang telah melaknatnya selama-lamanya, namun bukan karena kemahroman wanita tersebut, melainkan karena pemberatan dan penegasan hukum terhadap sang suami. [Lihat: ‘Abdurrahman Bin Abu Bakar as-Suyuthi, Al-Asybah Wan-Nazhair, Juz : 1, Hal 261.]
Dan jika telah jelas bahwa sang wanita adalah mahramnya, maka tidak boleh bagi orang itu untuk menikahinya, boleh baginya untuk memandangnya dan berkhalwat dengannya serta bepergian menemaninya. Hukum ini bersifat mutlak, mencakup mahram yang disebabkan karena nasab atau karena persusuan (radha’) atau dikarenakan pernikahan. Sementara itu, apabila sudah jelas antara lelaki dan perempuan tidak ada ikatan mahram, maka haram bagi keduanya untuk berkhalwat atau melakukan perbuatan-perbuatan haram lain yang merupakan akibat dari tidak adanya hubungan mahram, termasuk di antaranya adalah melihat aurat, dll.
Meski demikian, terkadang Islam memberikan toleransi kepada umatnya pada sebagian kondisi, dengan memberikan rukhsah (dispensasi hukum) kepada mereka untuk melakukan perkara yang asalnya haram demi memenuhi hajat (kepentingan) yang tidak terelakkan lagi, terlebih jika mereka berada dalam keadaan yang sangat terpaksa (dharurat). Dan di antara kondisi tersebut adalah saat berobat. Namun yang harus diingat, ada beberapa kaidah dan aturan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan dispensasi hukum tersebut, yaitu:
1) Peraturan awalnya, pengobatan kaum lelaki harus ditangani oleh dokter pria, dan pengobatan kaum wanita hendaknya ditangani dokter wanita. Jika bisa ditangani oleh dokter umum wanita muslimah, maka tidak perlu ditangani oleh dokter spesialis pria. Jika diperlukan dokter spesialis wanita dan ternyata tidak ada, maka boleh ditangani oleh dokter spesialis pria. Jika dokter spesialis wanita tidak mencukupi dan sangat perlu ditangani oleh dokter spesialis pria yang mahir, maka boleh ditangani oleh dokter pria tersebut. Jika terdapat dokter spesialis pria yang lebih mahir daripada dokter spesialis wanita, maka tetap tidak boleh ditangani oleh dokter pria kecuali jika spesialisasi dokter pria itu sangat dibutuhkan. Demikian pula halnya dalam proses pengobatan pria, yaitu tidak boleh ditangani oleh dokter wanita jika masih ada dokter pria yang mampu menanganinya;
2) Tidak diperkenankan melampaui batas aurat yang lazim untuk dibuka. Cukup membuka anggota tubuh yang perlu diperiksa saja. Dan hendaknya berusaha menundukkan pandangan semampunya. Dan hendaknya ia selalu merasa melakukan sesuatu yang pada dasarnya diharamkan;
3) Jika pengobatan bisa dilakukan hanya dengan mengidentifikasi penyakit saja (tanpa harus membuka aurat), maka tidak diperkenankan membuka aurat. Jika hanya dibutuhkan melihat tempat yang sakit saja maka tidak perlu menyentuhnya, jika cukup menyentuh dengan memakai penghalang saja maka tidak perlu menyentuhnya tanpa penghalang;
4) Jika yang menangani pasien wanita terpaksa harus dokter pria, maka disyaratkan tidak dalam keadaan khalwat. Pasien wanita itu harus disertai suaminya, atau mahramnya atau wanita lain yang dapat dipercaya;
5) Hendaknya dokter yang menanganinya adalah seorang yang terpercaya (amanah), tidak cacat moral dan agamanya. Dalam hal ini cukup menilainya secara lahiriah (tanpa perlu mengetahui hakikat batinnya);
6) Kebutuhan pengobatan memang sangat mendesak. Seperti penyakit yang tidak dapat ditahankan lagi atau penurunan stamina dikhawatirkan akan membahayakan jiwanya. Adapun jika tidak begitu sakit atau tidak begitu mendesak, maka janganlah membuka aurat (hanya untuk pengobatannya), sebagaimana dalam perkara-perkara yang bersifat dugaan dan perkara-perkara sekunder lainnya (yang mana tidak mesti membuka aurat);
7) Seluruh perkara di atas berlaku jika tidak menimbulkan fitnah dan tidak membangkitkan syahwat kedua belah pihak (yakni pasien dan dokternya).
Inilah beberapa aturan yang wajib dipenuhi oleh seorang tenaga medis yang ingin mengobati pasien yang bukan mahramnya.
Dari semua aturan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan toleransi kepada seseorang untuk mengobati orang sakit yang bukan mahramnya dengan beberapa ketentuan, yaitu tidak adanya tenaga medis sejenis lainnya yang ahli, dalam proses persalinan haruslah ditemani suami, mahram maupun orang yang tsiqqah (dapat dipercaya), hanya melihat anggota badan yang diperlukan saja dan aman dari fitnah.
Referensi:
مغنى المحتاج 3 / 133
( وَ ) اعْلَمْ أَنَّ مَا تَقَدَّمَ مِنْ حُرْمَةِ النَّظَرِ وَالْمَسِّ هُوَ حَيْثُ لَا حَاجَةَ إلَيْهِمَا وَأَمَّا عِنْدَ الْحَاجَةِ فَالنَّظَرُ وَالْمَسُّ (مُبَاحَانِ لِفَصْدٍ وَحِجَامَةٍ وَعِلَاجٍ ) وَلَوْ فِي فَرْجٍ لِلْحَاجَةِ الْمُلْجِئَةِ إلَى ذَلِكَ ؛ لِأَنَّ فِي التَّحْرِيمِ حِينَئِذٍ حَرَجًا ، فَلِلرَّجُلِ مُدَاوَاةُ الْمَرْأَةِ وَعَكْسُهُ ، وَلْيَكُنْ ذَلِكَ بِحَضْرَةِ مَحْرَمٍ أَوْ زَوْجٍ أَوْ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ إنْ جَوَّزْنَا خَلْوَةَ أَجْنَبِيٍّ بِامْرَأَتَيْنِ ، وَهُوَ الرَّاجِحُ كَمَا سَيَأْتِي فِي الْعَدَدِ إنْ شَاءَ اللَّهُ - تَعَالَى - .وَيُشْتَرَطُ عَدَمُ امْرَأَةٍ يُمْكِنُهَا تَعَاطِي ذَلِكَ مِنْ امْرَأَةٍ وَعَكْسُهُ كَمَا صَحَّحَهُ فِي زِيَادَةِ الرَّوْضَةِ ، وَأَنْ لَا يَكُونَ ذِمِّيًّا مَعَ وُجُودِ مُسْلِمٍ ، وَقِيَاسُهُ كَمَا قَالَ الْأَذْرَعِيُّ أَنْ لَا تَكُونَ كَافِرَةً أَجْنَبِيَّةً مَعَ وُجُودِ مُسْلِمَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ ، صَرَّحَ بِهِ فِي الْكِفَايَةِ ، وَلَوْ لَمْ نَجِدْ لِعِلَاجِ الْمَرْأَةِ إلَّا كَافِرَةً وَمُسْلِمًا ، فَالظَّاهِرُ كَمَا قَالَ الْأَذْرَعِيُّ أَنَّ الْكَافِرَةَ تُقَدَّمُ ؛ لِأَنَّ نَظَرَهَا وَمَسَّهَا أَخَفُّ مِنْ الرَّجُلِ بَلْ الْأَشْبَهُ عِنْدَ الشَّيْخَيْنِ كَمَا مَرَّ أَنَّهَا تَنْظُرُ مِنْهَا مَا يَبْدُو عِنْدَ الْمَهْنَةِ بِخِلَافِ الرَّجُلِ تَنْبِيهٌ : رَتَّبَ الْبُلْقِينِيُّ ذَلِكَ ، فَقَالَ : فَإِنْ كَانَتْ امْرَأَةٌ فَيُعْتَبَرُ وُجُودُ امْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ ، فَإِنْ تَعَذَّرَتْ فَصَبِيٌّ مُسْلِمٌ غَيْرُ مُرَاهِقٍ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَصَبِيٌّ غَيْرُ مُرَاهِقٍ كَافِرٌ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَامْرَأَةٌ كَافِرَةٌ ، فَإِنْ تَعَذَّرَتْ فَمَحْرَمُهَا الْمُسْلِمُ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَمَحْرَمُهَا الْكَافِرُ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَأَجْنَبِيٌّ مُسْلِمٌ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَأَجْنَبِيٌّ كَافِرٌ .ا هـ وَالْمُتَّجَهُ تَأْخِيرُ الْمَرْأَةِ الْكَافِرَةِ عَنْ الْمَحْرَمِ بِقِسْمَيْهِ ، وَقَيَّدَ فِي الْكَافِي الطَّبِيبَ بِالْأَمِينِ فَلَا يُعْدَلُ إلَى غَيْرِهِ مَعَ وُجُودِهِ كَمَا قَالَهُ الزَّرْكَشِيُّ ، وَشَرَطَ الْمَاوَرْدِيُّ أَنْ يَأْمَنَ الِافْتِتَانَ ، وَلَا يَكْشِفَ إلَّا قَدْرَ الْحَاجَةِ كَمَا قَالَهُ الْقَفَّالُ فِي فَتَاوِيهِ ، وَفِي مَعْنَى الْفَصْدِ وَالْحِجَامَةِ نَظَرُ الْخَاتِنِ إلَى فَرْجِ مَنْ يَخْتِنُهُ ، وَنَظَرُ الْقَابِلَةِ إلَى فَرْجِ الَّتِي تُوَلِّدُهَا ، وَيُعْتَبَرُ فِي النَّظَرِ إلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ مُطْلَقُ الْحَاجَةِ ، وَفِي غَيْرِهِمَا مَا عَدَا السَّوْأَتَيْنِ تَأَكُّدُهَا بِأَنْ يَكُونَ مِمَّا يُبِيحُ التَّيَمُّمَ كَشِدَّةِ الضَّنَى كَمَا نَقَلَاهُ عَنْ الْإِمَامِ ، وَقَضِيَّةُ هَذَا كَمَا قَالَ الزَّرْكَشِيُّ أَنَّهُ لَوْ خَافَ شَيْئًا فَاحِشًا فِي عُضْوٍ بَاطِنٍ امْتَنَعَ النَّظَرُ ، وَفِيهِ نَظَرٌ ، وَفِي السَّوْأَتَيْنِ مَزِيدُ تَأَكُّدِهَا بِأَنْ لَا يُعَدَّ التَّكَشُّفُ بِسَبَبِهَا هَتْكًا لِلْمُرُوءَةِ كَمَا نَقَلَاهُ عَنْ الْغَزَالِيِّ وَأَقَرَّاهُ
تحفة المحتاج فى شرح المنهاج 29 / 262 – 263
( وَيُبَاحَانِ ) أَيْ النَّظَرُ وَالْمَسُّ ( لِفَصْدٍ وَحِجَامَةٍ وَعِلَاجٍ ) لِلْحَاجَةِ لَكِنْ بِحَضْرَةِ مَانِعِ خَلْوَةٍ كَمَحْرَمٍ ، أَوْ زَوْجٍ أَوْ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ لِحِلِّ خَلْوَةِ رَجُلٍ بِامْرَأَتَيْنِ ثِقَتَيْنِ يَحْتَشِمُهُمَا وَلَيْسَ الْأَمْرَدَانِ كَالْمَرْأَتَيْنِ خِلَافًا لِمَنْ بَحَثَهُ ؛ لِأَنَّ مَا عَلَّلُوا بِهِ فِيهِمَا مِنْ اسْتِحْيَاءِ كُلٍّ بِحَضْرَةِ الْأُخْرَى لَا يَأْتِي فِي الْأَمْرَدَيْنِ كَمَا صَرَّحُوا بِهِ فِي الرَّجُلَيْنِ وَبِشَرْطِ عَدَمِ امْرَأَةٍ تُحْسِنُ ذَلِكَ كَعَكْسِهِ ، وَأَنْ لَا يَكُونَ غَيْرَ أَمِينٍ مَعَ وُجُودِ أَمِينٍ وَلَا ذِمِّيًّا مَعَ وُجُودِ مُسْلِمٍ ، أَوْ ذِمِّيَّةٍ مَعَ وُجُودِ مُسْلِمَةٍ وَبَحَثَ الْبُلْقِينِيُّ أَنَّهُ يُقَدَّمُ فِي الْمَرْأَةِ مُسْلِمَةٌ فَصَبِيٌّ مُسْلِمٌ غَيْرُ مُرَاهِقٍ فَمُرَاهِقٌ فَكَافِرٌ غَيْرُ مُرَاهِقٍ فَمُرَاهِقٌ فَامْرَأَةٌ كَافِرَةٌ فَمَحْرَمٌ مُسْلِمٌ فَمَحْرَمٌ كَافِرٌ فَأَجْنَبِيٌّ مُسْلِمٌ فَكَافِرٌ ا هـ وَوَافَقَهُ الْأَذْرَعِيُّ عَلَى تَقْدِيمِ الْكَافِرَةِ عَلَى الْمُسْلِمِ وَفِي تَقْدِيمِهِ لَهَا عَلَى الْمَحْرَمِ نَظَرٌ ظَاهِرٌ وَاَلَّذِي يَتَّجِهُ تَقْدِيمُ نَحْوِ مَحْرَمٍ مُطْلَقًا عَلَى كَافِرَةٍ لِنَظَرِهِ مَا لَا تَنْظُرُ هِيَ وَمَمْسُوحٍ عَلَى مُرَاهِقٍ وَأَمْهَرَ وَلَوْ مِنْ غَيْرِ الْجِنْسِ وَالدَّيِّنُ عَلَى غَيْرِهِ وَوُجُودِ مَنْ لَا يَرْضَى إلَّا بِأَكْثَرَ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ كَالْعَدَمِ فِيمَا يَظْهَرُ بَلْ لَوْ وُجِدَ كَافِرٌ يَرْضَى بِدُونِهَا وَمُسْلِمٌ لَا يَرْضَى إلَّا بِهَا احْتَمَلَ أَنَّ الْمُسْلِمَ كَالْعَدَمِ أَيْضًا أَخْذًا مِمَّا يَأْتِي أَنَّ الْأُمَّ لَوْ طَلَبَتْ أُجْرَةَ الْمِثْلِ وَوَجَدَ الْأَبُ مَنْ يَرْضَى بِدُونِهَا سَقَطَتْ حَضَانَةُ الْأُمِّ وَيَحْتَمِلُ الْفَرْقَ وَيَظْهَرُ فِي الْأَمْرَدِ أَنَّهُ يَتَأَتَّى فِيهِ نَظِيرُ ذَلِكَ التَّرْتِيبِ فَيُقَدَّمُ مَنْ يَحِلُّ نَظَرُهُ إلَيْهِ فَغَيْرُ مُرَاهِقٍ فَمُرَاهِقٌ فَمُسْلِمٌ ثِقَةٌ فَكَافِرٌ بَالِغٌ وَيُعْتَبَرُ فِي الْوَجْهِ وَالْكَفِّ أَدْنَى حَاجَةٍ وَفِيمَا عَدَاهُمَا مُبِيحُ تَيَمُّمٍ إلَّا الْفَرَجَ وَقَرِيبَهُ فَيُعْتَبَرُ زِيَادَةٌ عَلَى ذَلِكَ ، وَهِيَ أَنْ تَشْتَدَّ الضَّرُورَةُ حَتَّى لَا يُعَدُّ الْكَشْفُ لِذَلِكَ هَتْكًا لِلْمُرُوءَةِ
كشاف القناع عن متن الإقناع – ج 16 ص 419
( ولطبيب نظر ولمس ما تدعو الحاجة إلى نظره ولمسه حتى ذلك فرجها وباطنه ) لأنه موضع حاجة وظاهره ولو ذميا قاله في المبدع ومثله المغني ( وليكن ذلك مع حضور محرم أو زوج ) لأنه لا يأمن مع الخلوة مواقعة المحظور لقوله صلى الله عليه وسلم { لا يخلون رجل بامرأة إلا كان الشيطان ثالثهما } متفق عليه ( ويستر منها ما عدا موضع الحاجة ) لأنها على الأصل في التحريم ( ومثله ) أي الطبيب ( من يلي خدمة مريض أو مريضة في وضوء واستنجاء وغيرهما وكتخليصها من غرق وحرق ونحوهما وكذا لو حلق عانة من لا يحسن حلق عانته نصا )
فتح الباري – ج 1 ص 136
( قوله باب هل يداوي الرجل المرأة والمرأة الرجل )
ذكر فيه حديث الربيع بالتشديد كنا نغزو ونسقي القوم ونخدمهم ونرد القتلى والجرحى إلى المدينة وليس في هذا السياق تعرض للمداواة إلا أن كان يدخل في عموم قولها نخدمهم نعم ورد الحديث المذكور بلفظ ونداوي الجرحى ونرد القتلى وقد تقدم كذلك في باب مداواة النساء الجرحى في الغزو من كتاب الجهاد فجرى البخاري على عادته في الإشارة إلى ما ورد في بعض ألفاظ الحديث ويؤخذ حكم مداواة الرجل المرأة منه بالقياس وإنما لم يجزم بالحكم لاحتمال أن يكون ذلك قبل الحجاب أو كانت المرأة تصنع ذلك بمن يكون زوجا لها أو محرما وأما حكم المسألة فتجوز مداواة الأجانب عند الضرورة وتقدر بقدرها فيما يتعلق بالنظر والجس باليد وغير ذلك وقد تقدم البحث في شيء من ذلك في كتاب الجهاد
فتاوي النساء العصرية الموصي صالح شرف ص 46
سؤال ماذا تفعل المريضة عند ما لا تجد طبيبة تكشف عليها وتعالجها وهل تجوز لها ان تذهب الى الطيب ؟ الجوب على المرأة ان تذهب الى طبيبة مثلها للكشف عليها لأن هذا استر لها فاذا لم يوجد فى مقرها طبيبة او لم يكن لمرضها الا الطبيب الرجل فعليها ان يتخير الطبيب المسلم الصالح العفيف حسن السمعة فاذا لم يوجد فلتذهب لاي طبيب على ان يكون فى صحبتها والدها او اخوها او زوجها او اية امرأة اخرى اهـ
حاشية البجيرمي على الخطيب – ج 10 ص 91
حَاصِلُ مَا ذَكَرَهُ مِنْ شُرُوطِ النَّظَرِ لِأَجْلِ الْمُدَاوَاةِ سِتَّةٌ : أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى نَظَرِ مَحَلِّ الْحَاجَةِ وَاتِّحَادُ الْجِنْسِ أَوْ فَقْدُهُ مَعَ حُضُورِ نَحْوِ مَحْرَمٍ وَفَقْدُ مُسْلِمٍ فِي حَقِّ مُسْلِمٍ وَالْمُعَالِجُ كَافِرٌ وَأَنْ يَكُونَ الطَّبِيبُ أَمِينًا وَأَنْ يَأْمَنَ الِافْتِتَانَ وَوُجُودُ مُطْلَقِ الْحَاجَةِ فِي الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَتَأَكُّدُهَا فِيمَا عَدَا السَّوْأَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَمَزِيدُ تَأَكُّدِهَا فِي السَّوْأَتَيْنِ ؛ وَزِيدَ سَابِعٌ وَهُوَ أَنْ لَا يَكْشِفَ إلَّا قَدْرَ الْحَاجَةِ وَلَا يُحْتَاجَ إلَيْهِ ؛ لِأَنَّ الْأَوَّلَ يُغْنِي عَنْهُ وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر : وَيُعْتَبَرُ فِي الْوَجْهِ وَالْكَفِّ أَدْنَى حَاجَةٍ وَفِيمَا عَدَاهُمَا مُبِيحُ تَيَمُّمٍ إلَّا الْفَرْجَ وَقُرْبَهُ ، فَيُعْتَبَرُ زِيَادَةً عَلَى ذَلِكَ وَهِيَ اشْتِدَادُ الضَّرُورَةِ حَتَّى لَا يُعَدَّ الْكَشْفُ لِذَلِكَ هَتْكًا لِلْمُرُوءَةِ شَرْحُ م ر وَقَوْلُهُ " وَيُعْتَبَرُ فِي الْوَجْهِ " أَيْ مِنْ الْمَرْأَةِ سم عَلَى ابْنِ حَجَرٍ ع ش عَلَى م ر قَوْلُهُ : ( فَيَجُوزُ إلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُحْتَاجُ إلَيْهَا ) وَأَمَّا الْمَسُّ فَإِنْ احْتَاجَ إلَيْهِ جَازَ وَإِلَّا فَلَا قَوْلُهُ : ( بِحَضْرَةِ مَحْرَمٍ ) أَيْ لِلْمُعَالَجِ ، وَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ الْمَحْرَمُ أُنْثَى إنْ كَانَ الْمُعَالَجُ أُنْثَى كَأَمَةٍ مَثَلًا لَا ذَكَرًا كَأَبِيهِ حَذَرًا مِنْ الْخَلْوَةِ الْمُحَرَّمَةِ ، وَأَمَّا مَحْرَمُ الْمُعَالَجَةِ فَيَكُونُ ذَكَرًا كَأَبِيهَا أَيْ إذَا كَانَ الْمُعَالَجُ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى كَأُمِّهَا قَوْلُهُ : ( إنْ جَوَّزْنَا خَلْوَةَ أَجْنَبِيٍّ بِامْرَأَتَيْنِ ) أَمَّا الْخَلْوَةُ بِأَمْرِ دِينٍ فَلَا تَجُوزُ أَصْلًا وَالْفَرْقُ أَنَّ الْمَرْأَةَ تَسْتَحِيُ مِنْ الْأُخْرَى فَلَا تُمَكِّنُ مِنْ نَفْسِهَا بِحَضْرَتِهَا ، بِخِلَافِ الْأَمْرَدِ فَإِنَّهُ قَدْ يُمَكِّنُ مِنْ نَفْسِهِ بِحَضْرَةِ آخَرَ وَعِبَارَةُ حَجّ : وَحَلَّ خَلْوَةُ رَجُلٍ بِامْرَأَتَيْنِ ثِقَتَيْنِ وَلَيْسَ الْأَمْرَدَانِ كَالْمَرْأَتَيْنِ ؛ لِأَنَّ مَا عَلَّلُوا بِهِ مِنْ اسْتِحْيَاءِ كُلٍّ بِحَضْرَةِ الْأُخْرَى لَا يَأْتِي فِي الْأَمْرَدَيْنِ ا هـ قَالَ سم : قَدْ يُقَالُ بَلْ يَأْتِي ؛ لِأَنَّ الذَّكَرَ قَدْ لَا يَسْتَحْيِ بِحَضْرَةِ مِثْلِهِ إذَا كَانَ فَاعِلًا وَيَسْتَحْيِ إذَا كَانَ مَفْعُولًا قَوْلُهُ : ( وَيُشْتَرَطُ عَدَمُ امْرَأَةٍ يُمْكِنُهَا تَعَاطِي ذَلِكَ ) رَتَّبَ الْبُلْقِينِيُّ ذَلِكَ فَقَالَ : فَإِنْ كَانَتْ امْرَأَةً فَيُعْتَبَرُ وُجُودُ امْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ ، فَإِنْ تَعَذَّرَتْ فَصَبِيٌّ مُسْلِمٌ غَيْرُ مُرَاهِقٍ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَصَبِيٌّ غَيْرُ مُرَاهِقٍ كَافِرٌ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَامْرَأَةٌ كَافِرَةٌ ، فَإِنْ تَعَذَّرَتْ فَمَحْرَمُهَا الْمُسْلِمُ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَمَحْرَمُهَا الْكَافِرُ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَأَجْنَبِيٌّ مُسْلِمٌ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَأَجْنَبِيٌّ كَافِرٌ ا هـ وَالْمُتَّجَهُ تَأْخِيرُ الْمَرْأَةِ الْكَافِرَةِ عَنْ الْمَحْرَمِ بِقِسْمَيْهِ ، كَذَا ذَكَرَهُ الشَّارِحُ فِي شَرْحِهِ عَلَى الْمِنْهَاجِ وَنَظَمَ بَعْضُهُمْ ذَلِكَ فَقَالَ : وَمَرْأَةٌ تَقَدَّمَتْ عَلَى الصَّبِيِّ غَيْرِ مُرَاهِقٍ بِإِسْلَامٍ حَيِّ وَكَافِرٌ كَذَا فَإِنْ تَعَذَّرَا فَمَحْرَمٌ إسْلَامُهُ تَقَرَّرَا فَكَافِرٌ عَلَى الْأَصَحِّ مَحْرَمُ فَمَرْأَةٌ بِالْكُفْرِ بَعْدُ تُعْلَمُ فَأَجْنَبِيٌّ مُسْلِمٌ وَبَعْدَهُ فَتًى مِنْ الْكُفْرِ يَا ذَا عُدَّهُ وَإِنْ كَانَتْ فِي أَمْرَدَ يُقَدَّمُ مَنْ يَحِلُّ نَظَرُهُ إلَيْهِ فَغَيْرُ مُرَاهِقٍ فَمُرَاهِقٌ فَمُسْلِمٌ بَالِغٌ فَكَافِرٌ مَحْرَمٌ ا هـ وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يُقَدَّمُ الْجِنْسُ عَلَى غَيْرِهِ وَيُقَدَّمُ الْمَحْرَمُ عَلَى غَيْرِهِ ، وَيُقَدَّمُ مَنْ نَظَرُهُ أَكْثَرُ عَلَى غَيْرِهِ ، وَيُقَدَّمُ عِنْدَ اتِّحَادِ النَّظَرِ الْجِنْسُ عَلَى غَيْرِهِ ، ثُمَّ الْمَحْرَمُ عَلَى غَيْرِهِ ، وَالْمُوَافِقُ فِي الدِّينِ عَلَى غَيْرِهِ وَهَكَذَا فَإِذَا تَعَذَّرَ ذَلِكَ عَالَجَ الْأَجْنَبِيَّ بِشَرْطِهِ الْمَذْكُورِ مِنْ حُضُورِ نَحْوِ مَحْرَمٍ .
عون المعبود 12 /213
( من تطبب ) بتشديد الموحدة الأولى أي تعاطى علم الطب وعالج مريضا ( ولا يعلم منه طب ) أي معالجة صحيحة غالبة على الخطأ فأخطأ في طبه وأتلف شيئا من المريض ( فهو ضامن ) لأنه تولد من فعله الهلاك وهو متعد فيه إذ لا يعرف ذلك فتكون جنايته مضمونة على عاقلته
دليل الفالحين لطرق رياض الصالحين - (6 / 309)
(وعن ابن عباس رضياللّه عنهما أنه سمع النبي يقول: لا يخلون رجل بامرأة) لأن ذلك مظنة الريبة ووسيلة إليها (إلا ومعها ذو محرم) حملة حالية مستثناة من أعم الأحوال، وهو في الحقيقة تأكيد لما تضمنه ما قبله من حرمة الخلوة بالأجنبية مطلقاً، إذ مع حضور المحرم لم تحصل الخلوة بالأجنبية (ولا تسافر المرأة) أي مسمى سفره، ولا يخصص باليوم والليلة المذكورين فيما قبله لما تقدم فيه ولأن ذكر بعض أفراد العام لا يخصصه (إلا مع ذي محرم) أي أو زوج أو عبد أمين وهي أمينة (فقال رجل) لم أقف على من سماه (يا رسول اللّه إن امرأتي خرجت حاجة) أي خرجت للتلبس به (وإني اكتتبت في غزوة كذا وكذا) أي عينت في أسماء من عين لتلك الغزاة.
تحفة الأحوذي - (2 / 14)
والمراد بشر الصفوف في الرجال والنساء أقلها ثوابا وفضلا وأبعدها من مطلوب الشرع وخيرها بعكسه
وإنما فضل اخر صفوف النساء الحاضرات مع الرجال لبعدهن من مخالطة الرجال ورؤيتهم وتعلق القلب بهم عند رؤية حركاتهم وسماع كلامهم ونحو ذلك وذم أول صفوفهن بعكس ذلك انتهى
الأشباه والنظائر - (1 / -262-261)
قال الأصحاب المحرم من حرم نكاحها على التأبيد بنسب أو بسبب مباح لحرمتها فخرج بالأول ولد العمومة والخؤولة وبقولنا على التأبيد أخت الزوجة وعمتها وخالتها وبقولنا بسبب مباح أم الموطوءة بشبهة وبنتها فإنها محرمة النكاح وليست محرما إذ وطء الشبهة لا يوصف بالإباحة وبقولنا لحرمتها الملاعنة فإنها حرمت تغليظا عليه والأحكام التي للمحرم مطلقا سواء كان من نسب أو رضاع أو مصاهرة تحريم النكاح وجواز النظر والخلوة والمسافرة وعدم نقض الوضوء أما تحريم النكاح فلا يشاركه فيه على التأبيد إلا الملائكة وسائر المحرمات فليست على التأبيد فأخت الزوجة وعمتها وخالتها تحل بمفارقتها والأمة تحل إذا عتقت أو أعسر والمجوسية تحل إذا أسلمت والمطلقة ثلاثا تحل إذا نكحت زوجا غيره