Media Informasi Dan Dakwah Pondok Pesantren Al-Ihsan Gembong

SIRAH NABI SEBAGAI BEKAL DAKWAH

SIRAH NABI SEBAGAI BEKAL DAKWAH


Kalau dibandingkan zaman dahulu, berdakwah di zaman ini memiliki banyak perbedaan. Dulu, para ulama menyebarkan Islam dengan keterbatasan alat transportasi, media informasi dan komunikasi. Sedangkan saat ini, kendala-kendala semacam itu relatif tidak ditemukan.

Tantangan dakwah pada hari ini lebih banyak terfokus pada orangnya (al-mad'u/target dakwah). Saat ini menyerukan orang-orang ke jalan Allah, terasa lebih sulit karena jalan setan (khuthuwatusy-syaithan) begitu banyak mempromosikan kesenangan-kesenangan nafsu yang menarik mata.

Sebab itu, agar kegiatan dakwah berjalan efektif dan berhasil, maka harus ada peningkatan kualitas SDM para dai dan mubalig agar semakin diminati masyarakat. Mereka perlu senantiasa berbenah, meningkatkan kualitas diri, mengembangkan pengetahuan agama dan metodologi dakwah, serta total dalam berdakwah.  Tidak boleh ada kata menyerah.  Semangat harus berkobar serta senantiasa memohon bimbingan dari Allah, diberi kemudahan dan kelancaran dalam menjalankan misi memperbaiki kualitas keberagamaan umat (jawdatud-diyanah).

Kalau kita amati, kegiatan pengajian umum di berbagai daerah pada era ini semakin banyak dan bertebaran di mana-mana. Pada hari-hari besar Islam, musala, masjid, pondok pesantren, madrasah, majelis taklim dan masyarakat umum, saling berlomba-lomba menyelenggarakan pengajian umum.

Fenomena ini menunjukkan bahwa semangat berdakwah mereka cukup tinggi. Namun sayangnya, hal itu belum disertai dengan semangat melaksanakan dakwah dalam kehidupan sehari-hari, pada sebagian dari mereka tepatnya. Ketika ada pengajian umum, mereka bergegas hadir, dengan busana yang islami, sopan dan tentunya menutup aurat, lalu antusias mendengarkan ceramah dai yang diundang. Akan tetapi, pada hari esoknya keadaan mereka kembali seperti sedia kala. Berpakaian terbuka, menggunjing tetangga, jarang baca al-Qur'an, dan sebagainya.

Inilah tantangan dakwah zaman sekarang. Seorang pendakwah harus mencari banyak cara agar kegiatan dakwahnya berbanding lurus dengan hasil. Yaitu adanya peningkatan keberagamaan umat di tengah-tengah masyarakat.

Selalu bermuhasabah adalah penting dalam hal ini. Seorang pendakwah selayaknya terus bertanya pada diri sendiri, apakah sudah ikut mendorong peningkatan kualitas keberagamaan di tengah-tengah umat? Atau dakwah yang dilakukannya malah membuat umat berjalan di tempat?

Di samping itu, salah satu tantangan dakwah pada hari ini adalah semakin banyak ajaran-ajaran yang menyimpang dari Ahlussunnah Wal Jama'ah. Karenanya, seorang  seorang dai harus memahami agama dengan baik agar mampu berhadapan dengan pemahaman-pemahaman yang liar atau melenceng dari syariat, sekaligus mampu meluruskan pemahaman mereka.

Tantangan dakwah semakin berat lantaran hegemoni pemikiran liberal atau sekuler sudah banyak merasuki otak umat. Di satu sisi, pemikiran umat diserang oleh buku, buletin, sosial media, koran, majalah, dan lain sebagainya yang menyimpang dari ajaran agama. Di sisi lain, untuk meng-counter serangan-serangan itu lewat dakwah masih terasa sulit karena banyak pendakwah ahli dalam dakwah manual berupa ceramah lisan, namun tidak ahli dalam berdakwah lewat tulisan (ad-da'wah bil-qalam). Dengan demikian, saat ini merupakan momen yang paling tepat untuk meningkatkan keterampilan dakwah mereka, terutama dakwah via tulisan.

Selain itu, ada beberapa tantangan dakwah lagi. Pertama, masih lemahnya pemahaman tentang Islam di internal umat. Kedua, penyebaran virus pemikiran sesat oleh peradaban barat. Ketiga, adanya penerapan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah di tengah kaum muslimin.

Maka, seorang dai yang hidup di zaman ini harus betul-betul memahami berbagai macam persoalan, seperti ekonomi umat, politik, dan lain-lain. Sebagai seorang dai, semestinya tidak cuma berbicara tentang hal-hal yang sifatnya parsial, tentang persoalan shalat saja misalnya. Tetapi perlu juga berbicara tentang persoalan ekonomi, sosial, politik, dan bidang-bidang yang bisa memberikan kemaslahatan bagi umat. Tidak hanya itu, seorang dai juga harus memiliki kompetensi dalam menghadapi realitas zaman. Dia harus andal dan mampu menguasai objek dakwahnya yang memiliki problematika, budaya, dan karakter berbeda-beda.

Melihat betapa besar dan beratnya tanggung jawab seorang pendakwah, agar ghirah berdakwahnya tetap membara dan tabah menghadapi segala tantangan, salah satu hal penting yang baik dilakukan adalah meneladani dakwah Nabi Muhammad SAW. Hal itu tentunya perlu memperbanyak membaca sirah Nabi, terutama pada fase dakwah di Mekah sebelum hijrah. Memahami dan menghayati fase dakwah Nabi di Mekah secara tidak langsung akan menjadikan seorang pendakwah semakin tegar menghadapi cobaan dan tantangan dakwahnya. Alasannya, berdasarkan kebiasaan yang berlaku, orang yang membawa kebenaran dan memperjuangkannya relatif akan mendapatkan cobaan dan rintangan sebagaimana pendahulunya.

Misalnya, jika ada pendakwah diboikot karena dakwahnya, maka ingatlah bahwa Nabi dan para sahabat beliau juga pernah diboikot, bahkan hingga 3 tahun lamanya, sampai-sampai mereka harus makan dedaunan. [Lihat: as-Sirah an-Nabawiyyah li Ibni Hisyam, 1/388]

Misalnya, bila seorang dai dituduh sebagai pendusta atau tuduhan-tuduhan buruk lain, maka ia bisa mengingat bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga pernah dituduh demikian, bahkan Allah merekam kejadian itu di dalam al-Qur'an:

وَعَجِبُوا أَن جَاءَهُم مُّنذِرٌ مِّنْهُمْ ۖ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَٰذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ

"Dan mereka (orang-orang kafir) heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: "Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta". (QS. Shād:4)

Tidak cuma itu, bahkan Baginda Nabi pernah dilabeli gila oleh para penentang dakwahnya, Allah juga mencatat hal ini dalam firman-Nya:

وَقَالُوا يَا أَيُّهَا الَّذِي نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌ

"Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al Quran kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila." (QS. Al-Ĥijr:6)

Lalu, jika ada pendakwah yang dituduh memecah-belah umat, maka Nabi sendiripun juga pernah menerima fitnah yang sama. Ketika itu 'Utbah bin Rabi'ah pernah mengatakan kepada beliau:

"Sungguh kamu telah datang kepada kaummu dengan masalah besar, dengannya kamu pecah-belah persatuan mereka, kamu rendahkan kedudukan mereka, kamu cela Tuhan dan agama mereka, dan kamu kafirkan nenek moyang mereka". [Lihat: as-Sirah an-Nabawiyyah li Ibni Hisyam, 1/359].

Seandainya ada pendakwah yang diusir masyarakat dari tempat tinggalnya, maka ingatlah bahwa Nabi juga pernah terusir dari kota kelahiran beliau, Mekah, yang sangat dicintai. Hingga ketika akan berpisah dengan kota kelahirannya itu, beliau mengatakan:

"Betapa baiknya engkau sebagai negeri, dan betapa cintanya diriku kepadamu. Seandainya bukan karena kaumku mengeluarkanku darimu, tentu aku tidak akan menetap di tempat selainmu". (HR. At-Tirmidzi: 3926, shahih)

Bahkan di banyak kesempatan Baginda Rasul dan para sahabatnya harus berperang dengan para penentang tersebut. Tujuannya tidak lain adalah supaya dakwah tetap bisa berlangsung dengan baik, dan kebenaran bisa sampai kepada umat manusia.

Oleh sebab itu, dalam perang Badar beliau bermunajat:

"Ya Allah, jika pasukanku dari kaum muslimin ini binasa, Engkau tidak akan lagi disembah di muka bumi ini". (HR. Muslim: 1763)

Dan masih banyak lagi rintangan, tantangan dan gangguan yang beliau alami.

Meski begitu, Rasulullah tetap teguh dan kukuh maju di jalan dakwah yang terjal dan penuh rintangan, karena itulah jalan kemuliaan di dunia dan di akhirat.

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS. Fushshilat:33)

Siapapun yang ingin mendapatkan kemuliaan seperti Nabi, tiada jalan lain kecuali menapaki jalan dakwahnya. 

Sekian.