Media Informasi Dan Dakwah Pondok Pesantren Al-Ihsan Gembong

ETIKA DALAM MENJELASKAN KESALAHAN ORANG LAIN

ETIKA DALAM MENJELASKAN KESALAHAN ORANG LAIN


Sealim-alimnya seorang ulama, terkadang lisannya tetap bisa terpeleset. Kita pun juga bisa melakukan kesalahan yang sama. Terutama yang masuk klasifikasi awam.

Bila dianggap penting untuk mengoreksi kesalahannya, kita perlu mengetahui batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh syariat.

Sebelumnya perlu diingat, menyebarkan info tentang kesalahan orang mukmin kepada orang lain masuk dalam kategori membuka aurat atau cacatnya. Dan perbuatan seperti ini hukumnya adalah haram.

Sebagaimana dijelaskan Imam Nawawi al-Bantani dalam Qami'uth-Thughyan 'Ala Manzhumati Syu'abil-Iman bahwa salah satu cabang iman adalah menutup aurat atau aib orang mukmin. Dan ini hukumnya wajib.

Ketika hukum asal menutup aib saudara seimannya adalah wajib, maka hukum ini tidak boleh dilanggar kecuali ada tujuan yang dibenarkan syarak yang menuntut untuk melakukan sebaliknya, yakni membocorkan aib.

Syeikh Ibnul-'Imad menerangkan (seperti dikutip Imam Nawawi dalam kitabnya) bahwa ada 15 hal yang mana menyebutkan kesalahan orang lain boleh dilakukan dengan syarat ada motivasi/tujuan tertentu yang dibenarkan menurut syarak. Ketentuannya, tujuan tersebut memang tidak dapat terpenuhi kecuali dengan menyebutkan kesalahan tersebut.

Salah satu dari kelima belas hal tersebut yang sesuai pembahasan ini adalah mengingatkan kepada para pengikut tentang kesalahan orang alim yang diikuti mereka. Misalnya, apabila ada seseorang bertanya kepada anda tentang suatu masalah, kemudian ia mengatakan: "Kiai saya mengatakan demikian dan demikian." Anda boleh mengatakan: "Kiai saudara salah!" 

Termasuk juga ucapan para pengarang kitab dalam kitab-kitab mereka: "Si Fulan berkata demikian. Beliau salah!" dan lain sebagainya. Tindakan seperti ini diperbolehkan jika dimaksudkan untuk menjelaskan kesalahannya agar tidak diikuti. Jika tidak demikian, maka hukumnya bisa haram. Dalam arti, motivasi/niat dalam menjelaskan kesalahannya adalah agar para pengikutnya tidak tersesat karena mengikuti kesalahan tersebut.

Bila tujuannya di luar itu, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Misal, tujuan membocorkan kesalahan adalah untuk mencela/menjelek-jelekkan pelaku kesalahan, merendahkan martabatnya, menjatuhkan namanya di tengah masyarakat atau tujuan-tujuan buruk yang tidak etis dilakukan seorang mukmin terhadap saudara seimannya.

Dalam menjelaskan kesalahan pun juga harus dengan perkataan yang baik, tidak berlebihan sampai menggunakan kata-kata yang menghina seperti kata goblok, dungu, dan kata-kata kotor lainnya.

Jadi, berpikirlah seribu kali sebelum hendak menjelaskan kesalahan orang lain yang seiman, dan berpikirlah seribu kali dalam menyeleksi kata perkata yang digunakan untuk menjelaskan kesalahan tersebut. Karena, seringkali satu kata yang buruk dapat menghilangkan nikmat, dan mendatangkan celaka bagi pengucapnya.

Dikatakan kepada Ibnu Sirin tatkala beliau mengalami kerugian harta, "Kerugianmu sangat besar."

Ibnu Sirin berkata, "Ini adalah dosa yang kutunggu hukumannya sejak 40 tahun (yang lalu)."

Orang-orang bertanya, "Dosa apakah itu?"

"Aku telah mencela seorang pria dan aku bilang kepadanya: 'Hai orang fakir!'" Jawab beliau.