Media Informasi Dan Dakwah Pondok Pesantren Al-Ihsan Gembong

PONDASI ISLAM DALAM MEMBELA NEGARA

PONDASI ISLAM DALAM MEMBELA NEGARA


            

   Secara sederhana, negara atau tanah air adalah tempat yang dijadikan manusia sebagai tempat tinggal, sebagaimana disebutkan dalam kamus Lisânul-'Arab karya Jamâluddîn Ibnu Manzhûr. Dalam bahasa asing, istilah negara merupakan terjemahan dari kata state yang berasal dari bahasa Inggris, staat yang berasal dari bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan etat yang berasal dari bahasa Prancis. Semua kata itu pada umumnya diambil dari satu kata dari bahasa latin yaitu status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak, dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak (berdiri sendiri), dan tetap.

Sedangkan pengertian negara secara terminologi sebagaimana dikemukakan oleh George Jellinek adalah “organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu”. Lain lagi dengan Roger H. Soltau, menurutnya “negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat”. Dalam pengertian kedua ini negara diartikansebagai alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.

    Dari definisi negara yang sudah dipaparkan tersebut, dapat dipahami bahwasanya apa yang dimaksud dengan negara adalah satu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolostis dari kekuasaan yang sah. Hal ini meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya masyarakat (sekelompok orang), adanya daerah (wilayah), dan adanya pemerintahan yang berdaulat.

PANDANGAN ISLAM TENTANG NEGARA
Dalam konsepsi Islam, dengan mengacu pada Alquran dan sunah rasul, tidak ditemukan rumusan tentang negara secara eksplisit. Hanya saja di dalam asal mula hukum Islam tersebut terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

      Selain itu, konsep Islam tentang negara juga berasal dari tiga paradigma, yaitu: 1) paradigma tentang teori khilâfah yang mempraktikkan segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW., terutama biasanya merujuk pada masa khulafaurrâsyidîn; 2) paradigma yang bersumber pada teori imâmah (dalam artian politik) dalam paham Islam Syi'ah dan; 3) paradigma yang sumbernya dari teori imâmah atau pemerintahan.

Ketiga paradigma kepemimpinan itu berangkat dari Alquran yang menyinggung masalah kepemimpinan. Allah swt. berfirman, Wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ûlil amri di antara kamu.” (QS An Nisa’ : 59)

Dalam ayat tersebut, Allah swt. memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menaati Allah, Rasul-Nya dan ûlil amri. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah bersifat mutlak, sedangkan ketaaatan kepada ûlil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.Term ûlil amri sendiri dalam ayat di atas mencakup para ulama dan umara (pemimpin) sebagaimana pendapat Imam Ibnu Katsir.

Keberadaan seorang pemimpin merupakan simbol persatuan umat Islam. Persatuan umat Islam merupakan indikasi kekuatan yang dimilikinya. Dan kekuatan mereka merupakan alat untuk mempertahankan diri dan sekaligus alat untuk menegakkan syariat-syariat Islam ke seluruh penjuru dunia. Karena itu, Islam mewajibkan nashbul-imâm (mengangkat pemimpin negara) atas umatnya dan tidak boleh sama sekali berada dalam kondisi vacuum of chaliphate (vakum kepemimpinan).

Berdasarkan ketetapan ini, karena seorang pemimpin tidak dapat menerapkan hukum-hukum Islam secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan.

Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishâd fil I'tiqâd berkata, “Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.”

Sejalan dengan prinsip Islam bahwa agama dan negara itu tak mungkin dipisahkan, maka tak mengherankan bila kita dapati bahwa Islam telah mewajibkan umatnya untuk mendirikan negara sebagai sarana untuk menjalankan agama secara sempurna, sebagaimana ditegaskan Sa`îd Hawwa dalam kitabnya al-Islâm, bahwa kewajiban membentuk negara Islam sesuai dengan kaidah mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjibun (sesuatu yang tanpanya menyebabkan suatu kewajiban menjadi tidak sempurna, maka sesuatu tersebut menjadi wajib hukumnya). Negara itulah yang terkenal dengan sebutan Khilâfah atau Imâmah.

PIAGAM MADINAH; REPRESENTASI DASAR BELA NEGARA
Sebagaimana diketahui, bela negara merupakan hak dan kewajiban untuk semua warga negara Indonesia yang secara hukum telah diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, di antaranya yaitu : 1) UUD 1945 dalam Pasal 27 ayat (3) “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara” ;dan 2) Undang-Undang No. 39 tentang HAM tahun 1999 dalam Pasal 68 bahwa “Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara serta keyakinan akan Pancasila sebagai ideologi negara guna menghadapi ancaman baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri yang membahayakan dan mengancam kedaulatan, baik kedaulatan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara.

Jika kita menilik fakta historis pemerintahan Islam, kita akan menemukan bahwa dasar-dasar bela negara ternyata telah ada pada masa Nabi SAW.. Tepatnya termaktub dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah adalah sebutan bagi al-Shahîfah (yang berarti lembaran tertulis, disebut dalam piagam sebanyak 8 kali), dan al-Kitâb (yang berarti buku, disebut sebanyak 2 kali) yang dibuat oleh Nabi SAW. bersama warganya. Kata "Madinah" menunjuk kepada tempat dibuatnya naskah. Piagam Madinah secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn Ishaq (w. 151 H) dan Ibn Hisyâm (w. 213 H), dua penulis muslim yang mempunyai nama besar dalam bidangnya. Piagam ini dianggap sebagai awal mula kebijakan politik di dunia yang sesuai dengan prinsip dasar fitrah dan nilai kemanusiaan.

Kemunculan Shahîfah al-Madînah atau Piagam Madinah jika ditelusuri bukanlah hasil pemikiran manusia belaka, melainkan terinspirasi dari pesan-pesan Alquran. Maka sangatlah wajar jika salah satu butir Piagam menunjukkan bahwa kekuasaan tertinggi dalam menentukan hukum adalah Allah dan Rasul-Nya.

Melihat proses formulasinya, Piagam Madinah yang berjumlah 47 pasal ini adalah dokumen politik penting yang dibuat oleh Nabi SAW. sebagai perjanjian antara golongan-golongan Muhajirin, Anshar, dan Yahudi, serta sekutunya. Dokumen itu mengandung prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan penting yang menjamin hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka sebagai dasar bagi kehidupan bersama dalam kehidupan sosial politik.

Adapun peraturan yang memiliki nuansa bela negara yang ada dalam Piagam Madinah tepatnya termuat pada:

◼️ Pasal 37: Wa inna 'alâ al-yahûdi nafaqatahum, wa 'alâ al-muslimîn nafaqatahum, wa inna bainahum al-nashra 'alâ man hâraba ahla hâdzihi al-shahîfati, wa inna bainahum al-nushha wa al-nashîhatawa al-birra dûna al-itsmi (Kaum Yahudi dan kaum Muslimin membiayai pihaknya masing-masing. Kedua belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam menghadapi pihak yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam ini. Kedua belah pihak juga saling memberikan saran dan nasehat dalam kebaikan, bukan dalam perbuatan dosa).

◼️ Pasal 44: Wa inna bainahum al-nashra 'alâ man dahama yatsriba (Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi agresor (pihak lain) yang melancarkan serangan terhadap tanah Yastrib/Madinah).

◼️ Pasal 46: Wa inna yahûda al-Ausi mawâliyahum wa anfusahum 'alâ mitsli mâ li ahli hâdzihi al-shahîfati ma'a al-birri al-mahdli min ahli hâdzihi al-shahîfati, wa inna al-birra dûna al-itsmi lâ yaksibu kâsibun illâ 'alâ nafsihi, wa inna Allâha 'alâ ashdaqi mâ fî hâdzihi al-shahîfati wa abarrihi (Kaum Yahudi Bani 'Aus, sekutu/hamba sahaya dan diri mereka masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana kelompok-kelompok lain yang menyetujui piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan sesuai dengan semestinya dari perjanjian ini. Sesungguhnya kebajikan ini berbeda dengan perbuatan dosa. Setiap orang harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukannya. Dan Allah memperhatikan isi perjanjian ini, dan membenarkannya).

Dr. Muhammad Sulaiman Mohammed Ali, Direktur Utama Dewan Tinggi Dakwah Islam Departemen Bimbingan dan Wakaf Republik Sudan, dalam makalahnya yang berjudul al-Wahdatu al-Wathaniyyah; Daulatu al-Madînah al-Munawwarah Unmûdzajan (Persatuan Nasional; Madinah Al-Munawwaroh Sebagai Percontohan) memaparkan, salah satu keistimewaan paling menonjol dari Piagam Madinah yang dianggap sebagai perjanjian awal dalam bidang sosial, kerukunan dan persatuan nasional adalah saling membantu dalam menjaga keutuhan bangsa. Hal ini menetapkan bahwa tanggung jawab dalam menjaga Pemerintahan Madinah merupakan tanggung jawab semua pihak. Ketika Madinah diserang, maka semua warga negara sebagai konsekuensi hak kewarganegaraan harus melindungi Madinah al-Munawwarah. Selama mereka hidup bersama di satu negara, maka wajib atas mereka saling membantu dalam melindungi Negara tersebut seandainya ada agresor dari luar. Dan saling bantu-membantu ini tidak hanya dalam bidang kemiliteran saja.

Jadi, dari fakta sejarah ini kita dapat memahami bahwa Islam telah melegitimasi upaya bela negara dalam syariatnya karena makna bela negara sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW. dalam Piagam Madinah.

Dalam perspektif Islam, bela negara juga merupakan salah satu perwujudan ber-ukhuwah dalam Islam, yakni ukhuwah wathaniyah (tata hubungan antara sesama manusia yang berkait dengan ikatan kebangsaan dan kenegaraan) yang berarti mencintai dan bersaudara dengan yang sebangsa dan setanah air. Tata hubungan ini menyangkut dan meliputi hal-hal yang bersifat muamalah (kemasyarakatan, kebangsaan/kenegaraan) di mana mereka sebagai warga negara memiliki kesamaan derajat, kesamaan tanggung jawab untuk mengupayakan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini merupakan perwujudan dari universalitas Islam yang akan menjadi sarana bagi upaya memakmurkan bumi Allah dan melaksanakan amanat-Nya sejalan dengan tabiat atau budaya yang dimiliki bangsa wilayah itu.
           
BELA NEGARA DALAM ARTI PERANG
Upaya bela negara sangat berkorelasi erat dengan konsep jihad dalam Islam. Perlu diketahui, Jihad secara leksikal adalah “mengerahkan upaya”, “berusaha”,  “berjuang keras”, atau lebih tepatnya ia melukiskan usaha maksimal untuk melawan sesuatu yang salah. Sedangkan pengertian jihad dalam istilah syariat Islam adalah mencurahkan kesungguhan dalam upaya menegakkan masyarakat yang islami dan agar kalimat Allah (ajaran tauhid/dînul Islâm) menjadi mulia serta syariat-Nya dapat dilaksanakan di seluruh penjuru dunia.

Berkaitan dengan definisi jihad Dr. Wahbah al-Zuhayli menjelaskan,

وَأَنْـسَـبُ تـَـعْــرِيـْـفٍ لِلْـجِــهَــادِ شَــرْعـًـا أَنـَّـــهُ بَــذْلُ الْــوُسْــعِ وَالـَّطـاقـَـةِ فِـي قـَـتـْـلِ الْـكُــفَّــارِ وَمُــدَ ا 
فـَعَتِـهِــمْ بِـِالـنَّـفْــسِ وَالْـمَـالِ وَاللِّـسَــانِ

Batasan jihad yang paling sesuai menurut istilah syariat Islam mencurahkan kemampuan dan kekuatan guna memerangi dan menghadapi orang-orang kafir dengan jiwa, harta dan orasi.

Sementara itu, implementasi Jihad beliau terangkan dalam karyanya al-Fiqh Al-Islâmi wa adillatuhu, “Jadi, jihad bisa dilakukan dengan cara mengajar, mempelajari hukum-hukum Islam, dan menyebarluaskannya, membelanjakan harta dan berpartisipasi berperang menghadapi musuh apabila imam/pimpinan telah meninstruksikan jihad (perang)...”.

Dalam Islam, jihad dalam arti perang diinstruksikan secara gradual (bertahap). Dalam turâts disebutkan metode tersebut merupakan salah satu wahana dakwah Islam yang acap kali mewarnai turunnya Alquran.

Sebenarnya Islam memandang peperangan adalah suatu hal yang buruk karena mengakibatkan jatuhnya korban dan rusaknya tatanan kehidupan, namun dampak destruktif tersebut harus diabaikan jika memang genderang perang ditabuh demi tujuan mulia, yaitu dakwah Islam dan membasmi kaum musyrik yang “memerangi” kaum Muslim.

   Sebelum kita menentukan apakah perang membela negara jihad atau bukan, ada beberapa kondisi yang menyebabkan jihad menjadi fardu ain. Kondisi pertama, jika waliyyul-amri memerintahkan untuk berjihad fi sabilillah, maka tidak boleh seorangpun menyelisihinya untuk tetap tinggal kecuali yang memiliki uzur; Kondisi kedua, jika musuh mengepung suatu negeri, yakni musuh datang lalu masuk ke suatu negeri dan mengepungnya, ketika itu jihad menjadi fardu ain bagi setiap orang penduduk negeri itu sekalipun para wanita atau orang tua yang mampu untuk membela negaranya. Karena ini adalah perang defensif (الـقــتــال الــد فــاعـي), yaitu berperang demi mempertahankan diri dari serangan musuh, bukan perang ofensif (الــقــتــال الـهـجـــومـي) dalam artian penyerangan  (untuk perluasan Islam); Kondisi ketiga, apabila telah memasuki barisan perang dan bertemu kedua pasukan (kafir dan muslim), maka jihad ketika itu menjadi fardu ain, tidak boleh bagi seorangpun untuk berpaling; Kondisi keempat, jika manusia membutuhkan kepada orang yang mampu menggunakan senjata, dalam posisi tak ada seorangpun yang mengetahui cara penggunaan senjata baru tersebut kecuali seorang saja, maka menjadi fardu ain bagi dia untuk berjihad meskipun tidak diperintahkan oleh pemimpin negara karena ia dibutuhkan. Dalam empat kondisi inilah jihad menjadi fardu ain, adapun selainnya adalah fardu kifayah.

Alquran sendiri tidak melegitimasi peperangan kecuali demi tujuan sebagaimana berikut ini: Pertama, demi mempertahankan hak-hak umat Islam dan perampasan atas kemerdekaannya (QS. al-Baqarah: 191); Kedua, memberantas fitnah dan menanggulangi perampasan hak-hak asasi manusia (HAM), yang menyumbat kebebasan individu umat Islam (QS. al-Baqarah: 193); Ketiga, membela diri dari agresi kafir (QS. al-Taubat: 36).

Peperangan yang disyariatkan dalam Islam, dan yang dipandang sebagai jihad adalah perang-perang dengan tujuan di atas. Sedang peperangan selain itu hukumnya adalah tercela dan tidak bisa dikategorikan jihad fi sabilillah. Menurut satu pendapat, tidak semua peperangan bisa disebut jihad. Hanya yang murni bertujuan menegakkan agama Islam yang disebut jihad. Demikian pula  jihad  akan menjadi tercela jika disertai tujuan tercela seperti peperangan yang dipicu oleh motivasi mendapatkan harta rampasan perang, unjuk kekuatan, unjuk keberanian, kesombongan, pamer, fanatisme golongan (‘ashâbiyah), balas dendam, kecemburuan, rivalitas (munâfasah), permusuhan (‘adâwah) dan memperebutkan kedudukan. Hal ini selaras dengan penjelasan Sa`îd Hawwa dalam kitab Al-Islâm-nya, “Jihad yang dilakukan oleh umat Islam adalah untuk kemenangan agama dan tegaknya syariat Allah swt., bukan untuk tujuan-tujuan yang lainnya. Usaha yang dilakukan oleh umat Islam untuk melindungi Dârul Islam dengan menjalankan syarat-syarat yang telah ditetapkan adalah semata-mata karena Allah swt.,  bukan untuk mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) atau nama harum. Usaha yang dilakukan untuk membela tanah air, bangsa, keluarga, dan keturunan adalah usaha yang diniati untuk menjaga semua itu dari hal-hal yang mengancam agama Allah swt...”

Diriwayatkan juga dari Abi Musa r.a., ia berkata, “Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang orang yang perang dengan gagah berani, orang yang perang dengan penuh semangat dan orang yang perang karena pamrih; siapakah di antara mereka yang termasuk fi sabilillah? Rasullullah SAW. menjawab, “Orang yang berperang karena untuk meninggikan kalimat Allah swt. dialah yang berada dalam jalan Allah swt...” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya dengan tujuan ini sajalah kesyahidan bisa diperoleh. Dan jangan mengharapkan kematian syahid apabila sewaktu perang tujuan mulia ini bukan menjadi tujuan utamanya, di samping tentunya ada kematian-kematian yang dianggap syahid selain dalam medan perang sebagaimana keterangan para ahli fikih.

Jelaslah sudah bahwa Islam tidak pernah menjadikan penghancuran sebagai motif jihad, melainkan lebih dikonsentrasikan pada tujuan perlindungan terhadap agama Allah (hifzhu al-dîn), memelihara kebebasan individu dari agresi penjajah, pemberantasan fitnah, dan sebagainya. Sedangkan, penggunaan teror yang bertujuan melumpuhkan lawan, menghancurkan dan melumpuhkan kekuatan bertarung, sehingga dapat menghancurkannya adalah soal strategi. Dan strategi semacam itu tidak pernah lepas dari semua peperangan sepanjang sejarah.

Dengan demikian, dalam konteks ini membela NKRI yang butuh akan proteksi dan pembelaan dapat dikatakan jihad -tentunya jika motivasi pelaku sesuai dengan ketentuan jihad yang telah diterangkan sebelumnya- karena Indonesia merupakan Dârul Islam (Negara Islam) berdasarkan argumentasi bahwa kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam di negara ini sesuai kandungan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa negara menjamin kebebasan beragama bagi warga negaranya. Di samping itu juga karena dahulu kawasan Indonesia telah dikuasai Kerajaan Islam yang dalam pandangan ulama fikih ditetapkan sebagai salah satu kriteria Dârul Islam.

Pandangan inilah yang menjadi motif syar`i bagi pejuang-pejuang muslim Indonesia di masa lalu untuk berani mengangkat senjata dan bertempur melawan para penjajah demi membela dan mempertahankan kedaulatan Indonesia. Juga menjadi alasan para ulama Nusantara untuk tetap menerima Indonesia dengan tangan terbuka dan ikut berperan aktif menyumbangkan amal-amal nyata demi kemaslahatan bangsa dan negaranya. Karena mereka memandang Indonesia adalah bagian dari bumi Allah, dan “kawasan amal dan dakwah” dari ajaran Islam yang universal (Kaffatan lin-nas dan Rahmatan lil-'alamin).

Dengan demikian, negara Indonesia bagi umat Islam Indonesia wajib dipelihara dan dikembangkan. Sebab, Indonesia layaknya bangunan yang kita ikut membentuknya sejak awal.

PENUTUP
Negara adalah tempat tinggal dimana agama diimplementasikan dalam kehidupan. Kita menyadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara adalah “realitas kehidupan” yang diyakini merupakan bagian dari kebutuhan primer dan tanpanya kemaslahatan hidup tidak terwujud.

Keberadaan Negara Indonesia bagaimanapun  kondisinya, adalah anugerah dari Allah swt., yang wajib disyukuri seluhur-luhurnya, dengan melestarikannya, mengembangkannya dan membangunnya sepanjang zaman. Jika tidak ada negara pasti tidak akan ada ketertiban, keamanan, dan keadilan. Supaya hidup tertib, aman, dan damai maka diperlukan negara. Negara sendiri akan tegak berdiri jika dipertahankan oleh setiap warga negaranya.

Membela negara sangat penting dilakukan oleh setiap warga negaranya. Begitu pentingnya membela negara hingga Rasulullah SAW. pun memasukkannya sebagai salah satu butir Piagam Madinah. Dan semua itu ditetapkan sebagai wujud memakmurkan bumi Allah.


     Dalam konteks Indonesia saat ini, upaya bela negara dapat diwujudkan tidak hanya dengan melindungi negara dari musuh atau sekedar tugas kemiliteran, melainkan juga dapat direalisasikan dengan ikut berpartisipasi mempertahankan dan memajukan tanah air tercinta dalam semua aspek kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, politik, pertanian, sosial budaya dan teknologi informasi. Partisipasi ini sangat penting agar dapat menunjang usaha NKRI untuk mewujudkan tujuan bernegara dan menjaga kelangsungan hidupnya.