Secara sederhana, negara atau tanah air adalah
tempat yang dijadikan manusia sebagai tempat tinggal, sebagaimana disebutkan
dalam kamus Lisânul-'Arab karya Jamâluddîn Ibnu Manzhûr. Dalam bahasa
asing, istilah negara merupakan terjemahan dari kata state yang berasal
dari bahasa Inggris, staat yang berasal dari bahasa Belanda dan bahasa
Jerman, dan etat yang berasal dari bahasa Prancis. Semua kata itu pada
umumnya diambil dari satu kata dari bahasa latin yaitu status atau statum,
yang berarti keadaan yang tegak, dan tetap atau sesuatu yang memiliki
sifat-sifat yang tegak (berdiri sendiri), dan tetap.
Sedangkan
pengertian negara secara terminologi sebagaimana dikemukakan oleh George
Jellinek adalah “organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah
berkediaman di wilayah tertentu”. Lain lagi dengan Roger H. Soltau, menurutnya
“negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan
bersama atas nama masyarakat”. Dalam pengertian kedua ini negara diartikansebagai
alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau
mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.
Dari definisi negara yang sudah dipaparkan tersebut, dapat dipahami bahwasanya apa yang dimaksud dengan negara adalah satu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolostis dari kekuasaan yang sah. Hal ini meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya masyarakat (sekelompok orang), adanya daerah (wilayah), dan adanya pemerintahan yang berdaulat.
Dari definisi negara yang sudah dipaparkan tersebut, dapat dipahami bahwasanya apa yang dimaksud dengan negara adalah satu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolostis dari kekuasaan yang sah. Hal ini meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya masyarakat (sekelompok orang), adanya daerah (wilayah), dan adanya pemerintahan yang berdaulat.
PANDANGAN ISLAM TENTANG NEGARA
Dalam konsepsi
Islam, dengan mengacu pada Alquran dan sunah rasul, tidak ditemukan rumusan
tentang negara secara eksplisit. Hanya saja di dalam asal mula hukum Islam
tersebut terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Selain itu, konsep Islam tentang negara juga berasal dari tiga paradigma, yaitu: 1) paradigma tentang teori khilâfah yang mempraktikkan segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW., terutama biasanya merujuk pada masa khulafaurrâsyidîn; 2) paradigma yang bersumber pada teori imâmah (dalam artian politik) dalam paham Islam Syi'ah dan; 3) paradigma yang sumbernya dari teori imâmah atau pemerintahan.
Selain itu, konsep Islam tentang negara juga berasal dari tiga paradigma, yaitu: 1) paradigma tentang teori khilâfah yang mempraktikkan segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW., terutama biasanya merujuk pada masa khulafaurrâsyidîn; 2) paradigma yang bersumber pada teori imâmah (dalam artian politik) dalam paham Islam Syi'ah dan; 3) paradigma yang sumbernya dari teori imâmah atau pemerintahan.
Ketiga
paradigma kepemimpinan itu berangkat dari Alquran yang menyinggung masalah
kepemimpinan. Allah swt. berfirman, “Wahai orang-orang beriman
taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ûlil amri di antara kamu.”
(QS An Nisa’ : 59)
Dalam
ayat tersebut, Allah swt. memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menaati
Allah, Rasul-Nya dan ûlil amri. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah
bersifat mutlak, sedangkan ketaaatan kepada ûlil amri tergantung kepada
ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.Term ûlil amri sendiri dalam
ayat di atas mencakup para ulama dan umara (pemimpin) sebagaimana pendapat Imam
Ibnu Katsir.
Keberadaan seorang pemimpin
merupakan simbol persatuan umat Islam. Persatuan umat Islam merupakan indikasi
kekuatan yang dimilikinya. Dan kekuatan mereka merupakan alat untuk
mempertahankan diri dan sekaligus alat untuk menegakkan syariat-syariat Islam
ke seluruh penjuru dunia. Karena itu, Islam mewajibkan nashbul-imâm (mengangkat pemimpin
negara) atas umatnya dan tidak boleh sama sekali berada dalam kondisi vacuum
of chaliphate (vakum kepemimpinan).
Berdasarkan ketetapan ini, karena seorang pemimpin
tidak dapat menerapkan hukum-hukum Islam secara sempurna kecuali dengan adanya
sebuah institusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu
keniscayaan.
Imam Al Ghazali
dalam kitabnya Al Iqtishâd fil I'tiqâd berkata, “Karena itu,
dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan
pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala
sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak
berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.”
Sejalan dengan prinsip Islam bahwa agama dan negara
itu tak mungkin dipisahkan, maka tak mengherankan bila kita dapati bahwa Islam
telah mewajibkan umatnya untuk mendirikan negara sebagai sarana untuk menjalankan
agama secara sempurna, sebagaimana ditegaskan Sa`îd Hawwa dalam kitabnya al-Islâm, bahwa
kewajiban membentuk negara
Islam sesuai dengan kaidah mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjibun
(sesuatu yang tanpanya menyebabkan suatu kewajiban menjadi tidak sempurna, maka
sesuatu tersebut menjadi wajib hukumnya). Negara itulah yang terkenal dengan
sebutan Khilâfah atau Imâmah.
PIAGAM MADINAH; REPRESENTASI DASAR BELA NEGARA
Sebagaimana diketahui, bela negara
merupakan hak dan kewajiban untuk semua warga negara Indonesia yang secara hukum telah
diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, di antaranya
yaitu : 1) UUD 1945 dalam Pasal 27 ayat (3) “setiap warga negara berhak dan wajib
ikut serta dalam upaya pembelaan negara” ;dan 2) Undang-Undang
No. 39 tentang HAM tahun 1999 dalam Pasal 68 bahwa “Setiap warga negara
wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Upaya bela negara adalah sikap dan
perilaku warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang
dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara
serta keyakinan akan Pancasila sebagai ideologi negara guna menghadapi ancaman
baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri yang membahayakan dan
mengancam kedaulatan, baik kedaulatan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan negara.
Jika kita menilik fakta historis
pemerintahan Islam, kita akan menemukan bahwa dasar-dasar bela negara ternyata telah
ada pada masa Nabi SAW.. Tepatnya termaktub dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah
adalah sebutan bagi al-Shahîfah (yang berarti lembaran tertulis,
disebut dalam piagam sebanyak 8 kali), dan al-Kitâb (yang berarti buku,
disebut sebanyak 2 kali) yang dibuat oleh Nabi SAW. bersama
warganya. Kata "Madinah" menunjuk kepada tempat
dibuatnya naskah. Piagam Madinah secara lengkap diriwayatkan oleh
Ibn Ishaq (w. 151 H) dan Ibn Hisyâm (w. 213 H), dua penulis muslim yang
mempunyai nama besar dalam bidangnya. Piagam ini dianggap sebagai awal mula kebijakan
politik di dunia yang sesuai dengan prinsip dasar fitrah dan nilai kemanusiaan.
Kemunculan
Shahîfah al-Madînah atau Piagam Madinah jika ditelusuri bukanlah
hasil pemikiran manusia belaka, melainkan terinspirasi dari pesan-pesan
Alquran. Maka sangatlah wajar jika salah satu butir Piagam menunjukkan bahwa
kekuasaan tertinggi dalam menentukan hukum adalah Allah dan Rasul-Nya.
Melihat proses formulasinya, Piagam Madinah yang
berjumlah 47 pasal ini adalah dokumen politik penting yang dibuat oleh Nabi SAW. sebagai perjanjian antara golongan-golongan
Muhajirin, Anshar, dan Yahudi, serta sekutunya. Dokumen itu mengandung
prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan penting yang menjamin hak-hak mereka
dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka sebagai dasar bagi kehidupan bersama
dalam kehidupan sosial politik.
Adapun peraturan yang
memiliki nuansa bela negara yang ada dalam Piagam Madinah tepatnya termuat
pada:
◼️ Pasal
37: Wa inna 'alâ al-yahûdi nafaqatahum, wa 'alâ al-muslimîn nafaqatahum, wa inna bainahum
al-nashra 'alâ man hâraba ahla hâdzihi al-shahîfati, wa inna bainahum
al-nushha wa al-nashîhatawa al-birra dûna al-itsmi (Kaum Yahudi dan kaum Muslimin membiayai pihaknya
masing-masing. Kedua belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam
menghadapi pihak yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam ini. Kedua belah pihak juga saling memberikan saran dan
nasehat dalam kebaikan, bukan dalam perbuatan dosa).
◼️ Pasal
44: Wa inna bainahum al-nashra 'alâ man dahama yatsriba (Semua
warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi agresor (pihak lain) yang
melancarkan serangan terhadap tanah Yastrib/Madinah).
◼️ Pasal
46: Wa inna yahûda al-Ausi mawâliyahum wa anfusahum 'alâ mitsli mâ li ahli hâdzihi al-shahîfati ma'a
al-birri al-mahdli min ahli hâdzihi al-shahîfati, wa inna al-birra dûna al-itsmi lâ yaksibu kâsibun illâ 'alâ nafsihi, wa inna Allâha 'alâ ashdaqi mâ fî hâdzihi al-shahîfati wa abarrihi
(Kaum Yahudi Bani 'Aus, sekutu/hamba sahaya dan diri mereka masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana kelompok-kelompok lain yang menyetujui piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan sesuai dengan
semestinya dari perjanjian ini. Sesungguhnya kebajikan ini berbeda dengan
perbuatan dosa. Setiap orang harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang
dilakukannya. Dan Allah memperhatikan isi perjanjian ini, dan membenarkannya).
Dr. Muhammad Sulaiman Mohammed Ali,
Direktur Utama Dewan Tinggi Dakwah Islam Departemen Bimbingan dan Wakaf
Republik Sudan, dalam makalahnya yang berjudul al-Wahdatu al-Wathaniyyah; Daulatu al-Madînah al-Munawwarah Unmûdzajan (Persatuan Nasional; Madinah Al-Munawwaroh Sebagai Percontohan) memaparkan, salah satu keistimewaan paling menonjol dari Piagam
Madinah yang dianggap sebagai perjanjian awal dalam bidang sosial, kerukunan
dan persatuan nasional adalah saling membantu dalam menjaga keutuhan bangsa.
Hal ini menetapkan bahwa tanggung jawab dalam menjaga Pemerintahan Madinah
merupakan tanggung jawab semua pihak. Ketika Madinah diserang, maka semua warga
negara sebagai konsekuensi hak kewarganegaraan harus melindungi Madinah al-Munawwarah. Selama mereka hidup bersama di satu negara, maka wajib atas
mereka saling membantu dalam melindungi Negara tersebut seandainya ada agresor
dari luar. Dan saling bantu-membantu ini tidak hanya dalam bidang kemiliteran
saja.
Jadi, dari fakta sejarah ini kita dapat memahami bahwa Islam telah melegitimasi upaya bela negara dalam
syariatnya karena makna bela negara sesuai dengan apa yang telah ditetapkan
oleh Nabi SAW. dalam Piagam Madinah.
Dalam perspektif Islam, bela negara juga merupakan salah satu perwujudan
ber-ukhuwah dalam Islam, yakni ukhuwah wathaniyah (tata hubungan antara
sesama manusia yang berkait dengan ikatan kebangsaan dan kenegaraan) yang
berarti mencintai dan bersaudara dengan yang sebangsa dan setanah air. Tata
hubungan ini menyangkut dan meliputi hal-hal yang bersifat muamalah
(kemasyarakatan, kebangsaan/kenegaraan) di mana mereka sebagai warga negara
memiliki kesamaan derajat, kesamaan tanggung jawab untuk mengupayakan
kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini merupakan perwujudan
dari universalitas Islam yang akan menjadi sarana bagi upaya memakmurkan bumi
Allah dan melaksanakan amanat-Nya sejalan dengan tabiat atau budaya yang
dimiliki bangsa wilayah itu.
BELA NEGARA DALAM ARTI PERANG
Upaya bela negara sangat berkorelasi
erat dengan konsep jihad dalam Islam. Perlu diketahui, Jihad secara leksikal adalah “mengerahkan
upaya”, “berusaha”, “berjuang keras”,
atau lebih tepatnya ia melukiskan usaha maksimal untuk melawan sesuatu yang
salah. Sedangkan pengertian jihad dalam istilah syariat Islam adalah
mencurahkan kesungguhan dalam upaya menegakkan masyarakat yang islami dan agar
kalimat Allah (ajaran tauhid/dînul Islâm) menjadi mulia serta syariat-Nya
dapat dilaksanakan di seluruh penjuru dunia.
Berkaitan
dengan definisi jihad Dr. Wahbah al-Zuhayli menjelaskan,
وَأَنْـسَـبُ تـَـعْــرِيـْـفٍ لِلْـجِــهَــادِ شَــرْعـًـا
أَنـَّـــهُ بَــذْلُ الْــوُسْــعِ وَالـَّطـاقـَـةِ فِـي قـَـتـْـلِ
الْـكُــفَّــارِ وَمُــدَ ا
فـَعَتِـهِــمْ بِـِالـنَّـفْــسِ وَالْـمَـالِ وَاللِّـسَــانِ
فـَعَتِـهِــمْ بِـِالـنَّـفْــسِ وَالْـمَـالِ وَاللِّـسَــانِ
“Batasan jihad yang paling sesuai menurut istilah syariat Islam mencurahkan kemampuan dan kekuatan guna memerangi dan menghadapi orang-orang kafir dengan jiwa, harta dan orasi.”
Sementara
itu, implementasi Jihad beliau terangkan dalam karyanya al-Fiqh
Al-Islâmi wa adillatuhu, “Jadi, jihad bisa dilakukan dengan cara
mengajar, mempelajari hukum-hukum Islam, dan menyebarluaskannya, membelanjakan
harta dan berpartisipasi berperang menghadapi musuh apabila imam/pimpinan telah
meninstruksikan jihad (perang)...”.
Dalam Islam, jihad dalam arti
perang diinstruksikan
secara gradual (bertahap). Dalam turâts disebutkan metode tersebut
merupakan salah satu wahana dakwah Islam yang acap kali mewarnai turunnya Alquran.
Sebenarnya Islam memandang peperangan adalah suatu hal
yang buruk karena mengakibatkan jatuhnya korban dan rusaknya tatanan kehidupan,
namun dampak destruktif tersebut harus diabaikan jika memang genderang perang
ditabuh demi tujuan mulia, yaitu dakwah Islam dan membasmi kaum musyrik yang
“memerangi” kaum Muslim.
Sebelum
kita menentukan apakah perang membela negara jihad atau bukan, ada beberapa
kondisi yang menyebabkan jihad menjadi fardu ain. Kondisi pertama, jika waliyyul-amri memerintahkan untuk berjihad fi sabilillah, maka tidak boleh
seorangpun menyelisihinya untuk tetap tinggal kecuali yang memiliki uzur; Kondisi
kedua, jika musuh mengepung suatu negeri, yakni musuh datang lalu masuk ke
suatu negeri dan mengepungnya, ketika itu jihad menjadi fardu ain bagi setiap
orang penduduk negeri itu sekalipun para wanita atau orang tua yang mampu untuk
membela negaranya. Karena ini adalah perang defensif (الـقــتــال
الــد فــاعـي), yaitu berperang demi mempertahankan diri dari serangan musuh,
bukan perang ofensif (الــقــتــال الـهـجـــومـي)
dalam artian penyerangan (untuk
perluasan Islam); Kondisi ketiga, apabila telah memasuki barisan perang
dan bertemu kedua pasukan (kafir dan muslim), maka jihad ketika itu menjadi
fardu ain, tidak boleh bagi seorangpun untuk berpaling; Kondisi keempat,
jika manusia membutuhkan kepada orang yang mampu menggunakan senjata, dalam
posisi tak ada seorangpun yang mengetahui cara penggunaan senjata baru tersebut
kecuali seorang saja, maka menjadi fardu ain bagi dia untuk berjihad meskipun
tidak diperintahkan oleh pemimpin negara karena ia dibutuhkan. Dalam empat
kondisi inilah jihad menjadi fardu ain, adapun selainnya adalah fardu kifayah.
Alquran sendiri tidak melegitimasi peperangan kecuali demi tujuan sebagaimana
berikut ini: Pertama, demi mempertahankan hak-hak umat Islam dan
perampasan atas kemerdekaannya (QS. al-Baqarah: 191); Kedua, memberantas fitnah dan menanggulangi
perampasan hak-hak asasi manusia (HAM), yang menyumbat kebebasan individu umat
Islam (QS. al-Baqarah: 193); Ketiga, membela diri dari agresi kafir (QS. al-Taubat:
36).
Peperangan yang disyariatkan dalam Islam, dan yang dipandang sebagai jihad adalah
perang-perang dengan tujuan di atas. Sedang peperangan selain itu hukumnya adalah tercela
dan tidak bisa dikategorikan jihad fi sabilillah. Menurut satu pendapat, tidak
semua peperangan bisa disebut jihad. Hanya yang murni bertujuan menegakkan
agama Islam yang disebut jihad. Demikian pula
jihad akan menjadi tercela jika
disertai tujuan tercela seperti peperangan yang dipicu oleh motivasi
mendapatkan harta rampasan perang, unjuk kekuatan, unjuk keberanian,
kesombongan, pamer, fanatisme golongan (‘ashâbiyah), balas dendam,
kecemburuan, rivalitas (munâfasah), permusuhan (‘adâwah) dan
memperebutkan kedudukan. Hal ini selaras dengan penjelasan Sa`îd Hawwa dalam kitab Al-Islâm-nya, “Jihad
yang dilakukan oleh umat Islam adalah untuk kemenangan agama dan tegaknya syariat
Allah swt., bukan untuk tujuan-tujuan yang lainnya. Usaha yang dilakukan oleh
umat Islam untuk melindungi Dârul Islam dengan menjalankan syarat-syarat yang
telah ditetapkan adalah semata-mata karena Allah swt., bukan untuk mendapatkan ghanimah (harta
rampasan perang) atau nama harum. Usaha yang
dilakukan untuk membela tanah air, bangsa, keluarga, dan
keturunan adalah usaha yang diniati untuk menjaga semua itu dari hal-hal yang
mengancam agama Allah swt...”
Diriwayatkan juga dari Abi Musa r.a., ia berkata, “Rasulullah SAW. pernah ditanya
tentang orang yang perang dengan gagah berani, orang yang perang dengan penuh
semangat dan orang yang perang karena pamrih; siapakah di antara mereka yang
termasuk fi sabilillah? Rasullullah SAW. menjawab, “Orang
yang berperang karena untuk meninggikan kalimat Allah swt. dialah yang berada
dalam jalan Allah swt...” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya dengan tujuan ini sajalah
kesyahidan bisa diperoleh. Dan jangan mengharapkan kematian syahid apabila
sewaktu perang tujuan mulia ini bukan menjadi tujuan utamanya, di samping
tentunya ada kematian-kematian yang dianggap syahid selain dalam medan perang
sebagaimana keterangan para ahli fikih.
Jelaslah sudah bahwa Islam tidak pernah menjadikan penghancuran sebagai
motif jihad, melainkan lebih dikonsentrasikan pada tujuan perlindungan terhadap
agama Allah (hifzhu al-dîn), memelihara kebebasan individu dari agresi
penjajah, pemberantasan fitnah, dan sebagainya. Sedangkan, penggunaan teror
yang bertujuan melumpuhkan lawan, menghancurkan dan melumpuhkan kekuatan
bertarung, sehingga dapat menghancurkannya adalah soal strategi. Dan
strategi semacam itu tidak pernah lepas dari semua peperangan sepanjang
sejarah.
Dengan demikian, dalam konteks ini membela NKRI yang butuh
akan proteksi dan pembelaan dapat dikatakan jihad -tentunya jika
motivasi pelaku sesuai dengan ketentuan jihad yang
telah diterangkan sebelumnya- karena Indonesia merupakan Dârul Islam (Negara Islam) berdasarkan argumentasi
bahwa kaum muslimin
merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam di negara ini sesuai kandungan pasal 29 ayat (2) UUD 1945
yang menyebutkan bahwa negara menjamin kebebasan beragama bagi warga negaranya.
Di samping itu juga karena dahulu kawasan Indonesia telah dikuasai Kerajaan
Islam yang dalam pandangan ulama fikih ditetapkan sebagai salah satu kriteria Dârul
Islam.
Pandangan inilah
yang menjadi motif syar`i bagi pejuang-pejuang muslim Indonesia di masa
lalu untuk berani mengangkat senjata dan bertempur
melawan para penjajah demi membela dan mempertahankan
kedaulatan Indonesia. Juga menjadi alasan para ulama Nusantara untuk tetap
menerima Indonesia dengan tangan terbuka dan ikut berperan aktif menyumbangkan amal-amal
nyata demi kemaslahatan bangsa dan negaranya. Karena mereka memandang Indonesia
adalah bagian dari bumi Allah, dan “kawasan amal dan dakwah” dari ajaran Islam
yang universal (Kaffatan lin-nas dan Rahmatan lil-'alamin).
Dengan
demikian, negara Indonesia bagi umat Islam Indonesia wajib dipelihara dan
dikembangkan. Sebab, Indonesia layaknya bangunan yang kita ikut membentuknya
sejak awal.
PENUTUP
Negara adalah tempat tinggal dimana
agama diimplementasikan dalam kehidupan. Kita menyadari bahwa kehidupan
berbangsa dan bernegara adalah “realitas kehidupan” yang diyakini merupakan
bagian dari kebutuhan primer dan tanpanya kemaslahatan hidup tidak terwujud.
Keberadaan Negara Indonesia bagaimanapun kondisinya, adalah anugerah dari Allah swt.,
yang wajib disyukuri seluhur-luhurnya, dengan melestarikannya, mengembangkannya
dan membangunnya sepanjang zaman. Jika tidak ada negara pasti tidak akan ada
ketertiban, keamanan, dan keadilan. Supaya hidup tertib, aman, dan damai maka
diperlukan negara. Negara sendiri akan tegak berdiri jika dipertahankan oleh
setiap warga negaranya.
Membela negara sangat penting
dilakukan oleh setiap warga negaranya. Begitu pentingnya membela negara hingga Rasulullah SAW. pun
memasukkannya sebagai salah satu butir Piagam Madinah. Dan semua itu ditetapkan sebagai wujud
memakmurkan bumi Allah.
Dalam konteks Indonesia saat ini, upaya bela negara dapat diwujudkan tidak hanya
dengan melindungi negara dari musuh atau sekedar tugas kemiliteran, melainkan juga
dapat direalisasikan dengan ikut berpartisipasi mempertahankan dan memajukan
tanah air tercinta dalam semua aspek kehidupan seperti ekonomi, pendidikan,
politik, pertanian, sosial budaya dan teknologi informasi. Partisipasi ini sangat penting agar dapat menunjang
usaha NKRI untuk mewujudkan tujuan bernegara dan menjaga kelangsungan hidupnya.