Media Informasi Dan Dakwah Pondok Pesantren Al-Ihsan Gembong

IMAM AT-TIRMIDZȊ; IMAM HADIS YANG DISEGANI

IMAM AT-TIRMIDZȊ; IMAM HADIS YANG DISEGANI


Khazanah keilmuan Islam klasik mencatat sosok Imam at-Tirmidzȋ sebagai salah satu periwayat dan ahli hadis utama, selain Imam Bukhâri, Imam Muslim, Imam Abû Dâwud, dan sederet nama lainnya. Karyanya, kitab al-Jâmi', atau biasa dikenal dengan kitab Jâmi' at-Tirmid, menjadi salah satu rujukan penting berkaitan masalah hadis dan ilmunya, serta termasuk dalam Kutubus-Sittah (enam kitab pokok di bidang hadis) dan ensiklopedia hadis terkenal. Sosok penuh tawaduk dan ahli ibadah ini tak lain adalah Imam at-Tirmidzȋ.

Dilahirkan pada tahun 209 H. (824 M.)  di kota Tirmizd, Imam at-Tirmidzȋ bernama lengkap Imam al-Hâfizh Abû `Ȋsâ Muhammad bin `Ȋsâ bin Saurah bin Mûsâ bin Adh-Dhahhâk as-Sulamȋ at-Tirmidzȋ. Sejak kecil, Imam at-Tirmidzȋ gemar belajar ilmu dan mencari hadis. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri, antara lain Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain.

Dalam lawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadis untuk mendengar hadis dan kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhârȋ, Imam Muslim, dan Imam Abû Dâwud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishâk bin Mûsâ, Mahmûd bin Ghailan, Sa`ȋd bin `Abdurrahmân, `Alȋ bin Hajar, Ahmad bin Munȋ', dan lainnya.

Perjalanan panjang pengembaraannya mencari ilmu, bertukar pikiran, dan mengumpulkan hadis itu mengantarkan dirinya sebagai ulama hadis yang sangat disegani kalangan ulama semasanya. Kendati demikian, takdir menggariskan lain. Daya upaya mulianya itu pula yang pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tunanetra. Dalam kondisi seperti inilah, Imam at-Tirmidzȋ meninggal dunia. Ia wafat di Tirmidz pada usia 70 tahun (279 H./892 M.)

Di kemudian hari, kumpulan hadis dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama, di antaranya; Makhûl Ibnul-Fadhl, Muhammad bin Mahmûd `Anbar, Hammâd bin Syâkir, `Abd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haitsam bin Kulaib asy-Syâsyȋ, Ahmad bin Yûsuf an-Nasafȋ, Abûl-`Abbâs Muhammad Al-Mahbûbȋ, yang meriwayatkan kitab Al-Jâmi' darinya, dan lain-lain. Mereka ini pula murid-murid Imam at-Tirmidzȋ.

Banyak kalangan ulama dan ahli hadis mengakui kekuatan dan kelebihan dalam diri Imam at-Tirmidzȋ. Selain itu, kesalehan dan ketakwaannya pun tak dapat diragukan lagi. Salah satu ulama itu, Ibnu Hibbân al-Bustȋ, pakar hadis, mengakui kemampuan at-Tirmidzȋ dalam menghafal, menghimpun, menyusun, dan meneliti hadis, sehingga menjadikan dirinya sebagai sumber pengambilan hadis para ulama terkenal, termasuk Imam Bukhârȋ.

Sementara kalangan ulama lainnya mengungkapkan, Imam at-Tirmidzȋ adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah, dan sangat teliti. Kisah yang dikemukakan al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Tahdzȋbut-Tahdzȋb-nya, dari Ahmad bin `Abdullâh bin Abû Dâwud, berikut adalah salah satu bukti kelebihan sang Imam.

    "Saya mendengar Abû `Ȋsâ at-Tirmidzȋ berkata, "Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid buku berisi hadis-hadis berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Dia mengira bahwa 'dua jilid kitab' itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya bertemu dengannya, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadis, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadis yang telah dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang ternyata masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Melihat kenyataan itu, ia berkata, Tidakkah engkau malu kepadaku? Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. Coba bacakan! perintahnya. Aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku? Aku menjawab, Tidak. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadis yang lain. Ia pun kemudian membacakan 40 hadis yang tergolong hadis-hadis sulit atau gharȋb lalu berkata, Coba ulangi apa yang kubacakan tadi! Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai, dan ia berkomentar, Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.
Selain dikenal sebagai ahli dan penghafal hadis, mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, Imam at-Tirmidzȋ juga dikenal sebagai ahli fikih dengan wawasan dan pandangan luas. Pandangan-pandangan tentang fikih itu misalnya, dapat ditemukan dalam kitabnya al-Jâmi'.

Kajian-kajiannya mengenai persoalan fikih ini pula mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Sebagai tamsil, penjelasannya terhadap sebuah hadis mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: "Muhammad bin Basysyar bin Mahdȋ menceritakan kepada kami. Sufyân menceritakan kepada kami, dari Abȋ az-Zunâd, dari al-Arai dari Abû Hurairah, dari Nabi e, bersabda: Penangguhan membayar utang (yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya." Bagaimana penjelasan sang Imam? Berikut ini komentar beliau, "Sebagian ahli ilmu berkata: Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhȋl) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtâl) tidak dibolehkan menuntut kepada muhȋl. Sementara sebagian ahli lainnya mengatakan: Apabila harta seseorang (muhtâl) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhâl 'alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhȋl). Alasannya adalah, tidak ada kerugian atas harta benda seorang muslim. Menurut Ibnu Ishâk, perkataan 'Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim' ini adalah: 'Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu'." Demikian penjelasan Imam at-Tirmidzȋ.

Ini adalah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, betapa cemerlangnya pemikiran fikih Imam at-Tirmidzȋ dalam memahami nash-nash hadis, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu. Hingga meninggalnya, Imam at-Tirmidzȋ telah menulis puluhan kitab, diantaranya: kitab al-Jami', terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmid, al-'Ilal, at-Târȋkh, asy-Syamâ'il an-Nabawiyyah, az-Zuhd, dan al-Asmâ' wal-Kunâ.

Selain dikenal dengan sebutan Jâmi'ut-Tirmid, kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan at-Tirmid. Di kalangan muhadditsȋn (ahli hadis), kitab ini menjadi rujukan utama, selain kitab-kitab hadis lainnya dari Imam Bukhârȋ maupun Imam Muslim.

Kitab Sunan at-Tirmid dianggap sangat penting lantaran kitab ini betul-betul memperhatikan ta'lȋl (penentuan nilai) hadis dengan menyebutkan secara eksplisit hadis yang sahih. Itu sebabnya, kitab ini menduduki peringkat keempat dalam urutan Kutubus Sittah, atau menurut penulis buku Kasyfuzh-Zhunûn, Hâjȋ Khalȋfah (w. 1657), kedudukan Sunan at-Tirmid berada pada tingkat ketiga dalam hierarki Kutubus Sittah.

Tidak seperti kitab hadis Imam Bukhârȋ, atau yang ditulis Imam Muslim dan lainnya, kitab Sunan at-Tirmid dapat dipahami oleh siapa saja, yang memahami bahasa Arab tentunya. Dalam menyeleksi hadis untuk kitabnya itu, Imam at-Tirmidzȋ bertolak pada dasar apakah hadis itu dipakai oleh fuqahâ (ahli fikih) sebagai hujjah (dalil) atau tidak. Sebaliknya, at-Tirmidzȋ tidak menyaring hadis dari aspek hadis itu daif atau tidak. Itu sebabnya, ia selalu memberikan uraian tentang nilai hadis, bahkan uraian perbandingan dan kesimpulannya.

Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua hadis yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua hadis, yaitu: Pertama, yang artinya: "Sesungguhnya Rasulullah r menjamak shalat Dhuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab takut dan dalam perjalanan.'' Juga hadis, "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia." hadis mengenai hukuman untuk peminum khamar ini adalah mansûkh (terhapus) dan ijmak ulama pun menunjukkan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh hukumnya melakukan shalat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sȋrȋn dan Asyab serta sebagian besar ahli fikih dan ahli hadis juga Ibnu Mundzir.

Beberapa keistimewaan Kitab al-Jâmi' atau Sunan at-Tirmid adalah, pencantuman riwayat dari sahabat lain mengenai masalah yang dibahas dalam hadis pokok (Hadȋtsul-Bâb), baik isinya yang semakna maupun yang berbeda, bahkan yang bertentangan sama sekali secara langsung maupun tidak langsung.

Selain itu, keistimewaan yang langsung kaitannya dengan `ulûmul-hadȋts (ilmu-ilmu hadis) adalah masalah ta'lȋlul-hadȋts. Hadis-hadis yang dimuat disebutkan nilainya dengan jelas, bahkan nilai rawinya yang dianggap penting. Kitab ini dinilai positif karena dapat digunakan untuk penerapan praktis kaidah-kaidah ilmu hadis, khususnya ta'lȋlul-hadȋts tersebut.