Sejak
reformasi, Indonesia telah menyelenggarakan beberapa kali pemilu legislatif dan
pemilu presiden serta ratusan kali pemilu kepala daerah. Nyaris sepanjang tahun
rakyat terlibat dalam kegiatan pemilu, yang secara tidak langsung mengurangi
konsentrasi masyarakat dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Rakyat
memegang penuh kedaulatan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung (vox
populi vox dei).
Sampai
di sini seakan-akan Indonesia telah berubah wajah: dari negara otoriter menjadi
negara tempat bersemayamnya kehidupan demokrasi yang subur. Tetapi setelah reformasi berjalan belasan tahun, dewasa
ini rakyat justru menghadapi kondisi yang dirasakan tidak wajar dan tidak
semestinya. Hiruk pikuk kegiatan politik, baik yang berlangsung secara reguler
seperti pilkada atau pileg/pilpres, maupun kegiatan politik insidensial yang
lahir dari dinamika politik yang sangat tinggi, belum berbanding lurus dengan
perbaikan kesejahteraan rakyat. Proses demokrasi yang berjalan amat cepat juga memunculkan banyak masalah.
PILKADA
Persoalan Pilkada sangat berkaitan dengan UU No. 32 tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah Juncto UU No.12 Tahun 2008. Salah satu poin
penting yang diatur dalam UU ini adalah mengenai pemilihan kepala daerah, yaitu
gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota,
secara langsung oleh rakyat. Di dalam pasal 18 ayat (4) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa gubernur dan bupati /walikota dipilih
secara demokratis. Ini merupakan keputusan politik yang berani dan ada lompatan
jauh dibanding periode sebelumnya.
Sistem pilkada termasuk salah satu sarana (wâshilah)
untuk memilih calon kepala daerah, di mana kemenangan kandidat itu harus
memenuhi kuorum. Dalam Islam sendiri, mekanisme seperti ini tidak dikenal,
karena metode pemilihan pemimpin (nashbul-Imâm) yang dikenal dan diatur dalam fikih
Islam hanya ada tiga, yaitu: 1) Lewat ahlul-ikhtiyâr (ahlul halli wal 'aqdi).
2) Pengangkatan/penunjukan imam sebelumnya. 3) Lewat cara syaukah
(pengambilalihan kekuasaan). Meski demikian, oleh karena pilkada merupakan satu-satunya
sarana untuk merealisasikan pemilihan kepala daerah yang ashlah (paling
layak) an a'dal (paling adil) sesuai tuntutan agama, sebab pemerintah
Indonesia telah menetapkannya dalam undang-undang, maka mengikuti pilkada atau
pilgub bagi rakyat Indonesia yang mempunyai hak pilih adalah wajib, dalam arti tidak
boleh golput, sebab dapat menguntungkan calon lain yang tingkat kelayakannya
kurang menurut sudut pandang agama. Hal ini sesuai dengan kaidah lil wasâil hukmul-maqâshid (sarana untuk mencapai tujuan
hukumnya sama dengan tujuan yang dimaksud).
Pengangkatan kepala daerah melalui mekanisme ini juga
tetap disahkan secara syara` mengacu pada darurat kepemimpinan dzû syaukah. Dalam Bughyatul-Mustarsyidȋn (hlm. 527) disebutkan, “Makna dzû syaukah (orang
berpengaruh) adalah patuh, taat, dan tunduk pada perintahnya, meskipun orang
itu tidak memiliki kelengkapan negara layaknya sulthân, seperti alutsista
militer, tentara serdadu, dan semacamnya yang membuat kedudukannya
diperhitungkan. Sebagaimana kelengkapan negara ini lazim dimiliki oleh para
pemimpin negara, pemimpin massa, serta pemuka hauthah yang ditaati atas
asas kepercayaan dan pengabdian.” Dan bagi seluruh rakyat diwajibkan menaati kepala daerah yang dipilih
dengan mekanisme ini selama yang
terpilih bukan orang nonmuslim.
Lalu
siapakah calon kepala daerah yang harus dipilih? Para ahli fikih memberikan
arahan bahwa yang harus dipilih adalah calon yang ashlah (sudah
memenuhi kualifikasi syariat dan mempunyai nilai lebih). Namun
bila hasil polling menunjukkan bahwa yang ashlah kurang
mendapatkan respek dari masyarakat, maka yang dipilih adalah calon yang shâlih
(sudah memenuhi kualifikasi syariat namun tidak mempunyai nilai lebih/di
bawah tingkatan calon yang ashlah).
Meski
pemimpin yang terpilih lewat pilkada dapat dilegalkan syariat, namun tidak serta merta pilkada bersih dari
masalah. Rakyat memang dapat menikmati hasil proses demokrasi melalui pilkada, yaitu hadirnya kepala daerah yang memiliki legitimasi
politik yang kuat. Akan tetapi sejak digelarnya pilkada secara langsung oleh
rakyat, telah muncul sikap aji mumpung, pragmatisme, dan budaya politik uang
yang mengakibatkan tersingkirnya orang-orang yang memiliki integritas
kepemimpinan yang baik, tetapi tidak cukup memiliki kapital untuk maju menjadi
kepala daerah. Harapan rakyat agar mendapatkan kepala daerah
yang benar-benar membela dan menyejahterakan rakyat, yang setia pada
konstitusi, jujur dan terbuka, kemudian dapat menghilangkan budaya KKN di
lingkungan pemerintahan sering tidak terwujud. Terbukti, banyak sekali kepala
daerah dan pejabat-pejabatnya yang tersangkut kasus-kasus KKN, seolah milyaran.
Di samping itu, penyelengaraan
pilkada di seluruh penjuru daerah ternyata juga membengkakkan anggaran pemilu.
Kriteria dan persyaratan seorang kepala daerah yang diatur
oleh undang-undang juga menimbulkan masalah, karena dalam pilkada, posisi muslim
dan nonmuslim, pria dan wanita adalah setara; kesemuanya berhak mencalonkan
diri sebagai kepala daerah. Inilah konsekuensi dari prinsip demokrasi yang
terkandung dalam mekanisme pilkada. Dengan menganut prinsip demokrasi, semua
orang di mata hukum dan negara adalah setara dalam hak-haknya untuk ikut
berpartisipasi dalam kepemimpinan negara/daerah tanpa memandang latar belakang
agama dan gender.
Oleh karena itu, revisi
dan perbaikan beberapa materi
UU bidang politik yang
terkait dengan permasalahan ini adalah hal yang urgen untuk dilakukan agar arah reformasi tidak
berjalan
semakin liar.
KEPEMIMPINAN NONMUSLIM DAN WANITA
Persoalan
kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting dan strategis, karena ia
sangat menentukan nasib keluarga, kelompok, masyarakat, dan bangsa. Sejarah
telah membuktikan bahwa di antara ciri masyarakat yang unggul dan menguasai
peradaban adalah masyarakat yang memiliki pemimpin yang berwibawa, tegas, adil,
berpihak pada kepentingan rakyat, memiliki visi yang kuat, dan mampu
menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik.
Ajaran
Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan variable yang tidak boleh
diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara. Alquran telah banyak
memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik
dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Contohnya adalah kisah Nabi Yûsuf, seorang
nabi yang juga dipercaya memegang amanah mengelola keuangan dan perekonomian
masyarakat. Nabi Yûsuf AS. dengan bermodalkan kejujuran dan kecerdasannya mampu menyelamatkan Mesir dari krisis pangan
dan krisis ekonomi berkepanjangan. “Berkata Yûsuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."(QS. Yûsuf
:55)
Demikian
pula dengan kepemimpinan Rasulullah SAW. yang mampu menciptakan revolusi peradaban hanya dalam
waktu 23 tahun. Beliau adalah tipikal pemimpin yang luar biasa dan tidak ada
tandingannya. Potensi para sahabat mampu dioptimalkan dengan baik sehingga
mereka dapat memerankan dirinya sebagai `anâshirut-taghyîr atau agen-agen perubahan masyarakat ke arah yang lebih
baik dan lebih positif.
Kesemuanya
membuktikan bahwa persoalan kepemimpinan bukan persoalan kecil yang dapat
dipermainkan. Ia adalah persoalan serius yang terkait dengan urusan dunia dan
akhirat yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Maka
dari itu, Islam melarang kaum muslim mengangkat pemimpin nonmuslim dan pemimpin
wanita.
Untuk
larangan kepemimpinan nonmuslim, ada beberapa ayat yang menunjukkannya, di antaranya firman Allah SWT., “Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian,
niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah...” (Qs. `Alî `Imrân: 28) Dalam ayat ini ajaran Islam
melarang seorang mukmin menjadikan nonmuslim sebagai penolong (Walȋ jamaknya
adalah auliyâ, berarti teman yang akrab, juga
berarti pemimpin, pelindung atau penolong), begitu juga ajaran Islam melarang
seorang mukmin menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin mereka.
Alquran
melarang orang-orang
beriman dan bertakwa untuk menjadikan orang kafir (tidak
beriman dan bertakwa) sebagai pemimpin. Sebab, yang demikian itu akan merugikan
mereka sendiri, baik dalam urusan agama maupun dalam kepentingan umat (rakyat).
Hal ini terutama jika kepentingan orang kafir lebih diutamakan daripada
kepentingan kaum muslim sendiri, sehingga membantu
tersebar luasnya kekafiran dan memperkuat posisi orang-orang kafir. Larangan ini tidak lain hanyalah untuk menjaga dan memelihara kemaslahatan
agama agar kaum muslim tidak terganggu dalam urusan dan usahanya untuk mencapai
tujuan yang dikehendaki oleh agamanya.
Tugas dan tanggungjawab seorang
kepala daerah sangatlah besar. Seorang kepala daerah harus
tahu betul permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsanya. Ia harus
sering melakukan kontrol pemerintahan, memeriksa kondisi dan keadaan
masyarakatnya, memimpin dan me-manage segala urusan pemerintahan. Kepala daerah juga
harus orang yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan dan kesehatan jasmani yang
prima agar bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Melihat tugas sebesar dan seberat ini, Islam pun
mensyaratkan seorang pemimpin tidak boleh dari kaum perempuan, karena berdasarkan
tabiatnya, tugas-tugas ini
tentunya sangat berat dan melelahkan baginya.
Minimal ada dua dalil yang dapat dijadikan alasan untuk melarang keterlibatan wanita dalam bidang kepemimpinan. Larangan kepemimpinan wanita dapat kita pahami dari firman Allah dalam surat an-Nisâ`:34. Berkaitan dengan ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa lelaki adalah pemimpin wanita, hakim atasnya, dan pendidiknya. Oleh karena lelaki itu lebih utama dan lebih baik, sehingga kenabian pun dikhususkan pada kaum lelaki, demikian pula kepemimpinan negara (atau daerah). Superioritas lelaki ini menurut Râsyid Ridhâ terjadi karena dua sebab, yaitu fitri dan kasbî. Sebab fitri adalah bahwasanya lelaki lebih kuat, lebih tegap dan sempurna. Sementara sebab kasbî terlihat bahwa laki-laki lebih mampu berusaha, berinovasi dan bergerak. Oleh karena itu, lelaki dituntut untuk memberi nafkah kepada perempuan, menjaga dan memimpinnya. Di pihak lain, perempuan diberi fitrah mengandung, melahirkan, menyusui dan mendidik anak.
Alasan kedua adalah sabda Rasul SAW., “Tidak akan sukses suatu kaum
yang menyandarkan urusan (kepemimpinan) mereka pada wanita.” Riwayat lain
disebutkan, “Tidak akan sukses suatu kaum yang memasrahkan (kepemimpinan) mereka
kepada wanita. “(HR. Bukhârî, Tirmidzî, Nasâ`î, dan Ahmad).
Ancaman Nabi yang ditunjukkan hadis ini berimplikasi jauh, yakni perempuan tidak boleh menjadi
pemimpin, karena dapat mengakibatkan dampak negatif (kesengsaraan kaum/rakyat
yang dipimpinnya).
Memang, pada zaman dulu pernah ada seorang pemimpin
perempuan yang kita kenal dengan Ratu Bilqis dan itu juga diterangkan dalam
Alquran (QS. an-Naml: 23‒24). Namun, ayat yang menceritakan kepemimpinan Ratu Bilqis dan
kaum Saba` ini berkaitan dengan peristiwa sejarah dan kita mengetahui bahwa
sejarah tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.
Ketetapan di atas bukan merupakan bentuk diskriminasi
pada kaum perempuan sebagaimana yang dituduhkan para penganut feminisme. Karena
pada dasarnya Islam tidak pernah
bersikap diskriminatif terhadap mereka. Islam telah
berupaya mendudukkannya pada posisi yang sesuai dengan porsi kewanitaannya.
Bahkan ada hak wanita yang melebihi dari hak laki-laki, seperti hak Hadhânah (mengasuh
anak). Adapun gerakan feminisme yang
berjuang untuk menyetarakan
antara wanita dengan laki-laki di segala bidang, dengan tanpa mempertimbangkan
faktor fisik, psikologis dan kewajiban yang diemban masing-masing pihak‒seperti yang digembor-gemborkan para
pembela feminisme‒adalah sesuatu yang tidak lazim dan jelas-jelas
salah menurut pandangan syara`.
PENUTUP
Sumber
institusi kepemimpinan (khilâfah) dalam Islam adalah dari Allah SWT. yang diberikan kepada para rasul-Nya (QS.
Shâd: 26). Kepemimpinan ini adalah khilâfatun-nubuwwah
di mana tujuan dan fungsi utamanya menurut Islam adalah menggantikan (successor)
tugas Rasulullah dalam urusan agama dan negara. Tugas seberat ini tidak mungkin bisa
dijalankan dengan benar kecuali oleh seorang yang
mukmin yang
meyakini agamanya dan mampu serta
layak. Oleh karena
itulah, logis bila Islam menetapkan syarat-syarat tertentu untuk seorang calon
pemimpin, di antaranya harus beragama Islam dan laki-laki.
Hal
ini berbeda dengan prinsip demokrasi yang diterapkan dalam pemilihan kepala daerah
di Indonesia. Di mata demokrasi, semua orang berposisi sama dan setara dalam
hak-haknya untuk ikut berpartisipasi dalam kepemimpinan negara/daerah, baik muslim
maupun nonmuslim, laki-laki maupun perempuan. Konsekuensinya, sebuah daerah boleh-boleh
saja dipimpin oleh pemimpin nonmuslim dan pemimpin perempuan. Padahal kepemimpinan nonmuslim dan perempuan jelas-jelas dilarang
agama.
Karena itu, salah satu ikhtiar strategis yang penting
untuk dilakukan adalah melakukan kajian dan perbaikan beberapa UU bidang
politik, khususnya merevisi sistem dan aturan pelaksanaan pemilihan kepala
daerah secara langsung oleh rakyat sehingga arah pilkada tidak sampai menerjang
aturan agama. Revisi ini juga agar memungkinkan
lahirnya persaingan yang sehat dalam proses pilkada; tidak ada lagi pragmatisme,
aji mumpung dan money politic.
Dan sejak awal dimulainya pemerintahan yang baru, setiap
partai politik haruslah sudah mempersiapkan kadernya yang berkualitas yang akan
diajukan sebagai calon kepala daerah agar sejak awal telah memiliki idealisme
untuk memperjuangkan kepentingan pembangunan, baik tingkat nasional maupun daerah guna menghindari
munculnya calon “pemimpin karbitan” yang muncul secara tiba-tiba akibat
dukungan kekuatan relasi dan finansial.
Sekali lagi,
persoalan kepemimpinan adalah persoalan yang serius yang kelak akan dimintai
pertanggungjawabannya di hadapan Allah ta'ala.
Karena itu, kita harus berhati-hati dalam memilih pemimpin, karena salah
memilih pemimpin dan salah dalam meletakkannya, berarti sama dengan
berkontribusi dalam menciptakan kesengsaraan masyarakat.