Mendekati momen akhir tahun ini, penulis teringat pengalaman beberapa tahun silam, tepatnya ketika telah berada di ambang pintu mutakharrijîn (kelas III Aliyah). Tatkala masa liburan akhir tahun semakin terasa dekat, penulis justru dihadapkan dengan tugas baru yang semakin padat. Tugas yang benar-benar baru, di luar zona nyaman, yaitu menulis. Tugas ini dilakukan secara kolektif bersama tim Karya Ilmiah Kelas III Aliyah dengan mengangkat tema tentang fikih zakat. Bahan-bahan tulisan kebanyakan diambil dari kitab-kitab kuning. Dalam menyusun karya ilmiah tersebut, penulis dkk. harus menerjemahkan bab-bab yang telah ditentukan dan merangkumnya menjadi sebuah tulisan jadi.
Karena tugas menerjemah dan merangkum ini sudah menjadi amanah, mau tidak mau penulis harus menghadapinya dengan penuh tanggung jawab, meski dengan memaksakan diri.
Alhamdulillah, setelah berupaya keras selama kira-kira dua bulan, akhirnya penulis dkk. bisa merampungkan tulisan itu. Buku pun naik cetak. Beberapa minggu sesudahnya, buku itu telah dibagikan sebagai kenang-kenangan Kelas III Aliyah.
Dari pengalaman ini penulis mendapatkan pelajaran penting, bahwa satu-satunya jalan keluar setiap kali berhadapan langsung dengan tantangan-tantangan
baru adalah dengan menjalaninya. Mundur dari tantangan sering hanya akan menghambat
perkembangan kita dan membatasi kita dari menemukan cara baru untuk membuat
perbedaan, sekecil apapun, baik bagi diri kita maupun bagi orang lain.
Kita diberi Tuhan sebuah kesempatan untuk belajar dari tantangan-tantangan baru tersebut sebagai jalan untuk menggali potensi terpendam kita. Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang akan menentukan sejarah hidup kita. Tepat sekali perkataan Henry Ward Beecher, “Kita selalu ditempa oleh ujian-ujian yang disiapkan Tuhan untuk membentuk diri kita agar memfokuskan pada hal-hal yang lebih tinggi.”
Kita diberi Tuhan sebuah kesempatan untuk belajar dari tantangan-tantangan baru tersebut sebagai jalan untuk menggali potensi terpendam kita. Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang akan menentukan sejarah hidup kita. Tepat sekali perkataan Henry Ward Beecher, “Kita selalu ditempa oleh ujian-ujian yang disiapkan Tuhan untuk membentuk diri kita agar memfokuskan pada hal-hal yang lebih tinggi.”
APAKAH MENERJEMAH ITU?
Menerjemah, itulah awal dari pengalaman menulis penulis yang “resmi”
sebagaimana yang telah penulis ceritakan di atas. Bagi seseorang seperti penulis yang
termasuk kategori penulis “bau kencur”, menerjemah merupakan
langkah awal yang “pas” dengan kondisi “pas-pasan” penulis. Diakui atau tidak, para penulis
pemula pasti sering mengalami kekurangan ide atau topik yang
akan ditulis, bahkan mungkin tidak punya ide sama sekali (blank). Kendala itulah yang acap kali menghalangi dan mengurangi
semangat mereka untuk mewujudkan keinginan
menulis. Hal ini saya rasakan sendiri. Dan menurut penulis, menerjemah adalah
jalan keluarnya.
Lantas apakah menerjemah itu? Menerjemah menurut bahasa adalah tafsir (Lihat:
Loius Ma`luf, al-Munjid fil-Lughât wal-A`lâm, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986. hlm. 60). Sedangkan menurut istilah, menerjemah
adalah memindahkan atau menyalin gagasan, ide, pikiran, pesan atau informasi
lainnya dari satu bahasa ke dalam bahasa lain. Hal ini harus dilakukan dengan
cara sedekat dan sehalus mungkin, baik pengertian atau makna maupun gaya yang
digunakan oleh bahasa aslinya, sebagaimana penjelasan Eugne A. Nida dan Charles
R. Taber yang dikutip oleh Paulinus Soge dalam buku “Menerjemahkan Teks
Bahasa Inggris Ilmiah; Teori dan Praktek” (Yogyakarta: Universitas Atmajaya,
1996, hlm. 5).
Dari definisi atas, dapat disimpulkan bahwa menerjemahkan secara umum
adalah memindahkan gagasan, ide atau pikiran dalam suatu bahasa ke dalam bahasa
lain. Bahasa pertama disebut bahasa
sumber atau bahasa asli (source language/ al-lughah al-manqûl minha/ lughatul-matn) dan bahasa kedua disebut bahasa target atau bahasa sasaran (target
language/ al-lughah al-manqûl ilaiha/ lughatusy-syarh).
Secara lebih khusus, Muhammad Najib, dalam Ususut-Tarjamah menegaskan bahwa tarjamah
adalah tafsir. Ungkapan ini menyugestikan bahwa seorang penerjemah adalah
seorang penafsir. Karena itu, penerjemah adalah orang yang bertanggung jawab
untuk memahami suatu teks dalam bahasa asal (bahasa sumber) sekaligus
menyuguhkannya kepada pembaca yang menggunakan bahasa sasaran. Jadi, tugas
penerjemah adalah memahami sekaligus memahamkan.
Penerjemah yang tidak mampu memahami teks bahasa asal, berarti telah gagal sebelum melangkah. Dia hanya akan menyuguhkan karya terjemahan yang jelek, salah atau tidak menolong, kalau bukan malah membingungkan pembaca.
Dengan demikian, bekal minimal seorang penerjemah adalah pengetahuan mengenai kedua bahasa (bahasa sumber dan bahasa target), yang berupa mufradât (kosakata) istilah-istilah, frasa, gramatika, budaya pemakai kedua bahasa, karena bahasa adalah ekspresi kebudayaan dan lain-lain.
Penerjemah yang tidak mampu memahami teks bahasa asal, berarti telah gagal sebelum melangkah. Dia hanya akan menyuguhkan karya terjemahan yang jelek, salah atau tidak menolong, kalau bukan malah membingungkan pembaca.
Dengan demikian, bekal minimal seorang penerjemah adalah pengetahuan mengenai kedua bahasa (bahasa sumber dan bahasa target), yang berupa mufradât (kosakata) istilah-istilah, frasa, gramatika, budaya pemakai kedua bahasa, karena bahasa adalah ekspresi kebudayaan dan lain-lain.
Menerjemah adalah kegiatan ilmiah, bukan aktivitas yang remeh, karena
menerjemah adalah pekerjaan yang melibatkan sekumpulan teori (ilmu) dan seni.
Bahkan menerjemahkan adalah keterampilan yang melibatkan lebih banyak seni
daripada upaya dan teori. Dinyatakan Paulinus Soge yang mengutip David P.
Harris, penerjemahan sangat bergantung pada rasa kebahasaan seseorang. Dan rasa
bahasa ini berbeda pada satu individu dengan individu lainnya.
Namun demikian, kita tidak dibenarkan menafikan upaya, latihan dan
teori-teori tentang menerjemahkan. Sebab betapapun kuat dan baiknya bakat dan
rasa bahasa seseorang, jika tidak dibarengi dengan latihan praktik yang
terus-menerus dan berkelanjutan, dan teori (meski tanpa disadari), maka sulit
kita bayangkan dia akan menjadi penerjemah yang baik.
PENTINGNYA
MENERJEMAHKAN
Jepang, yang bangga disebut translation empire (kaisar terjemah), Taiwan,
Korea dan sejumlah negara Eropa untuk kasus modern, dan bangsa Arab-Islam pada
masa-masa awal dan pada abad-abad pertengahan, adalah contoh konkret bagaimana
suatu bangsa mencoba menjadi maju dengan memperkaya bahasa mereka melalui
gerakan penerjemahan bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa mereka sendiri.
Itulah salah satu tujuan mengapa kita perlu menerjemahkan karya-karya
bangsa lain yang telah dianggap lebih maju daripada kita, baik dalam bidang
ilmu, pengetahuan, kebudayaan, teknologi maupun seni. Atau dengan kata lain,
penerjemahan juga dimaksudkan untuk mencendekiakan Bahasa Indonesia. Ciri inilah
(kecendikiaan Bahasa Indonesia dengan penerjemahan) yang dapat membuat Bahasa Indonesia
mampu bertahan menghadapi persaingan dengan Bahasa Inggris dan bahasa-bahasa
maju lainnya di kalangan orang yang ingin dianggap sebagai terpelajar dan
modern.
Tujuan lain mengapa kita perlu menerjemahkan adalah untuk saling menukar informasi atau penemuan baru antara dua (atau lebih) bangsa yang menggunakan bahasa yang berbeda. Tanpa penerjemahan, bangsa yang kurang (apalagi yang belum
atau tidak) maju dan menguasai bahasa bangsa lain yang sudah maju akan
ditinggal oleh informasi dan kemajuan dunia. Namun, hal ini tidak hanya berlaku
bagi bangsa yang sedang atau belum maju
saja, tetapi juga bagi mereka yang sudah maju. Karena itu, menerjemahkan bukan
berarti keterbelakangan, justru ia adalah bentuk keterbukaan dan kehendak ikut meramaikan dunia dengan saling menukar informasi dan pengetahuan.
Tentu penerjemahan tak dapat dilakukan tanpa penguasaan yang memadai
terhadap bahasa asing ( bahasa sumber yang hendak diterjemahkan). Kemampuan dan penguasaan terhadap bahasa asing, Arab misalnya, harus ditingkatkan dan dikembangkan. Karena setiap
bangsa dituntut untuk mampu berkomunikasi dengan bahasa lain dalam segala aspek
kehidupan, terutama untuk menyerap informasi dan ilmu pengetahuan, serta teknologi,
untuk memperluas cakrawala bangsa sejalan dengan kebutuhan pembangunan. Dengan kata lain, menerjemah dapat pula digunakan sebagai metode atau media untuk mempelajari bahasa asing.
Tak diragukan lagi bahwa informasi atau khazanah ilmu-ilmu keislaman dalam
berbagai cabang dan disiplin dalam Bahasa Arab itu telah tertulis dalam jutaan
judul buku dan kitab, dan semakin hari terjadi pertambahan karya yang semakin
cepat. Meski begitu, buku-buku yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia barangkali cuma nol koma sekian persennya saja. Karena itulah, penerjemahan buku-buku
berbahasa Arab yang sering diidentikkan dengan buku-buku islami perlu dilakukan dan terus ditingkatkan.
Dewasa ini kita patut bersyukur, karena semakin bisa merasakan maraknya gerakan
penerjemahan buku-buku atau teks-teks berbahasa asing, termasuk Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Banyak penerbit yang memiliki perhatian cukup besar
untuk menerbitkan karya-karya
terjemahan dari Bahasa Arab, baik kitab klasik
maupun modern. LkiS, Pustaka Pelajar, Risalah Gusti, Pustaka Progessif, Pustaka
Amani, Pustaka Firdaus, Mizan, Gema
Insani Press, Serambi, Akbar Media, Al-Andalus dan lain-lain, adalah beberapa contohnya. Fakultas Adab IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta (kini Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta) bahkan membuka Jurusan Terjemah.
Tujuannya jelas, yaitu untuk membekali calon-calon
penerjemah dan melahirkan penerjemah yang
handal dan profesional.