Media Informasi Dan Dakwah Pondok Pesantren Al-Ihsan Gembong

FIKIH MEDIS; KASUS PERSALINAN

FIKIH MEDIS; KASUS PERSALINAN

Deskripsi masalah:

Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) telah diupayakan dalam waktu yang cukup lama, namun data dari dinas kesehatan provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa Angka Kematian Bayi (AKB) di provinsi ini sampai akhir tahun 2010 masih cukup tinggi, yaitu 104,97 / 100.000 Angka Kelahiran Hidup (AKH).

Berdasarkan pengalaman di lapangan, para tenaga kesehatan banyak menjumpai kasus kematian ibu dan bayi disebabkan antara lain masalah hukum agama, seperti kasus seorang suami menolak bantuan tenaga medis yang mau menangani proses persalinan istrinya dengan alasan tenaga medisnya laki-laki bukan mahram (bukan karena faktor biaya) hingga akhirnya Sang Suamilah yang menangani sendiri dan berakibat meninggalnya istri dan anaknya. Namun anehnya si Suami tidak menyesal atas tindakannya karena berkeyakinan istrinya mati syahid.

Pertanyaan:
Bagaimana hukum tindakan suami melarang tenaga medis laki-laki menolong persalinan istrinya dalam kasus di atas? (Pertanyaan dari: PWLBMNU Jateng).

Jawaban:
Suami tidak boleh melarang di waktu kondisi istri sudah pada tahap keadaan dharurat (mendesak/genting).

Uraian Jawaban:
Anak merupakan dambaan setiap orang, buah hati pasangan suami istri. Kelahirannya merupakan suatu anugerah besar yang memberikan kebahagiaan tersendiri. Pada para anaklah orang tua menaruh harapan besar, sebuah harapan yang tidak akan didapat dari orang lain. Karena  merekalah  yang nantinya akan meneruskan perjuangan para pendahulunya. 

Setiap orang tua berharap kelak putra-putrinya akan menjadi manusia tangguh, kuat fisik dan mentalnya. Mereka juga diharapkan akan menjadi generasi yang lebih baik, lebih maju dan mumpuni dalam menjawab tantangan zaman. Akan tetapi, butuh perjuangan yang ekstra berat bagi orang tua terutama bagi ibu untuk melahirkan seorang anak, bahkan seringkali nyawa harus dikorbankan. Sehingga karena itu ketika ada seorang wanita yang meninggal dunia saat ia berjuang melahirkan bayinya, Islam memberikan apresiasi yang tinggi kepadanya dengan mengategorikannya sebagai orang yang mati syahid (syahidul-akhirah). [Lihat: Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I`anatuth-Thalibin, Juz : 2, Hal : 108.]

Berkaitan dengan masalah persalinan, sudah diketahui bahwa ia merupakan keadaan yang sangat genting dan resiko kematian seorang ibu akibat komplikasi kehamilan atau persalinan pun sangat tinggi.

Menurut hasil kajian, di antara faktor yang seringkali dapat menyebabkan tingginya angka kematian ibu (maternal death), adalah terlambat, maksudnya terlambat untuk memutuskan mencari pertolongan pada tenaga medis, terlambat untuk datang di fasilitas pelayanan kesehatan ataupun terlambat untuk mendapatkan pertolongan pelayanan kesehatan yang cepat dan berkualitas di fasilitas pelayanan kesehatan.

Butuh berbagai upaya yang harus dilakukan untuk menurunkan kematian ibu, antara lain melalui penempatan para tenaga medis (dokter atau bidan) di berbagai tempat sehingga mereka dapat menolong para ibu hamil dalam proses melahirkan. Akan tetapi, upaya ini seringkali menimbulkan problem lain, yakni ketika tenaga kesehatan yang melayani dan menolong dalam proses melahirkan itu adalah laki-laki, dan hal kasus ini sering ditemukan di rumah-rumah sakit. Letak permasalahannya adalah karena dalam menolong ibu yang akan melahirkan, pastinya mereka tidak lepas dari melihat aurat pasiennya, persentuhan kulit dan akan terjadi percampuran antara wanita (pasien) dan laki-laki (dokter) yang bukan mahramnya.

Oleh karena itu, untuk menyikapi dan menjawab problematika yang telah mewabah ini harus terlebih dahulu memahami konsep hukum seorang tenaga medis (dokter) melihat aurat pasien dalam proses pengobatan.

Di dalam syariat Islam, telah ditetapkan larangan mengumbar aurat dan perintah untuk menjaga pandangan mata kepada obyek yang tidak diperbolehkan, lantaran perbuatan itu hanya akan mencelakakan diri dan agamanya. Allah SWT. berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ.[النور:30]

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” [QS. An-Nûr : 30].

Juga firman-Nya dalam ayat ini:

وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ...... [النور:31]

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (QS. al-Nur : 31)

Larangan melihat aurat, tidak hanya untuk yang berlawan jenis, akan tetapi Islam pun menetapkan larangan melihat aurat sesama jenis, baik antara lelaki dengan lelaki lainnya, maupun antara sesama wanita.

Selain itu juga, guna mengantisipasi terjadinya perbuatan buruk yang disebabkan karena terjalinnya hubungan bebas antara lelaki perempuan, yang dikhawatirkan  dapat menghancurkan akhlak,   mengotori   harga  diri,  dan menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak, Islam benar-benar menutup akses ke arah sana. Yaitu dengan mengharamkan terjadinya persentuhan antara kulit lelaki dan perempuan. Bahkan Rasulullah SAW. telah bersabda:


لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ

"Tertusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum besi, (itu) lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (HR. Ath-Thabrani)

Demikian sekilas prinsip pergaulan dengan lawan jenis yang telah ditetapkan Islam. Tujuannya, ialah demi kebaikan yang sebesar-besarnya.
Namun ada beberapa kondisi di mana seseorang diperbolehkan membuka auratnya atau melihat aurat orang lain. Di antaranya adalah saat berobat. 

Berobat merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam agama Islam sebab berobat termasuk upaya memelihara jiwa dan raga, dan ini termasuk salah satu tujuan syariat Islam ditegakkan. Rasulullah SAW. bersabda:

إن الله أنزل الداء والدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا ولا تداووا بحرام

”Sesungguhnya  Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud).

Islam juga telah mengajarkan kepada hambanya bagaimana cara hidup sehat, mencegah penyakit maupun mengobati bagi yang terkena penyakit. Melalui Rasulullah SAW., Islam telah memberikan contoh kepada para pemeluknya bagaimana cara menjaga kesehatan. Untuk mencegah penyakit, Nabi SAW. menganjurkan berbekam (al-hijamah), yaitu suatu cara untuk mengeluarkan darah kotor (detoxifikasi). Dan bagi yang telah terkena penyakit maka beliau menganjurkan untuk minum madu. Karena madu merupakan makanan kesehatan yang sangat dianjurkan untuk mengobati penyakit. Ia adalah obat untuk manusia. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam Surat An-Nahl ayat 69:

يَخْرُجُ مِن بُطُونِها شَرَاب مُخْتَلِف ألْوَانُهُ، فِيهِ شِفَاء لِلنَّاسِ. [النحل : 69]

“Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl : 69)

Namun, kebolehan membuka aurat dalam kondisi ini tidak berlaku secara mutlak. Islam telah menetapkan kaidah dan batasan tertentu dalam masalah ini. Untuk lebih memahami secara spesifik beberapa batasan tersebut, dapat diperjelas lagi dengan ilustrasi sebagai berikut:

1) Tetap didahulukan yang melakukan pengobatan pada pria adalah dari kalangan pria, begitu pula wanita dengan sesama wanita;

2) Ketika aurat wanita dibuka, maka yang pertama didahulukan secara berurutan adalah dokter wanita muslimah, lalu dokter wanita kafir, lalu dokter pria muslim, kemudian dokter pria kafir;

3) Jika dicukupkan yang memeriksa adalah dokter wanita umum, maka tidak diperbolehkan membuka aurat pada dokter pria spesialis. Jika dibutuhkan dokter spesialis wanita lalu tidak didapati, maka boleh membuka aurat pada dokter spesialis pria;

4) Tidak boleh melebihi dari bagian aurat yang ingin diperiksa. Jadi, cukup memeriksa pada aurat yang ingin diperiksa, tidak lebih dari itu. Si Dokter juga berusaha menundukkan pandangannya semampu dia;

5) Jika dapat mendeteksi penyakit tanpa membuka aurat, maka itu sudah mencukupi. Namun jika ingin mendeteksi lebih detail, kalau cukup dengan melihat, maka jangan dilakukan dengan menyentuh. Jika harus menyentuh dan bisa dengan pembatas (penghalang seperti kain), maka jangan menyentuh langsung. Demikian seterusnya;

6) Disyaratkan ketika seorang dokter pria mengobati pasien wanita jangan sampai terjadi khalwat (berduaan antara pria dan wanita). Hendaklah wanita tadi bersama suami, mahram atau wanita lain yang terpercaya. [Lihat: Sirajuddin Abu Hafsh ‘Umar bin ‘Ali bin Ahmad al-Mishriy, Tuhfatul-Muhtaj, Juz : 29, Hal : 262-263.];

7) Dokter pria yang memeriksa harus benar-benar amanah, bukan yang berakhlak dan beragama yang jelek;

8) Jika auratnya adalah aurat mughallazhah (yang lebih berat dalam perintah ditutupi), maka semakin dipersulit dalam melihatnya. Hukum asal melihat wanita adalah pada wajah dan kedua tangan. Dalam melihat aurat selain keduanya syariat semakin memperketat dengan tetap memperhatikan kadar kebutuhan. Sedangkan melihat kemaluan dan dubur syariat lebih memperketat lagi ketentuannya. Karena itu, melihat aurat wanita saat melahirkan dan saat khitan lebih diperketat;

9) Hajat (kebutuhan) akan berobat memang benar-benar terbukti, bukan hanya dugaan atau sangkaan saja;

10) Bentuk melihat aurat saat berobat di sini dibolehkan selama aman dari godaan (fitnah). [Lihat: Syekh Muhammad bin Ahmad al-Khathib asy-Syirbini, Mughnil-Muhtaj, Juz : 3, Hal : 133.]

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hukum asalnya, para dokter wanitalah yang seharusnya menangani pasien wanita secara khusus, dan tenaga medis laki-laki itulah yang menangani kaum lelaki secara khusus pula. Meski hanya sekedar menangani keluhan yang paling ringan seperti flu, batuk, pilek sampai pada keadaan genting, semisal persalinan atau melakukan pembedahan. Semua itu ditetapkan Islam guna mempersempit ruang terjadinya sebuah kemunkaran yang diawali dari melihat aurat orang lain.

Akan tetapi, Islam tidak lupa terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan manusia dalam menghadapi kepentingannya itu, termasuk kepentingan berobat. Dari situ, Islam kemudian menghargai kepentingan manusia yang tiada terelakkan lagi, dan menghargai kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia. Sehingga jika seorang muslim dalam keadaan yang sangat memaksa, maka ia diperkenankan melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar menjaga diri dari kebinasaan. Hal ini selaras dengan firman Allah ta`ala sesudah menyebut satu-persatu makanan yang diharamkan, seperti bangkai, darah dan babi:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (البقرة : 173)

"Barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tiada berdosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih." (al-Baqarah: 173)

Berdasarkan ayat ini dan nas-nas lainnya, para ahli fikih menetapkan suatu prinsip yang sangat berharga sekali, yaitu:

الضرورة تبيح المحظورات

"Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang."

Tetapi ayat itu tetap memberikan suatu pembatas terhadap si pelakunya (orang yang disebut dalam keadaan terpaksa); yaitu dengan kata-kata 'ghaira baghin wala 'adin' (tidak sengaja  dan tidak melewati batas). Ini dapat ditafsirkan, bahwa pengertian tidak sengaja itu, maksudnya adalah tidak sengaja untuk mencari kelezatan. Dan perkataan tidak melewati batas itu maksudnya adalah tidak melewati batas ketentuan hukum. [Lihat:  As`ad Haumad, Aisarut-Tafasir, Juz : 1, Hal : 180.]

Dari ikatan ini, para ulama ahli fikih menetapkan suatu prinsip lain pula, yaitu:

الضرورة تقدر بقدرها

“Darurat itu dikira-kirakan menurut ukurannya.”

Artinya, setiap manusia sekalipun boleh tunduk pada keadaan darurat, tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja kepada keadaan tersebut, dan tidak boleh menjatuhkan dirinya kepada keadaan darurat itu dengan kendali nafsunya. Tetapi dia harus tetap mengikatkan diri kepada pangkal halal dengan terus berusaha mencarinya. Sehingga dengan demikian dia tidak akan tersentuh dengan haram atau mempermudah darurat.

Pemberian izin untuk melakukan hal yang terlarang ketika darurat itu merupakan penyaluran jiwa keuniversalan Islam dan kaidah-kaidahnya yang bersifat kulli (integral). Dan ini adalah jiwa kemudahan Islam yang tidak dicampuri oleh kesukaran dan bersifat memperingan beban (taqlilut-takalif). Benarlah apa yang dikatakan Allah dalam firman-Nya: "Allah berkehendak memberikan kemudahan bagi kamu, dan Ia tidak menghendaki memberikan beban kesukaran kepadamu." (al-Baqarah: 185)

Jadi, meninjau problematika yang ada dalam deskripsi masalah, jika kondisi si istri telah sampai pada tahap keadaan darurat (genting/terdesak), di mana jika tidak ditolong oleh tenaga medis laki-laki (dokter), hal itu dapat beresiko tinggi sehingga akan mengantarkannya pada kematian, maka haram bagi suami melarang tenaga medis laki-laki itu untuk membantu proses persalinan istrinya karena tindakan tersebut dapat membahayakan nyawa istrinya.

Referensi:

الشرح الكبير للرافعي-ج  4 ص 606
 (القسم الثاني) أن لا يكون للمريض متعهد قال الامام ان كان يخاف عليه الهلاك لو غاب عنه فهو عذر في التخلف سواء كان قريبا أو أجنبيا فان انقاذ المسلم من الهلاك من فروض الكفايات

 فتح الباري – ابن الحجر- ج 10ص 136
 ( قوله باب هل يداوي الرجل المرأة والمرأة الرجل ) ذكر فيه حديث الربيع بالتشديد كنا نغزو ونسقي القوم ونخدمهم ونرد القتلى والجرحى إلى المدينة وليس في هذا السياق تعرض للمداواة إلا أن كان يدخل في عموم قولها نخدمهم نعم ورد الحديث المذكور بلفظ ونداوي الجرحى ونرد القتلى وقد تقدم كذلك في باب مداواة النساء الجرحى في الغزو من كتاب الجهاد فجرى البخاري على عادته في الإشارة إلى ما ورد في بعض ألفاظ الحديث ويؤخذ حكم مداواة الرجل المرأة منه بالقياس وإنما لم يجزم بالحكم لاحتمال أن يكون ذلك قبل الحجاب أو كانت المرأة تصنع ذلك بمن يكون زوجا لها أو محرما وأما حكم المسألة فتجوز مداواة الأجانب عند الضرورة وتقدر بقدرها فيما يتعلق بالنظر والجس باليد وغير ذلك وقد تقدم البحث في شيء من ذلك في كتاب الجهاد

حواشي الشرواني – ج 7 ص 203
قوله ( وبشرط الخ ) عطف على بحضرة الخ قوله ( عدم امرأة الخ ) ظاهره ولو كافرة في المسلمة وعكسه قوله ( وأن لا يكون الخ ) وشرط الماوردي أن يأمن الافتتان ولا يكشف إلا قدر الحاجة كما قاله القفال في فتاويه نهاية ومغني قال ع ش قوله أن يأمن الافتتان هو ظاهر إن لم يتعين وإن تعين فينبغي أن يعالج ويكف نفسه ما أمكن أخذا مما سيأتي في الشاهد قوله ( ولا ذميا ) معطوف على غير أمين قوله ( وبحث البلقيني الخ ) قد يقال في هذا الترتيب نظر من وجوه أخر غير ما أشار إليه الشارح منها تقديم المسلم المراهق على الكافر الغير المراهق مع أن الأول كالأجنبي بخلاف الثاني فإنه كالمحرم أو كالعدم ومنها تقديم المراهق الكافر على المرأة الكافرة فإن ما اختاره هو تبعا القضية المنهاج وإفتاء النووي التسوية بينهما وقياس ما في الروضة وأصلها تقديمها فما وجه القول بتقديمه ومنها ترتيبه بين المحرمين المسلم والكافر مع أنهما متساويان في حل النظر ومنها تقديم المراهق مسلما كان أو كافرا على المحرم مسلما كان أو كافرا مع أن الأول كالأجنبي اهـ

فتاوي الأزهر 10 / 57
السؤال هل يجوز أن يتولى علاج المرأة وتوليدها رجل أجنبى؟الجواب من القواعد الفقهية أن الضرورات تبيح المحظورات ، ومعلوم أن المرأة لا يجوز لها أن تكشف عن شىء من جسمها لرجل أجنبى-فيما عدا الوجه والكفين على تفصيل فى ذلك - وبالتالى لا يجوز اللمس بدون حائل ، أما عند الضرورة المصورة بعدم وجود زوج أو محرم أو امرأة مسلمة تقوم بذلك فلا مانع من النظر واللمس ، مع مراعاة القاعدة الفقهية الأخرى وهى : أن الضرورة تقدر بقدرها .

الإقناع في حل ألفاظ أبى شجاع - موسى الحجاوي - يع - (2 / 406)
 (و ) الضرب ( الخامس النظر للمداواة ) كفصد وحجامة وعلاج ولو في فرج ( فيجوز إلى المواضع التي يحتاج إليها فقط ) لأن في التحريم حينئذ حرجا فللرجل مداواة المرأة وعكسه وليكن ذلك بحضرة محرم أو زوج أو امرأة ثقة إن جوزنا خلوة أجنبي بامرأتين وهو الراجح ويشترط عدم امرأة يمكنها تعاطي ذلك من امرأة وعكسه كما صححه في زيادة الروضة وأن لا يكون ذميا مع وجود مسلم وفيه كما قاله الأذرعي أن لا تكون كافرة أجنبية مع وجود مسلمة على الأصح ولو لم نجد لعلاج المرأة إلا كفارة ومسلما فالظاهر أن الكافرة تقدم لأن نظرها ومسها أخف من الرجل بل الأشبه عند الشيخين أنها تنظر منها ما يبدو عند المهنة بخلاف الرجل  وقيد في الكافي الطبيب بالأمين فلا يعدل إلى غيره مع وجوده وشرط الماوردي أن يأمن الافتتان ولا يكشف إلا قدر الحاجة وفي معنى ما ذكر نظر الخاتن إلى فرج من يختنه ونظر القابلة إلى فرج التي تولدها ويعتبر في النظر إلى الوجه والكفين مطلق الحاجة وفي غيرهما ما عدا السوأتين تأكدها بأن يكون مما يبيح التيمم كشدة الضنا وفي السوأتين مزيد تأكيدها بأن لا يعد الكشف بسببها هتكا للمروءة

نظرية الضرورة الشرعية للدكتور وهبة الزحيلي (ص: 120)
يباح النظر للضرورة وتقدر الحاجة لوجه المرأة عند الخطبة والتعليم والإشهاد والمعاملة والمعالجة بل أنه يباح للطبيب النظر لموضع المرض من عورة المرأة حالة الإسعاف أو المعالجة إذا أمنت الفتنة والشهوة وفي غير هذه الحالات لا يجوز للمرأة كشف شيء من شعرها أو أجزاء جسدها ما عدا وجهها وكفيها ولا يلتفت لدعاوي المرأة وأبصارها في هذا العصر تذرّعا بعموم البلوى ومطلبات المدنية الحاضرة.

الحاوي في فقه الشافعي - (2 / 170)
فصل : فإذا تكررت هذه الجملة فللمرأة حالان ، حال عورة ، وحال إباحة - إلى أن قال - وأما العورة فضربان صغرى وكبرى ، المرأة فأما الكبرى فجميع البدن إلا الوجه والكفان ، وأما الصغرى فما بين السرة والركبة وما يلزمها ستر هاتين العورتين من أجله على ثلاثة أضرب : أحدها : أن يلزمها ستر العورة الكبرى ، وذلك في ثلاثة أحوال : أحدها : في الصلاة عورة المرأة فيها وقد مضى حكمها والثاني : مع الرجال الأجانب ، عورة المرأة في حضورهم ولا فرق بين مسلمهم ، وكافرهم ، وحرهم ، وعبدهم ، وعفيفهم ، وفاسقهم ، وعاقلهم ، ومجنونهم في إيجاب ستر العورة الكبرى من جميعهم والثالث : مع الخناثى المشكلين ، لأن جملة المرأة عورة فلا يستباح النظر إلى بعضها بالشك والقسم الثاني : ما يلزمها ستر العورة عورة المرأة في وجود النساء الصغرى وذلك مع ثلاثة أصناف أحدها مع النساء كلهن ، ولا فرق بين البعيدة والقريبة ، والحرة والأمة ، والمسلمة والذمية والثاني : مع الرجال من ذوي محارمها عورة المرأة في وجودهم كابنها ، وأبيها ، وأخيها ، وعمها من نسب أو رضاع والثالث : مع الصبيان الذين لم يبلغوا الحلم ، عورة المرأة في وجودهم ولا تحركت عليهم الشهوة.

مغنى المحتاج 3 / 133
 ( وَ ) اعْلَمْ أَنَّ مَا تَقَدَّمَ مِنْ حُرْمَةِ النَّظَرِ وَالْمَسِّ هُوَ حَيْثُ لَا حَاجَةَ إلَيْهِمَا وَأَمَّا عِنْدَ الْحَاجَةِ فَالنَّظَرُ وَالْمَسُّ  (مُبَاحَانِ لِفَصْدٍ وَحِجَامَةٍ وَعِلَاجٍ ) وَلَوْ فِي فَرْجٍ لِلْحَاجَةِ الْمُلْجِئَةِ إلَى ذَلِكَ ؛ لِأَنَّ فِي التَّحْرِيمِ حِينَئِذٍ حَرَجًا ، فَلِلرَّجُلِ مُدَاوَاةُ الْمَرْأَةِ وَعَكْسُهُ ، وَلْيَكُنْ ذَلِكَ بِحَضْرَةِ مَحْرَمٍ أَوْ زَوْجٍ أَوْ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ إنْ جَوَّزْنَا خَلْوَةَ أَجْنَبِيٍّ بِامْرَأَتَيْنِ ، وَهُوَ الرَّاجِحُ كَمَا سَيَأْتِي فِي الْعَدَدِ إنْ شَاءَ اللَّهُ - تَعَالَى - .وَيُشْتَرَطُ عَدَمُ امْرَأَةٍ يُمْكِنُهَا تَعَاطِي ذَلِكَ مِنْ امْرَأَةٍ وَعَكْسُهُ كَمَا صَحَّحَهُ فِي زِيَادَةِ الرَّوْضَةِ ، وَأَنْ لَا يَكُونَ ذِمِّيًّا مَعَ وُجُودِ مُسْلِمٍ ، وَقِيَاسُهُ كَمَا قَالَ الْأَذْرَعِيُّ أَنْ لَا تَكُونَ كَافِرَةً أَجْنَبِيَّةً مَعَ وُجُودِ مُسْلِمَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ ، صَرَّحَ بِهِ فِي الْكِفَايَةِ ، وَلَوْ لَمْ نَجِدْ لِعِلَاجِ الْمَرْأَةِ إلَّا كَافِرَةً وَمُسْلِمًا ، فَالظَّاهِرُ كَمَا قَالَ الْأَذْرَعِيُّ أَنَّ الْكَافِرَةَ تُقَدَّمُ ؛ لِأَنَّ نَظَرَهَا وَمَسَّهَا أَخَفُّ مِنْ الرَّجُلِ بَلْ الْأَشْبَهُ عِنْدَ الشَّيْخَيْنِ كَمَا مَرَّ أَنَّهَا تَنْظُرُ مِنْهَا مَا يَبْدُو عِنْدَ الْمَهْنَةِ بِخِلَافِ الرَّجُلِ تَنْبِيهٌ : رَتَّبَ الْبُلْقِينِيُّ ذَلِكَ ، فَقَالَ : فَإِنْ كَانَتْ امْرَأَةٌ فَيُعْتَبَرُ وُجُودُ امْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ ، فَإِنْ تَعَذَّرَتْ فَصَبِيٌّ مُسْلِمٌ غَيْرُ مُرَاهِقٍ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَصَبِيٌّ غَيْرُ مُرَاهِقٍ كَافِرٌ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَامْرَأَةٌ كَافِرَةٌ ، فَإِنْ تَعَذَّرَتْ فَمَحْرَمُهَا الْمُسْلِمُ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَمَحْرَمُهَا الْكَافِرُ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَأَجْنَبِيٌّ مُسْلِمٌ ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَأَجْنَبِيٌّ كَافِرٌ .ا هـ وَالْمُتَّجَهُ تَأْخِيرُ الْمَرْأَةِ الْكَافِرَةِ عَنْ الْمَحْرَمِ بِقِسْمَيْهِ ، وَقَيَّدَ فِي الْكَافِي الطَّبِيبَ بِالْأَمِينِ فَلَا يُعْدَلُ إلَى غَيْرِهِ مَعَ وُجُودِهِ كَمَا قَالَهُ الزَّرْكَشِيُّ ، وَشَرَطَ الْمَاوَرْدِيُّ أَنْ يَأْمَنَ الِافْتِتَانَ ، وَلَا يَكْشِفَ إلَّا قَدْرَ الْحَاجَةِ كَمَا قَالَهُ الْقَفَّالُ فِي فَتَاوِيهِ ، وَفِي مَعْنَى الْفَصْدِ وَالْحِجَامَةِ نَظَرُ الْخَاتِنِ إلَى فَرْجِ مَنْ يَخْتِنُهُ ، وَنَظَرُ الْقَابِلَةِ إلَى فَرْجِ الَّتِي تُوَلِّدُهَا ، وَيُعْتَبَرُ فِي النَّظَرِ إلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ مُطْلَقُ الْحَاجَةِ ، وَفِي غَيْرِهِمَا مَا عَدَا السَّوْأَتَيْنِ تَأَكُّدُهَا بِأَنْ يَكُونَ مِمَّا يُبِيحُ التَّيَمُّمَ كَشِدَّةِ الضَّنَى كَمَا نَقَلَاهُ عَنْ الْإِمَامِ ، وَقَضِيَّةُ هَذَا كَمَا قَالَ الزَّرْكَشِيُّ أَنَّهُ لَوْ خَافَ شَيْئًا فَاحِشًا فِي عُضْوٍ بَاطِنٍ امْتَنَعَ النَّظَرُ ، وَفِيهِ نَظَرٌ ، وَفِي السَّوْأَتَيْنِ مَزِيدُ تَأَكُّدِهَا بِأَنْ لَا يُعَدَّ التَّكَشُّفُ بِسَبَبِهَا هَتْكًا لِلْمُرُوءَةِ كَمَا نَقَلَاهُ عَنْ الْغَزَالِيِّ وَأَقَرَّاهُ

إعانة الطالبين - (2 / 108)
وأما شهيد الآخرة فقط فهو كغير الشهيد فيغسل ويكفن ويصلى عليه ويدفن .وأقسامه كثيرة فمنها الميتة طلقا ولو كانت حاملا من زنا والميت غريقا وإن عصى بركوب البحر والميت هديما أو حريقا أو غريبا وإن عصى بالغربة والمقتول ظلما ولو هيئة كأن استحق شخص حز رقبته فقده نصفين والميت بالبطن أو في زمن الطاعون ولو بغير لكن كان صابرا محتسبا أو بعده وكان في زمنه كذلك
 والميت في طلب العلم ولو على فراشه والميت عشقا ولو لمن لم يبح وطؤه كأمرد بشرط العفة حتى عن النظر بحيث لو اختلى بمحبوبه لم يتجاوز الشرع
 وبشرط الكتمان حتى عن معشوقه

أيسر التفاسير لأسعد حومد - (1 / 1809)
أَمَّا الذِينَ يُضْطَرُّونَ إِلَى أَكْلِ شَيْءٍ مِنْ هَذِهِ المُحَرَّمَاتِ ، وَهُمْ لاَ يَجِدُونَ وَسِيلَةً أُخْرَى لِلْحُصُولِ عَلَى مَا يَسُدُّ رَمَقَهُمْ مِنَ الطَّعَامِ الحَلاَلِ ، مِنْ دُونِ أَنْ يَكُونَ فِيهِمْ مَيْلٌ إِلَى تَعَدِّي الحَلاَلِ إِلَى الحَرَامِ ، وَهُمْ يَجِدُونَ عَنْ أَكْلِ الحَرَامِ مَنْدُوحَةً ( غَيْرَ بَاغٍ ) ، وَدُونَ أَنْ يُجَاوِزُوا فِيمَا يَأْكُلُونَ حُدَودَ الضَرُورَةِ الَّتِي تَكْفِي لِسَدِّ الرَّمَقِ ، وَحِفْظِ الحَيَاةِ ، حَتَّى يَجِدُوا الطَّعَامَ الحَلالَ ( عَادٍ ) ، فَهؤُلاءِ لا إِثْمَ عَلَيهِمْ وَلا مَسْؤولِيَّةَ . وَاللهُ تَعَالَى غَفُورٌ لَهُمْ لِما أَكَلُوا مِنَ الحَرَامِ ، رَحِيمٌ بِهِمْ إِذ أَحَلَّ لَهُمُ الحَرَامَ فِي حَالَةِ الاضْطِرَارِ .
وَلاَ عَادٍ - غَيْرَ مُتَجَاوِزٍ مَا يَسُدُّ الرَّمَقَ .
غَيْرَ بَاغٍ - غَيْرَ طَالِبٍ لِلحَرَامَ لِلَذَّةٍ أَوِ اسْتِئْثَارٍ عَلَى مُضْطَرٍّ آخَرَ .