Di samping Keputusan Bahtsul Masail Syuriah PWNU Jawa Timur tentang Covid-19 yang menurut penulis menarik dan cukup layak (mu’tabar) untuk dijadikan rujukan dalam menyikapi fenomena virus corona, penulis juga tertarik dengan salah satu referensi yang dicantumkan dalam keputusannya. Tepatnya terletak pada footnote (catatan kaki) salah satu uraian hasil keputusan itu. Catatan kaki tersebut menukil teks ('ibarat) yang diambil dari Idrarusy-Syuruq 'ala Anwa'il-Furuq, sebuah kitab karya Abul-Qasim Qasim bin Abdillah bin asy-Syath, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1418 H/1998 M. Cetakan pertama, ed.: Khalil Manshur, IV/400–401). Syekh Qasim bin 'Abdillah (w. 723 H.) sendiri adalah seorang ulama yang faqih ushuli (ahli fikih dan ushul fikih) yang bermazhab Maliki. Bahkan ulama sekaliber Ibnu Rusyd mengakui kapasitas keilmuannya dengan mengatakan, "Tidak ada seorang yang 'alim di Maghrib (Maroko) kecuali Ibnul-Banna' di Marakisy, Ibnu asy-Syath di Sabtah, dan Qadhi Abu 'Abdillah al-Lakhami al-Qurthubi."
Teks yang dinukil ini secara pribadi sangat menarik bagi penulis, sebab bisa meluruskan pemahaman sebagian orang tentang virus corona.
Semenjak virus corona mewabah di Indonesia sampai memakan korban lebih dari 200 orang, muncul banyak pernyataan dari sebagian kalangan yang menurut penulis perlu diluruskan. Sebagian dari mereka terlalu gegabah menganggap bahwa takut pada virus corona itu pasti salah, keliru, dan diragukan keimanannya. Seharusnya yang ditakuti cuma Allah. Dari situ muncul pertanyaan di benak penulis, apakah anggapan seperti itu benar?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya kita urai terlebih dahulu apa yang dimaksud rasa takut agar kajian ini menjadi komprehensif. Takut, menurut KBBI, mempunyai arti merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana. Sementara menurut al-Jurjani dalam "at-Ta’rifat"-nya (hlm. 101), rasa takut adalah:
توقع حلول مكروه أو فوات محبوب
Al-Ghazali sendiri dalam "Ihya’ ‘Ulumiddin" (vol. V/hlm. 155) mendefinisikannya sebagai:
تألم القلب واحتراقه بسبب توقع مكروه في الاستقبال
Ada dua poin yang dapat ditarik dari kedua definisi yang dipaparkan al-Jurjani dan al-Ghazali di atas. Pertama, kedua definisi sepakat bahwa rasa takut itu merupakan dampak dari berharap cemas akan tertimpa sesuatu yang bisa mengakibatkan marabahaya; Kedua, al-Ghazali membatasi rasa takut hanya pada suatu keburukan yang dikhawatirkan akan terjadi pada masa yang akan datang (mustaqbal).
Menanggapi poin kedua ini, Dr. Ibrahim bin Yahya bin Muhammad ‘Athif dalam karyanya “Atsarul-Khauf fil-Ahkam al-Fiqhiyyah” (vol. I/hlm. 27) menjelaskan, rasa takut tidak terbatas pada kekhawatiran tertimpa keburukan di masa yang akan datang. Masa sekarang pun juga tercakup dalam hal ini, sebagaimana diterangkan dalam kitab “Tabyinul-Haqaiq” (vol. I/hlm. 38).
Rasa takut dalam dunia psikologi digolongkan sebagai defence mechanism, atau mekanisme bela diri. Maksudnya, bahwa rasa takut itu timbul pada diri seseorang disebabkan adanya kecenderungan untuk membela diri sendiri dari bahaya atau hanya perasaan yang tak enak terhadap sesuatu hal.
Menurut Doktor Tony Whitehad, dalam bukunya yang berjudul “Fears and Phobias”, definisi takut adalah sesuatu yang agak kompleks, di dalamnya terdapat suatu perasaan emosional dan sejumlah perasaan jasmaniah.
Spielberger menambahkan bahwa ketakutan adalah state anxiety yaitu suatu kondisi emosional sementara pada diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan kekhawatiran yang dihayati secara sadar serta bersifat subjektif. Biasanya berhubungan dengan situasi situasi lingkungan yang khusus, misalnya situasi ujian atau tes.
Menurut Gunarsa (2008), rasa takut ditimbulkan oleh adanya ancaman, sehingga seseorang akan menghindarkan diri dan sebagainya.
Melihat berbagai pengertian dari perasaan takut di atas, dapat kita simpulkan bahwa objek yang ditakuti mencakup banyak hal dan memiliki satu titik kesamaan berupa perkara-perkara yang dibenci akan menimpa pelaku, baik bahaya, bencana, keburukan maupun kerugian. Misalkan saja takut kepada Allah. Itu berarti seseorang cemas/khawatir Allah akan menimpakan suatu keburukan atau bahaya kepadanya, bisa jadi siksaan, bencana ataupun murka-Nya, baik di dunia maupun di akherat. Ketakutan itu baik berobjek pada Allah maupun kepada sesuatu apapun selain-Nya. Demikian cakupan dari rasa takut dalam terminologi syariat dan ilmu psikologi.
Memang benar, takut yang tepat adalah takut hanya kepada Allah semata (al-khauf minallah). Rasa takut ini disebut juga dengan khauful-'ibadah, yaitu:
الخوف المقترِن بالمحبة والتعظيم والتذلل والخضوع، وهو الذي يحمل العبدَ على الطاعة والبعد عن المعصية.
Setiap muslim wajib memiliki rasa takut kepada-Nya. Tidak boleh tidak. Namun khauf ini harus proporsional, tidak berlebihan atau sampai melewati batas sehingga mendorong pelakunya berputus asa dari rahmat-Nya (al-ya'su min rahmatillah). Para ulama menjelaskan, rasa khauf yang menimbulkan rasa putus asa dari rahmat Allah merupakan hal yang tercela (al-khauf al-madzmum). Sedang rasa khauf yang terpuji adalah rasa takut yang proporsional dan diimbangi dengan raja' (mengharapkan rahmat Allah dengan optimis).
Kembali pada pokok pembahasan, bolehkah takut pada selain Allah? Seperti takut pada virus corona?
Jawabannya ada pada uraian Syekh Qasim berikut ini:
الفرق الخامس والستون والمائتان بين قاعدة الخوف من غير الله تعالى المحرم وقاعدة الخوف من غير الله تعالى الذي لا يحرم. وهو أن الخوف من غير الله تعالى محرم إن كان مانعا من فعل واجب أو ترك محرم أو كان مما لم تجر العادة بأنه سبب للخوف كمن يتطير بما لا يخاف منه عادة كالعبور بين الغنم يخاف أن لا تقضى حاجته بهذا السبب ... وأن الخوف من غير الله تعالى غير محرم إن كان غير مانع من فعل واجب أو ترك محرم وكان مما جرت العادة بأنه سبب للخوف كالخوف من الأسود والحيات والعقارب والظلمة وكالخوف من أرض الوباء ومن المجذوم على أجسامنا من الأمراض والأسقام بل صون النفوس والأجسام والمنافع والأعضاء والأموال والأعراض عن الأسباب المفسدة واجب لقوله تعالى : «ولا تلقوا بأبديكم إلى التهلكة» وقوله صلى الله عليه وسلم : «فر من المجذوم فرارك من الأسد».
Berdasarkan keterangan tersebut, takut pada selain Allah bisa haram, juga bisa tidak. Dalam memutuskan salah satu dari dua kemungkinan ini kita harus melihat implikasi yang ditimbulkan darinya. Apabila rasa takut tersebut sampai mendorong pelaku untuk meninggalkan kewajiban agama (semisal meninggalkan shalat), atau menerjang kemaksiatan, maka itu jelas diharamkan agama. Begitu pula jika seseorang takut pada sesuatu yang menurut adat kebiasaan yang berlaku tidak logis menjadi sebab pemicu ketakutan. Ini juga haram. Contohnya seperti thiyarah (menganggap akan tertimpa sial jika melakukan satu perbuatan tertentu). Saat melewati sekumpulan kambing, pelaku berpikir akan kena sial. Ketika melihat burung gagak misalnya, ia takut terkena musibah, dan lain sebagainya. Perbuatan seperti ini diharamkan selain karena adanya nas hadis juga dikarenakan ada semacam 'suuzhanisme' di dalamnya.
Hukumnya akan berbeda bila rasa takut itu tidak sampai menghalangi seseorang dari menunaikan kewajiban atau meninggalkan maksiat. Cuma sebentuk rasa takut dalam ukuran normal. Maka syariat memperbolehkan hal ini (jawaz). Termasuk juga rasa takut terhadap sesuatu yang menurut adat kebiasaan yang berlaku ia tergolong salah satu dari beberapa sebab yang memicu ketakutan. Misalnya takut pada hewan-hewan buas, takut api, binatang berbisa atau beracun. Ketakutan semacam ini dimaklumi oleh syariat. Tidak dilarang. Alasannya, menurut adat kebiasaan yang berlaku kesemuanya bisa menimbulkan akibat yang tidak disukai manusia, seperti akan terluka, atau dampak buruk pada anggota badan, bahkan membawa kematian. Dari situlah ketakutan itu muncul.
Barometer justifikasinya cukup mudah. Setiap ketakutan yang muncul sebab mendapati perkara-perkara yang menurut adat kebiasaan bisa menyakiti, melukai ataupun membahayakan diri, maka ketakutan semacam ini diperbolehkan (ghairu muharram). Batasannya jelas, yaitu saat mendapati faktor-faktor pemicu ketakutan atau minimal punya dugaan kuat (zhann) akan mendapati faktor tersebut. Beda halnya apabila ketakutan itu muncul tanpa mendapati sebab-sebab pemicunya. Seperti seseorang yang mendadak takut padahal dia dalam kondisi aman dari faktor-faktor pemicu ketakutan.
Menurut hemat penulis, virus corona telah memenuhi standar untuk dikatakan sebagai faktor atau sebab pemicu ketakutan ini.
Sebagaimana diketahui, virus corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit karena infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus corona bisa menyerang siapa saja, baik bayi, anak-anak, orang dewasa, lansia, ibu hamil, maupun ibu menyusui. Memang pada banyak kasus, virus corona hanya menyebabkan infeksi pernapasan ringan, seperti flu. Namun, virus ini juga berpotensi menyebabkan infeksi pernapasan berat, seperti infeksi paru-paru (pneumonia), Middle-East Respiratory Syndrome (MERS), dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Mudahnya, si penderita bisa mengalami gejala-gejala flu, seperti demam, pilek, batuk, sakit tenggorokan, dan sakit kepala; atau gejala penyakit infeksi pernapasan berat, seperti demam tinggi, batuk berdahak bahkan berdarah, sesak napas, dan nyeri dada. Dan pada kasus yang parah, infeksi virus corona bisa menyebabkan beberapa komplikasi serius seperti gagal ginjal sampai kematian.
Menimbang dampak bahaya yang ditimbulkan, maka jelas virus corona tergolong perkara yang menurut adat—bahkan merupakan fakta yang tidak terbantahkan—menjadi sebab pemicu ketakutan. Dengan demikian, rasa takut terhadap penyakit yang ditimbulkan virus corona adalah normal, dan syariat tidak melarang hal ini. Dalam arti boleh (mubah) hukumnya. Tidak haram. Alih-alih sampai dianggap menafikan atau mengurangi keimanan seseorang.
Para ulama menggolongkan ketakutan semacam ini sebagai al-khauf ath-thabi'i (rasa takut yang alami sesuai tabiat bawaan manusia). Yaitu ketakutan manusia terhadap sesuatu yang bisa menyakiti atau membahayakannya.
Rasa takut tersebut bukan ibadah hati, dan keberadaannya tidak sampai menafikan iman. Lain halnya dengan takut kepada Allah. Ia adalah ibadah hati.
Argumentasinya bisa ditambah dengan firman Allah yang menyinggung ketakutan yang dialami Nabi Musa a.s.:
فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ ۖ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Ayat ini singkatnya membahas tentang sebuah kisah, yaitu setelah Nabi Musa mendapat berita yang menyatakan bahwa Fir'aun dan seluruh orang negerinya sedang berbuat makar untuk menangkapnya, maka Musa keluar sendirian meninggalkan negeri Mesir dengan disertai rasa takut (khaifan), apakah dirinya akan dapat dikejar oleh orang-orang yang mencarinya atau pertolongan Allah datang menyelamatkan dirinya? Lalu beliau berdoa kepada Allah agar diselamatkan dari orang-orang yang zalim yaitu, kaum Firaun. Demikian penafsiran tentang ayat tersebut dalam Tafsir Ibn Katsir dan Tafsir al-Jalalain.
Al-Qur’an menyebutkan secara eksplisit bahwa Nabi Musa mempunyai rasa takut, khaifan yataraqqabu, takut dapat dikejar oleh orang-orang zalim, lalu ditangkap. Karena itulah beliau berdoa agar diselamatkan dari kejaran mereka. Seandainya rasa takut tersebut diharamkan Allah, lalu mengapa Allah menyebutkan secara gamblang kalau Nabi Musa dalam keadaan takut? Ketakutan yang dialami Musa a.s. itu berarti mengindikasi bahwa ada rasa takut yang dimaklumi Allah, dan tidak diharamkan-Nya, meskipun ketakutan itu terhadap selain-Nya.
Punya rasa takut terhadap keburukan orang-orang zalim seperti yang dialami Nabi Musa a.s. itu boleh dalam pandangan syariat, tidak haram dan tidak pula menafikan keimanan. Posisinya sama dengan rasa takut kepada perkara-perkara yang bisa membahayakan diri seperti takut macan, singa, beruang, serigala liar, kalajengking, dan lain-lain.
Meski begitu, rasa takut ini tidak boleh menerjang batas yang ditetapkan syariat, dan perlu ada ikhtiar agar ia tidak terus-menerus menetap dalam hati. Ia perlu dibuang dan dinetralisir dengan rasa tawakal kepada Allah. Dalam hal ini Allah berfirman:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
Diterangkan dalam Tafsir al-Jalalain, bahwa ayat ini menceritakan tentang Na'im bin Mas’ud al-Asyja'i yang berusaha menjatuhkan mental keberanian Nabi dan kaum muslimin agar takut kepada Abu Sufyan dan kawan-kawannya karena mereka telah menghimpun pasukan yang berjumlah banyak untuk menyerang atau membasmi Nabi dan kaum muslimin tersebut. Tidak perlu dilawan atau dihadapi. Menghadapi mereka bisa berujung pada kekalahan sebab jumlah mereka lebih besar. Akan tetapi, ucapan itu malah menambah keimanan Nabi dan kaum muslimin, bertambah pula kepercayaan dan keyakinan mereka terhadap pertolongan Allah swt. Mereka semakin tawakal kepada Allah, dan yakin bahwa Allah akan membela dan melindungi mereka karena Dialah sebaik-baik pelindung tempat menyerahkan segala urusan. Sebagai wujud tawakalnya mereka melafalkan doa:
حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
Kemudian Nabi SAW. bersama kaum muslimin pergi ke pasar Badar tetapi tidak mendapati Abu Sufyan dan kawan-kawannya. Allah telah meniupkan rasa cemas dan ketakutan ke dalam hati mereka sehingga mereka tidak berani muncul di hadapan Nabi. Sebaliknya di kalangan kaum muslimin dan penduduk berlangsung jual beli sehingga mereka beroleh laba dan keuntungan.
Berkaitan dengan doa di atas Ibnu 'Abbas menerangkan, bahwa doa inilah yang dibaca oleh Nabi Ibrahim a.s. ketika dilemparkan ke dalam api. Demikian penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Jadi, syariat telah memberikan batasan yang jelas mana rasa takut kepada selain Allah yang diharamkan dan mana yang tidak diharamkan. Dalam permasalahan al-khauf ath-thabi'i sebagaimana uraian di atas, seorang muslim tidak dicela syariat ketika mempunyai rasa takut semacam itu, dengan syarat tidak sampai mendorongnya meninggalkan kewajiban agama, atau melakukan kemaksiatan.
Barulah ketika rasa takut itu muncul tanpa sebab, atau sebab yang memicunya sangat lemah, seperti takut gelap, ataupun takut pada hal-hal yang biasanya tidak ditakuti oleh umumnya orang, maka syariat menghukuminya sebagai rasa takut yang tercela (al-khauf al-madzmum). Begitu pula jika sebab pemicu ketakutan itu masih sekadar dugaan lemah (wahmiyyan).
Penutup
Tulisan ini dibuat bukan untuk mengajak pembaca supaya takut virus corona dan semisalnya. Di awal sudah penulis jelaskan bahwa latar belakang tulisan ini adalah untuk meluruskan pemahaman tentang rasa takut pada virus corona, di mana sebagian orang beranggapan kalau takut virus tersebut itu tidak boleh. Rasa takut hanya diperbolehkan pada Tuhan semata.
Dari tulisan ini para pembaca akan paham dalam realitasnya syariat kita sangat komprehensif dan penuh toleransi terhadap hal-hal yang bersifat manusiawi seperti keberadaan rasa takut akan sesuatu. Jika syariat saja penuh toleransi (al-hanifiyyah as-samhah) dan tidak mudah mengharamkan satu perbuatan, maka tindakan mudah mengharamkan, dan menyalahkan perbuatan orang lain itu sebenarnya meniru siapa?
من كثر علمه قل إنكاره على الناس
Mari kita tawakal kepada Allah dan senantiasa meminta perlindungan kepada-Nya dari segala marabahaya.
Tidak perlu takut pada virus corona. Seandainya ada seseorang yang takut virus tersebut, mari kita maklumi, sebagaimana syariat telah memaklumi hal itu. Tidak melarangnya.
Dan mari tetap waspada terhadap virus corona, dan terhadap hal-hal yang bisa membahayakan diri. Kewaspadaan ini adalah bentuk ikhtiar kita agar terhindar dari segala marabahaya. Bukan lari dari takdir. Dari ikhtiar inilah makna tawakal menjadi paripurna.
Sekian.