Media Informasi Dan Dakwah Pondok Pesantren Al-Ihsan Gembong

MAQAM BERTANYA

MAQAM BERTANYA



Memperdebatkan masalah fikih ijtihadiyah hanya layak dilakukan oleh ahlinya. Jika perdebatan ini dilakukan orang awam, yang bukan ahlinya, maka jelas mudaratnya lebih banyak dari maslahatnya.

Maqam orang yang tidak ahli dalam masalah fikih itu adalah bertanya kepada ahlinya. Karena ia belum tahu hakikat hukum, dalil, dan cara istinbath dalam masalah itu. Bukan membantah, 'nyinyir', atau bahkan meragukan penjelasan tentang hukum tersebut. Sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur'an:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"...maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Naĥl:43)

Ayat ini mengisyaratkan, jika seseorang itu tidak tahu hukum sebenarnya, ia awam, maka bertanyalah kepada ahlinya (para ahli agama/faqih). Jelas yang diperintahkan adalah bertanya. Bukan mendebat, menghujat, mencela, nyinyir, dan menyangsikan penjelasannya.

Kalau ditinjau dalam perspektif sastra Arab/ilmu balaghah, ia perlu menempatkan diri pada posisi khali adz-dzihni (orang yang akal pikirannya masih kosong dari pengetahuan) yang mudah percaya terhadap penjelasan yang datang dari ahlinya, tidak ada sikap skeptis, dan tanpa disertai unsur ingkar terhadap apa yang disampaikan. 

Selama ini, banyak orang yang 'tidak tahu' ketika bertanya kepada ahli agama tidak memposisikan diri sebagai khali adz-dzihni, melainkan sebagai al-munkir (orang yang ingkar). Seolah ia sudah tahu hukum semestinya lalu ia akan memasang 'mode ingkar' saat mendengar penjelasan yang sebenarnya dari ahli agama. Ia siap membantah, mengkritik, bahkan menghujat. Ia mendahulukan sikap juhud/pengingkaran ('angas' dalam bahasa Jawa). Belum-belum sudah skeptis duluan. Ini salah posisi. Offside.