Kata Ibnul-Mu'tazz, sebagaimana dikutip Imam al-Mawardi dalam Adabud-Dunya wad-Din (juz I/hlm. 37):
العالم يعرف الجاهل؛ لأنه كان جاهلا، والجاهل لا يعرف العالم؛ لأنه لم يكن عالما.
"Orang alim tahu mana yang bodoh, karena dulu ia pernah bodoh. Sementara orang bodoh tak tahu mana yang alim, karena ia belum pernah alim."
Dawuh ini benar adanya, dan itulah yang terjadi di zaman ini.
Fenomena ustadz dan dai 'karbitan' makin merajalela terutama setelah berkembang pesatnya era digital. Ustadz dan dai 'dadakan' banyak bermunculan di platform-platform digital dan media sosial dengan pengikut puluhan ribu.
Para follower begitu memuja-muja idolanya dan sangat fanatik. Pernyataan blunder dan kesalahan fatal dari sang idola tak bisa mereka deteksi karena kebanyakan mereka adalah orang yang awam agama. Mereka sudah terlanjur terlena dengan retorika sang idola yang mengundang decak kagum, dan logis menurut mereka. Padahal kesalahan yang dibuat sang idola tidaklah sedikit.
Dawuh Ibnul-Mu'tazz di atas memberikan penjelasan kepada kita bahwa salah satu faktor mengapa banyak orang awam yang melek digital menjadi pengikut (follower) ustadz dan dai karbitan yang sebenarnya tak layak diikuti, sebab mereka tak tahu siapa yang memenuhi kriteria sebagai ahli agama dan yang bukan.
Mereka memang tak tahu siapa yang layak diikuti dan siapa yang tidak layak. Mereka tak tahu barometer untuk bisa disebut ahli agama. Mereka tak tahu siapa yang paham keagamaannya lurus dan yang tidak lurus, siapa yang sunni dan siapa yang tidak. Mereka tak tahu siapa kawan dan siapa lawan, siapa yang bisa menuntun pada kebenaran dan siapa yang dapat menjerumuskan pada kesesatan. Mereka memang belum punya ilmu untuk mengetahui hal-hal tersebut. Kalau punya ilmunya, mereka 'mungkin' tak akan sudi menjadi penggemar setia.
Memang begitu ciri-ciri orang bodoh. Tepat sebagaimana penjelasan Syekh Muhammad bin al-Fadhl,
ست خصال يعرف بها الجاهل الغضب في غير شيء والكلام في غير نفع والعظة في غير موضعها وإفشاء السر والثقة بكل أحد ولا يعرف صديقه من عدوه
"Ada 6 tabiat yang bisa menunjukkan sosok orang yang bodoh, yaitu: 1) Sering marah-marah; 2) Gemar bicara tanpa faedah/manfaat; 3) Gemar menasehati/memberi saran tidak pada tempatnya; 4) Membocorkan rahasia; 5) Mudah percaya pada setiap orang; 6) Tidak bisa membedakan teman dengan musuhnya." [Sumber: Hilyatul-Auliya, juz X/hlm. 233]
Mereka mengikuti para idola karbitan tersebut dengan bermodalkan pandangan sebagaimana orang awam memandang. Siapa yang retorikanya membuat kagum ketika bicara agama, apalagi didukung penampilan yang menarik, itulah yang mereka ikuti. Mereka akan mudah percaya dengan semua omongannya sang idola, semua dianggap benar.
Di satu sisi, antusiasme mereka dalam belajar agama perlu dihargai. Itu tanda-tanda mereka sadar akan pentingnya ilmu agama. Namun sayangnya hal itu tidak diimbangi dengan pengetahuan yang cukup untuk mengetahui siapa yang layak dijadikan pembimbing mereka dalam beragama.
Maka, salah satu tanggung jawab para ulama, kiai, dan ahlul-'ilmi agar orang awam tidak gampang tersesat lantaran mengikuti idola yang keliru adalah harus ada yang memberi tahu mereka siapa yang tak layak diikuti dan merekomendasikan para ahli agama yang pantas diikuti kajian agamanya.
Penting sekali nasehat Imam an-Nawawi berikut ini kita sebarkan ke masyarakat umum:
ولا يتعلم إلا ممن تكملت أهليته، وظهرت ديانته، وتحققت معرفته، واشتهرت صيانته؛ فقد قال محمد بن سيرين ومالك بن أنس وغيرهما من السلف: هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم .
"Dan jangan belajar ilmu kecuali kepada orang yang sempurna keahliannya (dalam ilmu agama), jelas agamanya, nyata pengetahuan (agamanya), dan masyhur penjagaan dirinya (dari perbuatan-perbuatan buruk). Sebab Muhammad bin Sirin, Malik bin Anas dan ulama salaf selainnya berkata: 'Ilmu itu adalah agama. Maka lihatnya (selektiflah) dari siapa kalian mengambil agama kalian!'". [Sumber: At-Tibyan fi Adabi Hamalatil-Qur'an, juz I/hlm. 47]
22 April 2024
Bangilan - Tuban